Mohon tunggu...
Sigit Eka Pribadi
Sigit Eka Pribadi Mohon Tunggu... Administrasi - #Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#

#Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#Menulis sesuai suara hati#Kebebasan berpendapat dijamin Konstitusi#

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyoal Fenomena Uang Panai (Mahar) Pernikahan

15 November 2019   21:01 Diperbarui: 15 November 2019   21:10 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar Uang Panai atau mahar pernikahan | Dokumen Tribunnews.com

Perkembangan teknologi yang semakin pesat dan bergerak dinamis ini ternyata tidak menggerus tradisi atau budaya uang panai atau mahar dalam menempuh jenjang pernikahan.

Banyak pasangan pengantin atau calon mempelai yang sejatinya sudah siap dan berkomitmen menjalin bahtera rumah tangga harus berhadapan dengan mahalnya uang panai.

Uang panai biasanya adalah syarat yang wajib dipenuhi yang diajukan atau ditawarkan oleh pihak mempelai wanita kepada pihak mempelai pria agar dapat mempersunting wanita pujaan hatinya tersebut sebagai istrinya.

Tidak sedikit jumlah besaran uang panai yang diminta tersebut, sehingga besaran permintaan uang panai tersebut terkadang terasa begitu berat dan mahal bagi pihak calon mempelai pria.

Tak pelak berlatar dari dampak dari mahalnya uang panai yang ditawarkan oleh pihak mempelai wanita, banyak dari pihak calon mempelai pria harus rela pamit undur diri karena tidak dapat menyanggupi persyaratan uang panai tersebut.

Biasanya selain persyaratan uang panai tersebut ada juga syarat lainnya yang diajukan oleh pihak calon mempelai wanita, yaitu tentang bagaimana resepsi atau pesta pernikahan yang nantinya akan digelar kedepan.

Sehingga hal ini semakin memberatkan pihak calon mempelai pria dan makin mengecilkan peluang untuk dapat mempersunting calon istrinya tersebut.

Memang benar, masing-masing peradaban dari berbagai etnis suku yang ada di Indonesia ini berhak tetap meneruskan tradisi dan budaya ini, dan tergantung dari kesepakatan kedua belah pihak mempelai, selama tidak ada pihak yang keberatan.

Namun yang jadi pertimbangan adalah ketika menyoal uang panai dan syarat lainnya ini, ada pihak yang tidak mampu menyanggupinya, sehingga butuh kerelaan dan keikhlasan, apakah tetap mengedepankan tradisi budaya uang panai dan tetap tidak merestui hubungan pernikahan ataukah ada kebijaksanaan yang dapat memakluminya.

Kemudian yang juga menjadi persoalan yang patut menjadi keprihatinan adalah ketika fenomena mahalnya uang panai kerap kali menyebabkan banyak pasangan harus kandas hubungannya, bahkan sebagian dari mereka ada yang sampai harus melakukan tindakan "kawin lari" hanya demi melanggengkan hubungan mereka.

Bahkan yang lebih parah lagi, ada ditemukan kasus adanya pasangan harus mengakhiri hidupnya didunia karena tidak mendapat restu dari hubungan yang dilalui selama ini.

Inilah yang sebenarnya patut menjadi perhatian, ketika hubungan diantara kedua pasangan yang sudah siap mengarungi bahtera rumah tangga terkendala dengan restu dari salah satu pihak yang mempersyaratkan uang panai.

Sehingga kalau sudah begini hanyalah tersisa penyesalan dan kesedihan ketika harapan membina hubungan besan atau keluarga malah tidak sesuai dengan yang diinginkan.

Oleh karena itu, bila mempertimbangkan jauh lebih bijaksana lagi, maka seyogianya tradisi budaya uang panai ini, sejatinya agar dapat dikebelakangkan dahulu dengan melihat tujuan utamanya yaitu menghalalkan hubungan antara pasangan yang sudah siap menikah dan membina serta mempersatukan keluarga diantara kedua belah pihak.

Tentunya setiap pasangan yang sudah siap mengarungi bahtera rumah tangga sangat berharap kepada restu dari kedua pihak orang tua.

Jadi sebenarnya yang sangat diharapkan dari kedua belah pihak baik pihak orang tua dari calon mempelai pria maupun wanita, agar dapatnya dapat lebih toleran dan bijak menyikapinya demi tujuan utama pernikahan.

Keutamaan mempersatukan dua keluarga besar dari jalinan pernikahan adalah lebih mulia dan elegan, karena keluarga adalah permata yang paling berharga dalam kehidupan.

Jadi kesimpulannya adalah, tidak ada yang dipermasalahkan menyoal tradisi budaya uang panai, selama diantara kedua belah pihak yang ingin mempersatukan kedua keluarga tidak ada saling keberatan.

Namun diharapakan agar dapatnya bila ada salah satu pihak yang tidak mampu menyanggupi uang panai dan syarat lainnya tersebut bisa menjadi pertimbangan, untuk masa depan cerah yang lebih baik bagi kedua calon mempelai dan dapat mencegah hal-hal yang tidak diinginkan demi keutamaan yang sejati kesakralan pernikahan.

Semoga artikel singkat yang masih butuh banyak masukan dan saran ini dapat bermanfaat.

Salam hangat.
Sigit Eka Pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun