Sudah parah banget di negeri +62 ini, sindrom "ngeyelan" sudah makin akut dan abai pada protokol kesehatan, bahkan mengalahkan ganasnya pandemi corona!
Fenomena ngluster bareng corona juga makin menggejala, saling berkerumun bareng diberbagai tempat, masyarakat justru menjemput corona yang langsung kesenangan dapat mangsa, layaknya jailangkung saja jadinya corona ini.
Ya, sangat memprihatinkan banget, padahal ancaman pandemi corona ini amatlah berbahaya, tapi justru semakin banyak masyarakat yang ngeyelan mengabaikan protokol kesehatan.
Tak hanya masyarakat saja sih sebenarnya yang ngeyelan, ternyata para pemangku kepentingan di negeri ini, termasuk pemerintah sudah turut terjangkiti sindrom ngeyelan akut ini.
Malahnya terkesan memproduksi keputusan maupun kebijakan ngeyel di tengah makin ngeyelannya masyarakat di tengah pandemi corona.
Yang jelas, kengeyelan semacam ini, biasanya cuma bisa diingatkan ataupun disadarkan oleh satu hal yang membuatnya siuman, yaitu mengalami sendiri, dampak buruk dari ngeyelannya tersebut.
Masalahnya, jika kesadaran ini harus dialami terlebih dahulu dan kemudian baru menyesal kemudian, sementara penyebaran wabah virus corona berkembang begitu cepat akan menjadi bom waktu yang akan tetiba meledak seketika.
Ya bisa dilihat saja, saat PSBB dilonggarkan oleh pemerintah, lalu bikin kebijakan gas dan rem terkait kesehatan dan ekonomi, yang katanya sih antara ngegas dan ngeremnya harus seimbang dengan melihat kondisi di lapangan terkait pandemi corona ini.
Tapi apa yang terjadi, justru kesannya pemerintah ngegas terus disektor ekonomi, ketika kegawatan disektor kesehatan mulai timbul, malahnya nggak ngerem ngerem juga, malah makin ngeyel, ngebut terus, makin laju ngegas disektor ekonomi, bagai pembalab MotoGP.
Ngemeng ngemeng, eh ngomong ngomong soal pembalab MotoGP, jadi ingat bang Vinales deh jadinya, waktu bang Vin jungkir balik gegara ada masalah rem pada motornya.
Duh, ngelantur deh jadinya, baiklah, balik lagi kita, yah pada intinya penulis mau bilang pemerintah juga ngeyelan, sehingga semakin banyak masyarakat yang jadi tambah ndableg.
Atau kalau boleh lebih kritis lagi penulis ungkapkan, kengeyelan kebijakan pemerintah justru makin menggoblokkan masyarakat, sehingga masyarakat jadi tidak teredukasi dengan optimal dan menyebabkan makin menggejalanya ketololan masyarakat di tengah pandemi corona.
Inilah kiranya yang bisa jadi alasan, kenapa lonjakan kasus terkonfirmasi positif corona makin tinggi, bahkan angka kematian tak kunjung bisa ditekan, dan terjadi secara nasional.
Istilahnya di sini adalah, kalau pemerintahnya ngeyelan, otomatis masyarakat ya jadi ikutan ngeyelan juga lah, sehingga inilah juga yang pada akhirnya menyebabkan meluasnya kluster penularan corona.
Artinya dalam hal ini, keberhasilan berkomunikasi dengan masyarakat merupakan kunci keberhasilan upaya pemerintah dalam rangka menanggulangi ataupun menekan laju penyebaran corona.
Banyaknya pelanggaran yang terjadi selama PSBB ini kemungkinan besar berasal dari sulit dan bingungnya masyarakat memahami kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah.
Bagaimana tidak, lihat saja mulai dari PSBB transisi, pelonggaran PSBB, new normal, adaptasi kebiasaan baru, hingga gas dan rem, sosialisasinya kurang efektif dan masif.
Bahkan sistem pengawasan yang efektif, yang seharusnya tetap di terapkan justru diabaikan, ketika sudah makin parah kondisi pandemi, baru sibuk dan kendadapan, bikin ini dan itu, ironi sekali!
Jadinya apa? Ketika terjadi kondisi kegawatan disektor kesehatan yang mengharuskan menarik rem darurat, dan membuat pemerintah daerah jadi kembali menerapkan PSBB total, langsung kaget, jumpalitan dan jungkir balik.
Pihak pemangku kepentingan langsung misuh misuh seolah baru siuman dari kecovidiotanya, langsung ramai ramai teriak, dancok, sompret, kampret tenan, anjay cok, ngerem ngak bilang bilang sih.
Di sinilah kiranya yang sangat perlu disadari dan jadi catatan oleh pemerintah, baik itu pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.
Utamanya bagi pemerintah pusat, nggak juga boleh terlalu ego, tutup mata dan tutup kuping terhadap aspirasi pemerintah daerah.
Pemerintah daerah juga jangan bungkam dan terlalu pasif, keduanya haruslah solid dan kompak dalam mengatasi pandemi ini.
Karena apa, solid dan kompaknya pemerintah pusat dan daerah, sangat menentukan kepatuhan masyarakat, sangat menentukan berhasil tidaknya menekan laju persebaran corona.
Oleh karenanya, mulai dari yang teratas hingga yang terbawah, termasuk masyarakat harus solid dan kompak, agar pandemi ini bisa diatasi.
Pandemi corona ini memang membuat segala sesuatunya jadi tak menentu, sehingga upaya yang terbaik harus tetap dilakukan dalam mengatasinya, dengan selalu mengedepankan dan menjunjung tinggi amanah untuk menyelematkan bangssa dan negara ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H