Tata krama politik para politisi di Indonesia nampaknya sudah mulai tergerus dan terdegradasi, jiwa politik sejati yang mengedepankan nilai, norma, dan sopan santun yang hadir untuk kepentingan publik (umum) sudah mulai luntur.
Kenapa bisa dibilang seperti itu?
Ya, lihat saja bagaimana Puan Maharani yang merupakan ketua Bidang Politik dan Keamanan DPP PDI Perjuangan (PDI-P) terbentur kontrovesrsi berkaitan dengan pernyataannya.
Pernyataan politisi Puan Maharani yang meminta masyarakat Sumatera Barat menjadi provinsi yang mendukung negara Pancasila, ternyata menuai polemik dan jadi kontroversi karena dinilai sangat menyinggung dan menyakiti perasaam dan hati warga Sumbar.
Banyak pihak yang menyayangkan statemen yang dilontarkan oleh Puan, bahkan Puan sampai dituntut untuk mengklarafikasi dan meminta maaf atas statemennya tersebut.
Namun yang tak kalah kontroversi juga adalah politisi Mumtaz Rais, putra politisi kondang Amien Rais ini dinilai oleh banyak pihak sebagai anak durhaka.
Pihak loyalis Amien Rais pun sampai geram terkait sikap di luar adab dari Ketua OKK DPP PAN, Mumtaz Rais tersebut, yang mengata-ngatai bahwa gerakan PAN Reformasi sebagai halusinasi bahkan Mumtaz dinilai justru menyerang ayahnya sendiri, Amien Rais.
Sebenarnya tak hanya Puan dan Mumtaz saja bila juga mengingat bagaimana sikap dari politisi lainnya, seperti halnya Arteria Dahlan yang dinilai tidak memiliki etika karena menuding-nuding Emil Salim yang secara usia jauh lebih tua.
Tak ketinggalan juga politisi Yasona Laoly yang juga menjabat sebagai Menkumham RI, ketika sempat menuai kontroversi karena pernyataannya menyinggung dan menyakiti warga Priok.
Dan bukan hanya Puan, Mumtaz, Arteria hingga Yasona, sebenarnya masih banyak para politisi lainnya yang terkadang menuai kontroversi karena sudah kurang menjiwai lagi tata krama politik ini.
Tata krama politik sudah mulai hilang dan tak dijiwai lagi karena perbedaan pandangan politik dan kepentingan kekuasaan semata.