Mohon tunggu...
Sigit Eka Pribadi
Sigit Eka Pribadi Mohon Tunggu... Administrasi - #Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#

#Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#Menulis sesuai suara hati#Kebebasan berpendapat dijamin Konstitusi#

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Bapak Berjuang di Antara Hidup dan Mati

16 April 2020   21:50 Diperbarui: 16 April 2020   22:03 2759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bapak ketika masih menjalani perawatan pemulihan di Ruang ICU rumah sakit | Dokumen Pribadi

Korban jiwa akibat wabah global virus korona telah banyak berjatuhan, dan masih banyak yang berjuang antara hidup dan mati di ruang-ruang isolasi ataupun ICU rumah sakit.

Ventilator, selang oksigen dan berbagai alat bantu lainnya untuk bertahan hidup menjadi pemandangan yang memilukan bila kita berada dan melihat langsung di ruang isolasi dan ruang ICU rumah sakit.

Derai air mata, kesedihan, maupun kekhawatiran, harap dan cemas, selalu berdoa berharap agar kesembuhan dilimpahkan, pasti dirasakan oleh seluruh keluarga yang menunggu.

Suasana yang juga pernah penulis rasakan, saat bapak pernah mengalami kondisi kritis berjuang diantara hidup dan mati, ketika harus masuk ICU rumah sakit akibat kanker paru-paru yang diderita oleh bapak.

Sebelumnya penulis mohon izin, untuk menceritakan pengalaman nyata penulis ini, dengan tujuan semoga ada manfaat yang bisa diambil bersama terkait para penderita korona yang sedang berjuang hidup dan mati untuk dapat sembuh.

Jadi maksud penulis, melalui pengalaman nyata ini, penulis ingin memberikan gambaran betapa penuh perjuangan orang yang sedang dalam kondisi kritis berjuang antara hidup dan mati untuk bisa tetap bertahan hidup dan betapa penuh harap cemas keluarga yang menunggui.

Masih lekat dan membekas di dalam ingatan saya sekitar 7 tahun yang lalu, betapa bapak pernah berjuang keras antara hidup dan mati di ruang ICU rumah sakit.

Satu tarikan nafas bapak harus dibantu dengan pompaan ventilator, ketika selang ventilator yang dimasukan melalui mulut bapak memompa paru-paru, tubuh bapak seperti disentakan, dadanya naik lalu lurus kembali, dan begitu seterusnya.

Trenyuh, tak tega, sedih tak terkira, air mata saya dan keluarga terus meleleh, rasa tak sanggup melihat bapak harus seperti itu, hidup bapak harus bergantung pada ventilator dan beberapa alat yang ditancapkan ditubuh bapak.

Kondisi bapak saat masih harus pakai ventilator | Dokumen Pribadi
Kondisi bapak saat masih harus pakai ventilator | Dokumen Pribadi
Setiap jam besuk di ICU yang sangat terbatas itu, saya sekeluarga selalu membacakan surah yasin dan selalu membisikan doa-doa kesembuhan untuk bapak.

Hari-hari yang dilalui selama menunggui bapak dirawat di ICU selalu diliputi rasa kesedihan dan kecemasan, apalagi ketika mengetahui satu persatu orang yang dirawat di ICU pada meninggal dunia. Betapa saya dan keluarga semakin diliputi rasa cemas melihat realita tersebut.

Pada satu ketika saat hari ke 10 menunggui bapak yang masih dirawat di ICU, dokter yang menangani bapak, meminta salah satu perwakilan keluarga untuk bertemu secara khusus diruangannya.

Keluarga saat itu sepakat kalau saya sebagai anak tertua yang mewakili, sebab saat itu ibu tak sanggup dan terus menangis, karena dalam gambaran benak ibu, kalau dokter sudah meminta waktu seperti itu pasti ada sesuatu yang gawat pada bapak.

Benar saja apa yang dicemaskan ibu, ternyata memang benar adanya karena kondisi bapak memang semakin gawat, harapan hidup bapak sudah sangat tipis sekali dan berat untuk bertahan, dan dokter menyarankan kepada saya dan keluarga untuk mengikhlaskan bapak.

"Berat sebenarnya kami para dokter mengatakan ini mas, kita semua para dokter yang menangani bapak sudah berusaha sekeras-kerasnya untuk kesembuhan bapaknya mas sigit, untuk itu sekarang keputusan ada di mas sigit, kondisi bapak begitu adanya sudah berat sekali".

"Jadi maksud dokter, ventilator dan berbagai macam alat-alat itu sudah tak mampu lagi menopang nafas bapak, jadi sudah harus dilepasin semua, begitu kah dok".

Dokter saat itu hanya bisa mengangguk tanpa berkata-kata, tak tega juga sekedar hanya mengatakan "iya" kepada saya.

Saya terdiam, air mata saya tak terbendung dan deras mengalir, mengetahui kenyataan tersebut, bagaimana saya sanggup mengatakan kondisi bapak kepada ibu dan keluarga.

Tapi pada saat itu saya teringat sesuatu, saya teringat keinginan kuat dan janji bapak untuk berhaji di Mekkah, lalu dalam-dalam saya berpikir, hidup dan mati itu Tuhan yang menentukan, selama bapak masih bernafas masih ada harapan bapak untuk hidup dan masih ada harapan bapak pergi berhaji. Akhirnya keputusan saya ambil dan kepada dokter tersebut saya mengatakan.

"Pak dokter, saya sangat mengerti apa yang sudah pak dokter katakan, tapi dok apapun yang terjadi nafas bapak masih ada dok, bapak masih hidup, bapak masih berjuang, jadi jangan dilepasin dulu ya dok, saya berharap dokter dapat mengerti apa yang saya maksudkan".

"Baik mas sigit, saya mengerti dan memahami apa yang mas sigit sekeluarga inginkan, jadi kami akan tetap berusaha maksimal menjaga bapak, mas sigit dan keluarga harus tetap selalu berdoa dan semoga bapak bisa sembuh".

Selesai bertemu dokter, keluarga saya sudah menanti dengan penuh kecemasan soal kondisi bapak, dan langsung menanyai saya tentang apa yang dikatakan dokter, apalagi ibu saya yang masih berlinang air mata mencemaskan kondisi bapak.

Saya hanya bilang saat itu, bapak nggak apa-apa, kata dokter, sebentar ini kita sekeluarga masuk ruang ICU, karena ada tindakan khusus untuk bapak, jadi kita doa sama sama, kita baca surah yasin sama-sama untuk bapak.

Namun tetap saja tak menenangkan hati, justru ibu dan adik-adik saya makin sejadi-jadinya menangis, begitu juga dengan keluarga yang lainnya.

Saat sudah diruangan ICU kami sekeluarga membaca secara bersama surah yasin untuk bapak, dan berdoa untuk kesembuhan bapak, satu persatu kami sebelum meninggalkan ruang ICU semuanya menciumi wajah bapak dan berbisik doa ditelinga bapak, dan terakhir sebelum saya keluar ruang ICU saya berbisik ditelinga bapak.

"Pak, bapak harus sembuh, bapak ingatkan, bapak kan janji mau naik haji pak, bapak gak kangen kah pak sama cucu-cucu bapak, jadi bapak harus sembuh ya pak".

Setelahnya ruang ICU sudah ditutup, kami kembali menanti dengan cemas kondisi bapak, hari itu hari ke 10 menunggui bapak, seperti yang bukan biasanya, hari yang begitu lama saja terasa.

Subuh pukul 3 dini hari, tepat hari ke 11 bapak dirawat di ICU, sms dihandphone saya berbunyi, rupanya dari dokter yang menangani bapak, saya disuruh bertemu diruangannya, mendapat sms itu pikiran saya sudah tak karuan, entah apa yang terjadi dengan kondisi bapak.

Saya meneguhkan hati, mencoba kuat melangkah menemui dokter, meskipun pikiran sudah dibayangi kecemasan tentang kondisi bapak.

Setelah diruangan, dokter saat itu mengatakan, "harapan hidup bapak ada peningkatan signifikan, kesadaran bapak tinggal proses pemulihan, nafas bapak membaik signifikan dan ada harapan besar untuk sembuh, karena semua virus kanker yang menggerogoti paru-paru bapak sudah dapat diatasi".

"Meskipun nanti paru-paru bapak hanya berfungsi sebelah saja dan terus butuh perawatan yang berkelanjutan tapi bapak ternyata bisa sembuh, kami juga sangat bersyukur proses perawatan bapak dengan segala alat, obat dan pengawasan ketat kami selama di ICU membuahkan hasil".

Betapa saya bersyukur, dan langsung sujud syukur saat itu. Betapa bersyukurnya ibu dan keluarga ketika saya kabari kondisi terakhir bapak ini.

Hari ke 11, bapak dirawat di ICU mata bapak sudah mulai terbuka, meskipun nafas bapak masih dibantu ventilator tapi semakin terlihat bapak sudah bisa sedikit bereaksi.

Hari ke 12, kesadaran bapak sudah pulih sepenuhnya dan sudah dapat menggerakan tangan dan kaki, menyapa kami dengan senyum, dan bisa berkata meski masih terbata, ventilator sudah dilepas dan pada hari ke 13 bapak sudah bisa keluar dari ruang ICU dan pindah keruang perawatan rumah sakit.

Dan sampai kini meskipun paru-paru bapak hanya sebelah saja yang dapat berfungsi, bapak bisa berkumpul bersama keluarga dan para cucu-cucunya, bahkan andaikata pandemi korona ini tak melanda dunia, mungkin bapak sudah bisa pergi berhaji bareng keluarga ke Mekkah, Arab Saudi tahun 2020 ini.

Saya, bapak dan kahyang | Dokumen pribadi
Saya, bapak dan kahyang | Dokumen pribadi
Inilah sedikit pengalaman yang pernah penulis alami dan rasakan, betapa sebenarnya sangat sedih dan prihatin ketika harus berharap cemas, khawatir akan kondisi keluarga yang dirawat di ICU, apalagi bagi orang yang sakit dan sedang berjuang diantara hidup dan mati.

Dan kurang lebihnya pasti sama dengan apa yang dirasakan oleh orang-orang yang tentunya berharap kesembuhan terkait wabah korona ini, dan yang jelas apapun jenis sakit itu, maka tidak ada satu orangpun didunia ini yang menginginkan sakit ataupun menginginkan sanak famili sakit.

Jadi, dari apa yang saya tuliskan ini, semoga bisa menjadi satu gambaran bersama, betapa berharganya menjadi sehat itu, betapa berat perjuangan orang yang sakit ketika harus dalam kondisi kritis berjuang antara hidup dan mati itu.

Betapa keluarga yang menunggui juga turut sedih dan prihatin sangat berharap kesembuhan. Begitu juga perjuangan para dokter maupun perawat yang turut berjibaku mencurahkan segenap jiwa raganya demi merawat dan kesembuhan orang yang sakit.

Inilah sedikit pengalaman nyata yang bisa penulis bagikan, mudah-mudahan ada yang bisa jadi manfaat bersama.

Sigit Eka Pribadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun