Gelombang penolakan ternyata terjadi sangat masif dan dahsyat baik dalam bentuk deklarasi atau aksi, sehingga potensi meluasnya klaster maut dan bahaya penularan corona ada di depan mata.
Bahwa ternyata justru dari pihak pemerintah dan DPR yang memicu kegaduhan-kegaduhan masyarakat di tengah pandemi corona ini.
Kalau sudah begini siapa yang bertanggung jawab adalah sudah sangatlah jelas yaitu pihak Pemerintah dan DPR.
Pemerintah gembar gembor menekankan agar jangan bikin gaduh di tengah pandemi corona, tapi apa lacur, justru dari pemerintah sendiri yang bikin gaduh.
Tapi anehnya lagi, malah ada pihak dari pemerintahan yang justru menuding pihak lain yang harus bertanggung jawab.
Seperti yang ditudingkan oleh Menko Marves RI, Luhut Binsar Panjaitan, yang justru menuding para pimpinan kelompok aksi yang bertanggung jawab atas demonstrasi massa menentang Omnibus Law, padahal siapa duluan yang cari gara-gara sudah sangatlah jelas, lucu yang mengenaskan banget.
Andai saja, DPR bisa bersabar dan tidak terburu-buru mengesahkan Omnibus Law menjadi Undang-undang, atau mungkin bisa menundanya terlebih dahulu untuk sementara waktu hingga kondisi pandemi corona ini bisa sedikit mendingan, pasti demonstrasi massa tidak akan terjadi di tengah pandemi corona ini.
Apalagi pembahasan Omnibus Law ini sangatlah diperlukan transparasi atau keterbukaan dan ruang aspirasi publik terkait berbagai materi yang tertuang di dalamnya.
DPR sebagai wakil rakyat, sekali lagi DPR sebagai wakil rakyat, harusnya jangan tuli, mau mendengar aspirasi rakyat, mohon maaf banget kalau sekiranya terlalu kritis dan kasar, DPR itu bukanlah Dewan Perwakilan Rezim!
Meskipun DPR dan Pemerintah sama-sama menjadi institusi supra struktur politik, namun tetaplah memiliki posisi yang berbeda.