Haruskah politik dan kekuasaan diracuni oleh sadisnya pembunuhan karakter?
Ya, begitulah kiranya pertanyaan penulis berdasar pengamatan atas dinamika politik, demokrasi dan kekuasaan yang sedang berlangsung di negeri ini.
Strategi politik yang diterapkan oleh para politisi dan Parpol secara umunya memang bermacam-macam, ada strategi politik identitas, politik dua kaki, politik dagang sapu dan berbagai strategi tetek bengek lainnya yang sejenis.
Yang jelas, dari semua strategi tersebut, memunculkan panggung dan status politiknya masing-masing, baik itu memunculkan pihak yang menang ataupun pihak yang kalah, hingga memunculkan pihak koalisi dari kedua belah pihak ataupun munculnya pihak opisisi dan lawan politik.
Dan hal ini adalah masaih dalam hitungan wajar dalam tatanan demokrasi dan dinamika politik, yang pada praktiknya di lapangan terjadi saling adu panggung, saling adu argumen, saling adu kritik, saling bersaing, saling bertarung di antara Parpol maupun para politisinya.
Namun demikian, dari sudut pandang penulis, ternyata dari sekian jenis strategi yang dijalankan tersebut, penulis menemukan satu fenomena aneh ataupun cara yang dirasa kurang fair dan terkesan amat licik serta tidak beradab yang terlahir dari berstrategi politik ini.
Ya, fenomena aneh tersebut adalah pembunuhan karakter atau perusakan reputasi, yaitu dengan melakukan usaha-usaha ataupun cara tidak beradab untuk saling mencoreng reputasi.
Praktik yang terjadi meliputi seperti, pernyataan yang melebih-lebihkan atau manipulasi fakta untuk memberikan citra yang buruk, menyudutkan, memprovikasi, memfitnah, menjelek-jelekan, merekayasa, mempersekusi yang dilakukan dalam rangka saling menghancurkan reputasi.
Umumnya, bila melihat dari catatan sejarah, pembunuhan karakter ini lebih dominan digunakan oleh pihak penguasa ataupun pihak pemenang dalam kontestasi demokrasi politik.
Dari pandangan penulis, sejarah pernah mencatat, bahwa praktik pembunuhan karakter dalam politik ini pernah dimainkan secara kejam dan biadab oleh Rezim Orde Baru.