Ya, surat yang intinya berisikan maklumat menurunkan kabinet Syahrir yang menurut pangakuan Mayjen Soedarsono telah mendapat persetejuan Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Sehingga dalam hal ini telah menegaskan, bahwa Panglima Besar Jenderal Soedirman tidak terlibat dalam konflik politik para elit pemerintahan yang akhirnya menjadi peristiwa kudeta tersebut.
Dalam rangkaian peristiwa sejarah lampau seiring perkembangan berbangsa dan bernegara, di Indonesia memang pernah terjadi dikotomi antara Sipil dengan Militer.
Ada hasrat dan keinginan para politisi yang hendak menarik militer dalam lingkungan pengaruh politiknya sebagai Subjective Civilian Control dan Objective Civilian Control bagi partai politik.
Namun demikian seiring pengalaman sejarah, maka Panglima Besar Jenderal Soedirman dengan tegas menentang keras usaha-usaha para politisi untuk dapat menguasai pasukan-pasukan TNI melalui suatu program Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra).
Seiring waktu, pada masa demokrasi liberal/parlementer kondisi negara yang penuh dengan pertentangan antar elit politisi dan partai politik mendominasi kehidupan berbangsa dan bernegara pada saat itu.
Kondisi itu membuat prihatin Wakil Presiden Moh. Hatta yang mengatakan, "Negara hanya dijadikan sebagai kuda beban untuk menarik kepentingan dari partai-partai politik".
Para politisi mengesampingkan sense of belonging terhadap negara dan bangsanya, Mereka berjuang hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, hanya melihat untung dan rugi bagi kelompoknya.
Sehingga membuat kondisi resistensi terhadap Pancasila dan UUD 1945, apalagi ada sebagian parpol yang hendak menarik kekuatan TNI ke dalam pengaruh atau kekuasaannya dengan harapan dapat memperkuat nilai partai politiknya.
Efek dari demokrasi liberal atau parlementer yang tidak sesuai dengan situasi dan kondisi rakyat pada saat itu dan jelas-jelas menyimpang dari UUD 1945 menjadikan militer Indonesia semakin kuat memiliki sense of state.
Akan tetapi sebagaimana yang telah ditekankan dan dipesankan oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman, bahwa TNI adalah milik nasional, bukan milik golongan dan menyatakan bahwa garis politik tentara adalah garis politik negara, bukan penguasa atau golongan.