Mohon tunggu...
Sigit Eka Pribadi
Sigit Eka Pribadi Mohon Tunggu... Administrasi - #Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#

#Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#Menulis sesuai suara hati#Kebebasan berpendapat dijamin Konstitusi#

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Superioritasnya Dewas KPK, Ternyata...

16 Januari 2020   17:26 Diperbarui: 16 Januari 2020   17:37 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden RI Jokowi saat melantik Dewas KPK | Dokumen Setkab.go.id/IDN Times.com

Dewan Pengawas (Dewas) KPK seolah seperti tembok besar yang membentengi serangan OTT KPK terhadap target target tindak pidana korupsi. Superioritasnya begitu teramat kuat terhadap KPK.

Semua hal yang terkait tugas dan wewenang KPK ada dalam target pengawasan Dewas KPK, bahkan disinyalir dapat menghambat ruang gerak KPK.

Kecepatan gerak KPK yang membutuhkan kesegeraan dalam melaksanakan tugasnya harus terbatasi dengan perizinan birokrasi yaitu izin penyadapan dan izin penggeledahan kepada Dewas KPK.

Lucu, ini sangat lucu, kenapa sangat lucu, yah tentu saja unsur kerahasiaannya sudah tidak ada lagi, tidak ada lagi kebebasan atau independensi KPK, karena harus wajib lapor dulu kepada Dewas KPK, sehingga ada keterikatan maupun ketergantungan KPK pada Dewas KPK.

Dengan adanya Dewas KPK justru semakin memberikan semacam tekanan gelombang interveren, yang menunjukan superposisioning, siapa yang lebih di atas, KPK atau Dewas KPK.

Publik sudah bisa melihat siapa yang lebih kuat, yah tentu saja kekuatan Dewas KPK lebih di atas daripada KPK, sehingga KPK jadi tidak berdaya ketika target sudah ditentukan tapi tidak bisa langsung diuber, disadap, di OTT, ataupun digeledah.

Jadi, KPK sesungguhnya tidak hanya berhadapan dengan koruptor saja, tetapi berhadapan juga dengan Dewas KPK yang superior.

Presiden RI Jokowi saat melantik Dewas KPK | Dokumen Setkab.go.id/IDN Times.com
Presiden RI Jokowi saat melantik Dewas KPK | Dokumen Setkab.go.id/IDN Times.com
Ditambah juga, dampak dari adanya Dewas KPK ternyata turut melahirkan kekuatan besar dari berbagai "kepentingan" yang terselubung di dalamnya.

Apalagi bila kepentingan sudah berbau ranah politik, maka, sehebat apa pun KPK, belum tentu mampu menahan gempuran dan perlawanan dari koruptor yang ada keterkaitannya dengan kepentingan elit politik.

Ini karena, semakin diusut maka akan semakin terkait dengan pusat pusat kekuasaan dan melibatkan jaringan kepentingan elite politik yang lainnya.

Lebih ngeri lagi bila kekuatan antara kepentingan birokrasi, politisi, maupun pihak yang memiliki kekuasaan tersebut bergabung menjadi satu.

Inilah ternyata dampak luas dari terbentuknya Dewas KPK, sehingga mendorong masuknya kekuatan lain dari pihak-pihak yang ingin mengebiri KPK, dan pada akhirnya power KPK dibatasi, karena keberadaan KPK adalah ancaman yang sangat mengerikan bagi terwujudnya kompromis dan konsolidasi dari pihak pihak yang memiliki kepentingan.

Power KPK yang didesain sebagai lembaga independen dengan kekuasaan yang besar, karena posisinya independen dan otonom dalam melakukan penegakan dan penindakan hukum, terbukti mampu mengacak-acak dan menghancurkan persekongkolan dan kerja sama ini akhirnya dicanangkan menjadi musuh bersama.

Karena KPK menjadi faktor penghambat yang berada di luar kontrol dan mampu mengancam eksistensi kepentingan bisnis mereka.

Jadi, jelaslah sudah, mengapa akhirnya kini KPK jadi tidak berdaya, powernya sudah dibatasi, diredam dan dipangkas dengan adanya Dewas KPK.

Kalau pemerintah memang serius mau memberantas korupsi, kenapa kekuatan KPK harus dibatasi, kenapa justru DPR malah menghancurkan power KPK dengan  UU KPK yang baru sekarang ini.

Yah, kita bisa lihat saja di DPR, sebagian besar mereka bermula dari mana, pasti publik sudah tahu jawabannya.

Lalu, yang lebih miris lagi, Presiden RI Jokowi malah turut andil ikut melegalkan UU KPK yang baru. Padahal Presiden Jokowi selalu meneriakkan tentang program reformasi birokrasi, korupsi harus diberantas, tapi kenyataannya bisa dilihat sendiri, bagaimana ironinya eksistensi KPK saat ini.

Yang jelas, UU KPK No 19 tahun 2019 sudah berlaku, apakah UU ini akan menjadi pembunuh berdarah dingin bagi eksistensi KPK ataukah sebaliknya akan membuat KPK semakin kuat dari sebelumnya. tinggal dilihat saja seiring waktu berjalan.

Ibarat kata, berlakunya UU KPK yang baru saat ini layaknya sebuah bom waktu dan sebuah permen manis, apakah bakal menjadi ledakan besar ataukah membuahkan rasa manis, yah tinggal dilihat saja seiring waktu berjalan.

Semoga bermanfaat.
Sigit Eka Pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun