Daya tarik Habib Rizieq Shihab yang merupakan pemimpin ataupun ulama besar Ormas Front Pembela Islam (FPI) memang sangatlah fenomenal.
Ya, memang tidak dipungkiri aura kharismatik kepemimpinan Rizieq Shihab mampu menyedot perhatian masyarakat untuk bersimpati dan berempati kepada Rizieq.
Meskipun Rizieq seringkali diterpa tuntutan masalah hukum dan berbagai isu negatif lainnya, dan bahkan ternyata berbagai jeratan masalah hukum justru pernah memenjarakannya, namun herannya tidak mengurangi sedikitpun simpati dan empati masyarakat kepada Rizieq.
Senormalnya atau sewajarnya yang terjadi itu harusnya apa yang sudah di alami Rizieq sebagai mantan narapidana terkait masalah hukum yang pernah dilakukannya ini, dapat berdampak pada kharisma dan citranya.
Tapi anehnya, hal itu tidak berlaku pada Rizieq, dukungan simpati dan empati kepada Rizieq justru terbilang semakin deras saja mengalir.
Bahkan, justru jadi agak sulit juga membantah, bahwa ternyata simpati dan empati masyarakat ini berangsur-angsur menjadi fanatisme kepada Rizieq.
Ya, memang tidak ada yang salah dan tidak ada larangannya mengenai fenomena unik terkait tentang daya tarik Habib Rizieq Shihab ini, karena memang itu adalah hak masyarakat.
Namun yang jadi persoalannya itu adalah, kenapa kok bisa masyarakat yang berkerumun secara massal padahal masih di tengah pandemi korona terkesan jadi pembiaran ataupun dibiarkan saja oleh pemerintah.
Seperti halnya ketika Rizieq kembali pulang ke Tanah Air setelah hampir 3 tahun lamanya berdiam sementara di Arab Saudi.
Kepulangan Rizieq ke Tanah Air ternyata disambut dengan penuh kegembiraan dan suka cita, dan euforia dari para pendukungnya dan masyarakat lainnya yang simpati kepada Rizieq.
Ya, di sini lah letaknya kalau boleh penulis istilahkan bahwa fenomena daya tarik Rizieq ini adalah sebagai "Rizieqforia".
Rizieqforia ini akhirnya jadi bumerang, sebab euforia penyambutan kepulangan Rizieq ke Tanah Air membuat berkumpulnya massa.
Padahal, seperti yang diketahui, bahwa dengan masih kondisi pandemi korona, maka kerumunan massa akan sangat berbahaya dan berpotensi memicu semakin meluasnya cluster penularan korona.
Tidak sampai di sini, ternyata juga, Rizieqforia ini terus berlangsung, berbagai kegiatan yang digelar terkait Rizieq dan pendukungnya yang bersifat mengumpulkan massa ternyata semakin dibiarkan saja, padahal jelas terlihat kegiatan tersebut menyebabkan berkumpulnya massa.
Lalu, yang jadi pertanyaannya adalah, di mana letak keberanian pemerintah dan pihak terkait lainnya, dimanakah para penegak hukum yang seharusnya menegakan aturan terkait protokol kesehatan di tengah pandemi?
Padahal amatlah nyata, bahwa di depan mata ada kerumunan massa karena dampak Rizieqforia dan sangat berisiko menimbulkan cluster penularan pandemi korona.
Apakah Rizieqforia ini justru menyebabkan pemerintah jadi Rizieqphobia, pemerintah takut pada Rizieq dan massa pendukungnya?
Padahal sebagai pihak terkait dalam penegakan aturan protokol kesehatan di tengah pandemi korona ini, seharusnya pemerintah tetap tegas bertindak menegakan aturan protokol kesehatan pandemi korona.
Pemerintah jadi terkesan takut kepada massa Rizieq untuk menindak dan menegakan aturan protokol kesehatan di tengah pandemi korona.
Padahal sebenarnya di sini seharusnya pemerintah bisa bertindak adil dan bijak dalam hal memberlakukan penegakan hukum itu.
Jadi di sinilah yang sangat disayangkan dan sungguh layak dikritik, karena dalam hal ini pemerintah dirasa tidak adil memberlakukan penegakan hukum terkait protokol kesehatan pandemi korona.
Ya, bisa dilihat saja buktinya, kerumunan massa Pilkada saja bisa dibubarkan, kerumunan demonstrasi massa menyoal UU Ciptaker bisa dibubarkan, masa sih kerumunan massa Rizieq dibiarkan saja.
Bahkan, kecenderungannya adalah, pemerintah hanya berani kepada segelintir masyarakat, pemerintah lebih garang bertindak menegakan protokol kesehatan di tengah pandemi hanya pada segelintir masyarakat belaka.
Ini tidak fair bukan?
Seharusnya hukum terkait protokol kesehatan di tengah pandemi korona ini berlaku sama dong, kan semua tanpa terkecuali adalah sama dihadapan hukum.
Inilah sebenarnya yang perlu jadi evaluasi dan catatan penting dari pemerintah dan pihak terkait lainnya terkait protokol kesehatan di tengah pandemi korona.
Ini bukan masalah like and dislike atau masalah islamophobia, bukan masalah politik ataupun masalah pihak berseberangan, oposisi dan "tetekbengek" sandiwara politik lainnya, bukanlah bukannya begitu, ini harus bisa dibedakan.
Kalaulah kondisi sedang tidak pandemi, ya nggak masalah Rizieqforia ini tidak terlalu ditindaklanjuti, tapi masalahnya, ini masih kondisi pandemi korona, harusnya ada tindaklanjut dari pemerintah dan pihak terkait menyikapi kerumunan massa simpatisan Rizieq ini.
Kalau kerumunan massa simpatisan Rizieqforia ini terkesan terjadi pembiaran, maka benarlah kiranya kalau pemerintah sedang kena Rizieqphobia, yaitu takut pada Rizieq dan massa pendukungnya.
Jadi, pemerintah dan pihak terkait harus tetap bertanggung jawab, janganlah tebang pilih dan tidak adil dalam menegakan aturan protokol kesehatan di tengah pandemi korona ini.
Janganlah hukum itu hanya tajam kebawah, tapi tumpul keatas!
Udah itu aja.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI