Pelabelan stigma (pandangan negatif) terhadap wanita berstatus janda masih menjadi penghakiman yang mendiskreditkan kehidupan para janda dalam lingkungan sosial masyarakat.
Anggapan yang berlaku pada lingkungan sosial masyarakat masih menghakimi, kalau wanita berstatus janda itu tidak lagi bersuami karena suami meninggal atau diceraikan suami, maka seorang wanita telah menjadi sosok wanita yang tidak sempurna.
Seperti diketahui stigma itu sendiri adalah berbagai pandangan orang yang menilai diri seseorang selalu negatif, baik dalam hal tindakan dan perbuatan ataupun mengenai pemikiran yang dilakukan.
Label stigma yang masih menempel pada wanita berstatus janda tersebut pada akhirnya menimbulkan dampak stereotip negatif terhadap para janda yaitu penilaian yang hanya berdasarkan persepsi dan asumsi semata.
Para janda seringkali ditempatkan sebagai wanita pada posisi yang rendah, lemah, tidak berdaya dan membutuhkan belas kasih, bahkan sering dipergunjingkan.
Sehingga, buah dari pelabelan stigma terhadap janda tersebut, memberikan dampak negatif bagi kehidupan sosial para janda, seperti perlakuan diskriminasi terhadap janda, dan menyebabkan janda jadi menarik diri dari lingkungan sosial masyarakat.
Para janda jadi hilang motivasi, dan tidak percaya diri dalam kehidupannya dilingkungan sosial masyarakat, bahkan sering menjalani kehidupan yang sulit dan merasa terpojokan serta terpinggirkan.
Karena perlakuan kondisi sosial budaya di lingkungan masyarakat seringkali terdapat perilaku ketidakadilan.
Seperti contoh yang kerap jadi
pelabelan stigma bahwa janda itu dinilai sebagai wanita gampangan, atau pelabelan seperti janda kembang, janda bohay dan pelabelan lainnya yang bersifat memberikan narasi negatif.
Para janda, yang di satu sisi dipandang dan dinilai senantiasa menarik untuk digoda, dipandang hina dan kerap menjadi sasaran empuk untuk dicerca.
Keberadaannya di lingkungan sosial masyarakat, seringkali ditempatkan pada posisi yang tidak nyaman karena para janda kerap dicurigai, disorot bahkan ada kalanya dijadikan bulan-bulanan gosip atau pergunjingan dan fitnah di kehidupan lingkungan sosial masyarakat.
Dilematis dan bak buah simalakama karena jika para janda memilih untuk tidak berinteraksi dengan lingkungan sosialnya maka para janda akan dianggap asosial, sedangkan jika terlalu akrab bergaul dengan yang lainnya maka para janda akan dicurigai dengan bermacam-macam praduga dan kecurigaan.
Sehingga pelabelan stigma tersebut dapat menyebabkan janda merasa semakin tertekan atas pandangan sinisme terhadap status stigma yang kerapkali selalu dilabelkan dengan narasi minor dan negatif oleh lingkungan sosial masyarakat tersebut.
Dan pada akhirnya dari pelabelan stigma terhadap janda dapat menyebabkan juga munculnya perilaku skeptisme di antara para janda, karena sudah kadung di labeli stigma dan stereotip yang selalu buruk oleh lingkungan sosial masyarakat maka sebagian dari mereka justru berlaku menjadi penggoda, pelakor, hingga perusak rumah tangga orang.
Hal-hal inilah kiranya yang dapat menyebabkan janda merasa semakin tertekan atas pandangan terhadap stigma yang selalu dilabelkan secara negatif oleh lingkungan sosial masyarakat ataupun akhirnya berperilaku skeptisme karena sudah terlabel dengan stigma tersebut akhirnya justru jadi membuat janda pesimis, karena sudah terlanjur selalu di nilai negatif oleh lingkungan sosial masyarakat.
Padahal secara umumnya pelabelan stigma, termasuk juga terhadap pelabelan stigma terhadap janda adalah penghalang terbesar yang membatasi orang di seluruh dunia terhadap peningkatan kualitas hidup orang lain.
Pelabelan stigma (stereotip negatif) terhadap janda harus dilepaskan, kenapa?
Ya, memang tidaklah mudah untuk membebaskan ataupun melepaskan pelabelan stigma terhadap janda dari pemikiran maupun dalam kehidupan lingkungan sosial masyarakat.
Tapi, tentunya perlu disadari dan direnungkan bersama, bahwa janda memiliki hak untuk mendapat perlakuan yang sama dalam hak asasi manusia, hak untuk hidup yang wajar dan semestinya, hak hidup untuk bebas dari pelabelan stigma yang selama ini dilekatkan seperti pendiskriminasian, pelecehan, penghinaan, dan pelabelan negatif lainnya terkait statusnya sebagai janda.
Stigma yang berlaku di masyarakat bahwa kalau wanita itu tidak lagi bersuami, karena suami meninggal atau diceraikan suami telah menjadi sosok wanita yang tidak sempurna lagi seyogianya mesti dapat dilepaskan.
Karena bagi wanita yang telah menyandang status janda baik itu janda disebabkan karena cerai ataupun ditinggal meninggal suami dalam kehidupannya sudah sangatlah berat untuk menerima kondisi yang sudah mereka alami tersebut.
Menjadi seorang janda bukanlah keinginan seorang wanita. Tidak ada seorangpun wanita di dunia ini yang menginginkan dirinya menyandang status sebagai janda, bahkan status janda merupakan status sangat ditakutkan oleh seluruh wanita di dunia ini.
Lalu bagaimana caranya melepaskan pelabelan stigma terhadap janda?
Disadari ataupun tidak disadari lingkungan sosial masyarakat kerap kali menghakimi bahwa ada yang salah dengan status janda.
Maksudnya disini adalah lingkungan sosial masyarakat seyogianya agar tidak lagi memandang ataupun menilai bahwa ada yang salah dengan status janda.
Sehingga nilai-nilai positif dan kewajaran mesti dibangun bahwa soal status janda tidak ada yang perlu dipersalahkan atau dipermasalahkan ataupun tidak ada yang salah dengan status janda karena itu adalah memang bagian dari kehidupan.
Menilai wanita dengan status janda itu sebagai suatu kondisi yang netral, dengan tidak lagi membubuhkan narasi-narasi yang sifatnya negatif yang seringkali diikut sertakan.
Karena menjadi seorang wanita menyandang status janda itu amatlah berat, mereka harus berupaya keras tetap menjaga harkat dan martabat dirinya di lingkungan sosial masyarakat dan harus mampu bertahan demi diri sendiri ataupun untuk anak-anaknya tanpa didampingi lagi oleh sesosok pria yang bisa menjaga, menyayangi dan mengayominya.
Lingkungan sosial masyarakat harus menunjukkan kepedulian dan empati yang mengedapankan pemikiran yang positif (positive thinking) terhadap para janda, dan membuka pandangan atau cakrawala berpikir untuk menyikapi hal-hal dengan perspektif yang lebih luas lagi terhadap para janda.
Jadi kesimpulannya, wanita berstatus janda memiliki hak yang sama dalam kehidupan, tidaklah elok bila lingkungan sosial masyarakat selalu menghakimi status janda dengan pelabelan stigma yang disertai dengan narasi-narasi yang bersifat negatif.
Tak semestinya para janda itu harus dihakimi dengan pelabelan stigma dengan narasi negatif, maka segala pelabelan stigma terhadap janda harus dilepaskan dan dihapuskan.
Para janda harus diangkat dan dikembalikan lagi derajatnya, para janda juga ingin didengar, diperhatikan dan diayomi bukan untuk menjadi bahan pergunjingan.
Para janda perlu dihargai dengan pandangan yang lebih mengedepankan sisi humanisme dalam kehidupan lingkungan sosial masyarakat.
Bukan bermaksud menggurui ataupun ada motif-motif tertentu, tapi semoga artikel ini dapat menjadi manfaat bagi bersama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI