Mohon tunggu...
Sigit Eka Pribadi
Sigit Eka Pribadi Mohon Tunggu... Administrasi - #Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#

#Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#Menulis sesuai suara hati#Kebebasan berpendapat dijamin Konstitusi#

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Politisi Makin "Ndableg" pada Etika Politik

10 September 2020   09:15 Diperbarui: 10 September 2020   09:19 909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Politik Indonesia semakin dirasa kehilangan kesejatiannya yaitu politik yang beretika dan bertatakrama, politik yang keberlangsungannya berdemokrasi yang demokratis.

Politik yang menjunjung tinggi prinsip moral tentang baik-buruk dalam tindakan atau perilaku berpolitik dalam rangka mengejawantahkan ideologi negara yang luhur ke dalam realitas masyarakat.

Politik yang berlangsung di negeri ini, justru kian dirasakan berangsur jadi tak memiliki etika lagi.

Sungguh nyata sekali, betapa semakin terasa kuatnya cengkeraman politik oligarki dan politik dinasti, termasuk berlakunya politik identitas, politik dua kaki, politik muka dua dan istilah metaforis lainnya yang terus bertumbuhkembang di negeri ini.

Sehingga politik yang ada lebih condong mengedepankan idealitas yang destruktif, dialektis, dan distorsi ketimbang realisme politik yang beretika.

Kepentingan merengkuh kekuasaan semata, masih mengakar sangat dalam di Indonesia, dan karena motif kekuasaan inilah, pada akhirnya menciptakan ragam kebijakan yang hanya memuaskan kepentingan politik dan kelompok tertentu saja.

Inilah juga yang membuktikan bahwasanya perkembangan politik di negeri ini masih dirasa berjalan di tempat, karena para politisi masih berpegang teguh pada prinsip untuk "menghalalkan segala cara demi berkuasa".

Spirit revolusioner dan jiwa politik sejati para politisi terkontaminasi dan terasuki oleh ambisi karena haus kekuasaan, sehingga mengabaikan etika!

Politik sering berujung pada eufimisme yaitu masih merupakan pendapat-pendapat dan ungkapan-ungkapan serta janji-janji yang masih diragukan realitanya.

Akal busuk dengan mengumbar janji busuk, beretorika dengan gaya bahasa meyakinkan, untuk menyamarkan tujuan dan niat busuk demi kepentingan politik praktis dan merengkuh kekuasaan semata.

Semakin sulit membedakan mana politisi yang benar-benar mengusung demokrasi dengan visi dan misi sejati yang sesungguhnya dan mana politisi yang hanya merupakan bumbu-bumbu dari manisnya menjilat, permainan silat lidah menjalankan skenario drama untuk menutupi sebuah kepentingan politik busuknya demi kekuasaan.

Padahal, tugas para politisi ini bila sudah duduk di parlemen sebagai legislatif bersifat sangat strategis, karena akan sangat menentukan masa depan Negara.

Inilah kiranya sedikit gambaran yang terjadi pada sebagian politisi di negeri ini, sehingga sangatlah boleh kalau dikritisi bahwa hampir sebagian besar para politisi di negeri ini jadi makin ndableg pada etika politik.

"Ya, ndableg, bersikap dan berperilaku cuek, keras kepala, bahkan muka tembok"

Akhirnya rakyat menumpahan segala kekecewaan, keluh-kesahnya, hingga sumpah serapahnya melalui jejaring-sosial sehingga berbagai Tagar (#) menyangkut politik dan pemerintah seringkali menjadi trending topik dunia di Twitter dan jejaring sosial lainnya.

Sikap antipati publik terhadap politik di negeri ini dirasa semakin menggejala, pemikiran publik jadi kontradiktif, sehingga menimbulkan sinisme politik dan apatisme politik, bahkan eskalasinya cukup tinggi, dan ini merupakan konsekuensi logis dari kondisi defisit etika politik para politisi di negeri ini.

Sebenarnya demokrasi dan perpolitikan harus selalu berpasangan dan harus seiring sejalan, berkiblat pengabdian kepada rakyat, dengan konsep dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, serta benar benar tertuang secara nyata kepada rakyat.

Para politisi mesti mengingat, bahwa mereka disumpah, terpilih dan dipilih bukanlah semata hanya sebagai pajangan, bukanlah semata hanya mengedepankan kepentingan politik ataupun kepentingannya masing-masing, tapi harusnya lebih mengutamakan kepentingan rakyat.

Sayangnya, dari fenomena-fenomena yang terjadi ini hanyalah menjadi pengetahuan belaka tanpa adanya tindakan preventif untuk memperbaikinya, para politisinya justru terkesan makin ndableg.

Yang jelas, mau ndableg dan nggak ndablegnya, kesemuanya itu, kembali bergantung pada seberapa besar integritas para pengendali politik dan pemangku kepentingan di negeri ini.

Oleh karena itu, di negeri ini sangat perlu transformasi para tokoh-tokoh pelakunya baik itu, para politisi, pemerintahan, tokoh negarawan maupun elemen bangsa lainnya, untuk menuju satu kesatuan visi dan misi.

Sehingga tidak ada lagi klaim bahwa demokrasi dan politik di negeri ini masih proses belajar, karena para politisinya banyak yang ndableg.

Semoga saja, dari realita yang terjadi ini, semakin membuat introspeksi diri, untuk menuju satu kesatuan visi dan misi yang dicita-citakan bersama.

Hanya artikel receh, mohon kiranya dimaklumi.

Semoga bermanfaat.

Sigit Eka Pribadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun