Atau dengan kata lain dua kelompok masyarakat ini terbentuk atas masyarakat simpatisan kelompok yang menang dan yang berkuasa di pemerintahan dan masyarakat simpatisan kelompok yang kalah.
Meskipun diantara kelompok yang kalah ini ada juga yang terlibat didalam pemerintahan seperti di lembaga legislatif, namun secara tindakan akan tetap berlaku sebagai oposisi.
Lihat saja sebutan-sebutan minor seperti cebong dan kampret masih saja berlaku dalam sendi kehidupan masyarakat.
Sedikit saja ada tindakan pemerintah yang terlihat konyol atau kontroversi maka sebegitu juga dahsyatnya kritikan ataupun nyiyiran datang menghantam.
Memang pihak yang berkuasa di pemerintahan saat ini, telah berupaya sedemikian kerasnya untuk menghilangkan keterpolarisasian  tersebut.
Tapi karena begitu membekasnya ajang konstestasi Pilpres lalu masih menjadi trauma yang mengakar pada benak dan ingatan bagi masyarakat simpatisan kelompok-kelompok yang menang maupun yang kalah.
Bayangkan saja, betapa membekasnya trauma itu kurang lebih 10 tahun lamanya masyarakat terpapar jadi obyek perebutan dukungan politik oleh dua pihak kelompok kepentingan politis untuk dapat berkuasa di negeri ini.
Maka, inilah yang menegaskan mengapa kata kubu sebelah sangat bermakna sensitif, tendensius dan malah makin mempolarisasi masyarakat.
Siapakah yang bertanggung jawab dengan terbentuknya sensitifitas ini?
Sudah barang tentu dari para elit politik maupun para elit pemerintahan sendirilah yang paling bertanggung jawab.
Karena sudah pasti masyarakat adalah obyek dari kepentingan politik, perebutan memperoleh dukungan atau simpati dilakukan dengan berbagai cara.