Tentu khalayak publik masih sangat mengingat bahwa Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) pernah menjanjikan akan menerbitkan Perppu UU KPK, tapi kenyataannya sampai sekarang Perppu UU KPK urung terwujud.
Fakta yang terjadi malah berbanding terbalik. RUU KPK yang ditentang keras melalui demo massa hingga korban nyawa berjatuhan tersebut, malah disahkan jadi undang-undang.
Kita lihat saja, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK telah diberlakukan, padahal publik tahu sendiri, saat masih berupa RUU KPK undang-undang ini sangat ditentang sekali.
Dengan tidak menyebut kalau Presiden Jokowi ingkar janji tapi ini artinya sama saja Presiden Jokowi sebenarnya masih berutang janji kepada publik untuk menerbitkan Perppu UU KPK dan entah kapan janji tersebut ditunaikan.
Jadi kalau publik banyak mengatakan kalau terbitnya Perppu UU KPK hanyalah "janji tinggal janji" bukanlah hal yang tidak berdasar belaka, karena memang realitanya seperti itu toh.
Apa yang dikhawatirkan publik bahwa kinerja KPK ke depan kurang greget ternyata sedikit demi sedikit mulai terlihat nyata.
Jalan KPK dalam menegakkan korupsi semakin curam dan terjal. Semakin terbatas undang-undang yang baru, karena gelagatnya sudah bisa dilihat.
Perkembangan kasus OTT Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan Bupati Sidoarjo Saiful Ilah, dianggap cacat hukum karena tidak sesuai dengan aturan UU KPK yang baru dan sudah berlaku.
Hal ini berlaku karena KPK tidak melalui izin penyadapan kepada Dewan Pengawas KPK yang dikepalai Tumpak Hatorangan Panggabean.
Yang jelas dengan ditegaskannya izin penyadapan kepada Dewas, akan semakin memperpanjang birokrasi kinerja KPK, bahkan peluang bocornya informasi penyadapan bisa saja terjadi.
Lalu yang lebih parah lagi, dalam rangka melakukan tindak penggeledahan yang terkait dengan kasus, ternyata juga mesti izin ke Dewas dan waktunya ditentukan seminggu kemudian setelah penangkapan. Yah jadi tambah sulitlah kerja KPK, bagaimana mau gerak cepat kalau begini caranya.
Peluang penghilangan barang bukti sangat terbuka lebar, karena ada jeda waktu yang cukup untuk itu, yaitu seminggu untuk melakukan tindakan penggeledahan tersebut.
Lalu peluang kaburnya tersangka lainnya yang bisa saja tersangkut kasus terbuka lebar, karena dengan jeda waktu penggeledahan seminggu, sangat cukup untuk menghilang tanpa jejak.
Belum lagi bila KPK dibenturkan dengan aturan UU KPK yang lainnya, bisa jadi tambah rumit lagi urusannya. Mau begini dan begitu kena pasal.
Dua kasus OTT awal tahun 2020 oleh KPK jadi pertanda, bahwa perlahan demi perlahan terhambatnya kinerja KPK mulai terlihat, bagaimana nanti kasus lainnya, masih tanda tanya besar?
Kalau begini terus keadaannya maka tanda-tanda kematian KPK sudah diambang pintu. Perlahan demi perlahan KPK hanya jadi lembaga antirasuah yang impoten, dikebiri sampai habis, mati segan hidup pun segan, tidak garang seperti sebelumnya.
Lalu apa solusi dan jalan keluarnya, yah ada satu jalan keluar yang bisa jadi solusi yaitu menagih janji Presiden Jokowi untuk menerbitkan Perppu UU KPK, mengembalikan lagi KPK sebagai lembaga anti rasuah yang sejati.
Tapi, kalau Presiden Jokowi tetap bersikukuh tidak menerbitkan Perppu UU KPK, maka publik harus bersiap siap, mengirimkan banyak karangan bunga bertuliskan R.I.P kepada KPK.
Semoga saja masih ada harapan agar KPK bisa bekerja sesuai kinerja dan tugas pokoknya dengan baik, meskipun perjuangan itu berat, mudah mudahan tetap bisa eksis sesuai komitmennya.
Maju terus KPK.
Semoga bermanfaat
Sigit Eka Pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H