Mohon tunggu...
Sigit Eka Pribadi
Sigit Eka Pribadi Mohon Tunggu... Administrasi - #Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#

#Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#Menulis sesuai suara hati#Kebebasan berpendapat dijamin Konstitusi#

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Omnibus Law, Pangkas Regulasi tapi Membunuh Partisipasi Publik

7 Oktober 2020   16:12 Diperbarui: 7 Oktober 2020   16:14 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar via Kompas.id

Ribuan regulasi yang membanjir di Indonesia memang menyebabkan saling tumpang tindihnya aturan dan ketidakpastian hukum.

Sesuai data dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), terdapat 10.180 regulasi yang berlaku di Indonesia dengan rincian, 131 undang-undang, 526 peraturan pemerintah, 839 peraturan presiden, dan 8.684 peraturan menteri.

Dengan melihat fakta banjir regulasi tersebut, maka memang masuk akal juga kiranya, kalau Pemerintah dan DPR ingin menyederhanakan jumlah regulasi tersebut.

Sehingga berlatar belakang banjir regulasi tersebut, muncul pendekatan Omnibus Law, yang pada akhirnya juga, pada tanggal 5 Oktober 2020, Omnibus Law telah disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang.

Namun demikian, apakah penyederhanaan banjir regulasi di segala sektor tersebut harus dan mesti dilakukan melalui pendekatan Omnibus Law?

Padahal penyederhanaan regulasi bisa saja menggunakan pendekatan kodifikasi atau pencabutan, perubahan, ataupun pembatalan undang-undang.

Berkaitan dengan telah disahkannya RUU Omnibus Law menjadi Undang-undang, maka kalau merujuk pada UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Ternyata, penyederhanaan regulasi melalui pendekatan Omnibus Law ini mengalami pelanggaran sistematisasi materi pokok, yaitu dengan mengabaikan partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Omnibus Law membelenggu keterbukaan dan partisipasi ruang publik dalam pembentukan undang-undang, padahal prinsip keterbukaan dan partisipasi dalam memproduksi undang-undang adalah roh utama dalam negara demokratis, karena bisa dilihat faktanya, pemerintah dan DPR lebih mendominasi.

Bahkan materi dan waktu pengerjaannya terlalu cepat, kurang komprehensif serta kurang mempertimbangkan dampak turunan dari undang-undang yang dipangkas, termasuk dampak terhadap aturan pelaksanaannya dan implikasinya di lapangan.

Prosesnya pembahasannya hingga disahkan kurang bijak, karena disahkan saat kondisi bangsa Indonesia sedang prihatin dirundung badai bencana pandemi Covid-19.

Seharusnya DPR yang notabene terdiri dari orang-orang pintar dan hebat serta pikirannya pasti masih pada waras tersebut bisa lebih rasional dalam berpikir bagaimana baik dan pantasnya dalam rangka memproduksi Undang-undang.

Inilah sebabnya, mengapa Omnibus Law yang telah disahkan tersebut, ternyata menuai berbagai polemik, dan banyak yang menentangnya.

Mulai dari buruh, mahasiswa, pakar akademisi menentang UU Omnibus Law, karena UU ini masih dinilai berat sebelah dan cenderung memihak kelompok tertentu.

Bahkan, UU Omnibus Law, masih terdapat banyak ketimpangan, termasuk juga, adanya kepentingan yang tidak seimbang, namun tetap saja diakomodir dalam Undang-undang tersebut.

Sehingga kalau ada tudingan dan dugaan-dugaan bahwa ada misi tersembunyi yang di selundupkan oleh para penguasa dan para pemangku kepentingan memang bisa saja benar adanya.

Jadi, Omnibus Law ini memang layak disikapi dengan hati-hati, kalau hanya akan mengancam dan mencederai prinsip-prinsip demokratis, maka amatlah perlu ditinjau kembali.

Indikasi mulai terbentuknya praktik kapitalisme di negeri ini sudah diambang nyata, rakyat makin susah dan sengsara dan semakin banyak ditekan, tapi para kesohor penguasa, para pengusaha, para politisi, para investor dan para stake holder semakin duduk nyaman, semakin banyak menuai pundi-pundi emas dan untung besar.

Bahkan ada indikasi yang lebih parah lagi, Pemerintah justru jadi kolonial/penjajah dan kapitalis bagi rakyatnya sendiri.

Hal inilah yang sebenarnya yang sangat tidak diharapkan oleh masyarakat dan tentu saja masyarakat tidak akan bisa menerima begitu saja, dan masyarakat sangat berhak memperjuangkan nasibnya.

Oleh karena sudah terlanjur disahkan maka harus ada pihak-pihak yang memperjuangkannnya melalui Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi.

Demikian artikel singkat ini, terima kasih.

Sigit Eka Pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun