Dalam kehidupan sehari-hari tanpa kita sadari sering terjadi percekcokan yang akhirnya menimbulkan pertengkaran ataupun pertikaian, baik antara teman, kerabat, saudara bahkan suami ataupun istri.
Beragam penyebab menjadi alasan timbulnya percekcokan tersebut, namun sebenarnya ada satu akar masalah yang bisa diduga menjadi pemicu utama percekcokan itu menjadi semakin berkembang.
Apakah kira-kira sebenarnya yang diduga  menjadi pemicu utama itu?
Nah, menurut sedikit pengamatan dan analisis  penulis yang bisa menjadi pemicu utama adalah bahwa hampir 99 % percekcokan itu disebabkan karena dialog dengan nada bicara yang dan intonasi tekanan suara yang keras.
Coba saja kita luangkan sedikit waktu untuk mengingat ketika kita pernah bertengkar dengan istri atau suami, maka kalau dirunut akar asal mulanya adalah ketika salah satu diantaranya mengungkapkan perkataan dengan nada bicara yang keras.
Contohnya, ketika suami lupa taruh kunci sepeda motor, bertanya pada istri namun malah dijawab dengan nada yang agak senewen, seperti contoh dialog dibawah ini,
Suami : sayang ada liat kunci motor nggak?
Istri : ga tau, emang taruh dimana sih, makanya naru naruh jangan sembarangan (sambil membantu mencari tapi bicara dengan nada agak keras).
Suami : yaaaa namanyaaa juga lupaaa gimana siihh, namanya juga nanyaaa(tambah dengan nada keras)
Nah, selanjutnya bisa ditebak pembicaraan menjadi percekcokan dan malah bisa semakin berkembang menjadi pertengkaran. Contoh diatas masih merupakan sedikit contoh dari sekian banyaknya percekcokan yang kerap kali terjadi di kehidupan sehari hari.
Karena juga beberapa kali penulis mengamati dari beberapa percekcokan lainnya seperti diantara kawan, kerabat ataupun saudara ternyata memang berawal dari hal hal sepele yang diungkapkan dengan nada bicara dengan intonasi tekanan keras yang terdengar kurang nyaman.
Kemudian akhirnya makin berdebat, saling tidak mau kalah, ngotot, merasa paling benar, dan akhirnya malah semakin runyam jadi pertengkaran hebat. Nah kalau sudah begini bisa jadi akan merenggangkan hubungan.
Namun sejatinya agar percekcokan tidak semakin berkembang semakin hebat, maka sedapat mungkin harus bisa dihindari dan memang dalam hal ini harus ada satu pihak yang mengalah. Â
Karena kalau sama sama keras tidak ada yang mau mengalah maka percekcokan akan terus berlanjut dan berkembang menjadi pertengkaran.
Dalam hal ini terjadi situasi ketika sudah saling bersitegang, sebenarnya dikarenakan satu sama lain tidak berkomunikasi dengan baik dan secara secara langsung, tanpa disadari, mulai terbangun rasa kebencian, yang akhirnya seringkali mencapai titik kritis.
Percekcokan seringkali berakhir membuat ada yang merasa tersakiti dan ingin mengakhiri sebuah hubungan dengan siapa saja.
Namun sejatinya, percekcokan merupakan suatu proses pembelajaran sikap hidup, pendewasaan berpikir dan pematangan dari jiwa seseorang.
Karena dengan adanya percekcokan, orang dapat saling mengetahui sifat dan karakter seseorang yang mungkin selama ini masih tertutupi.
Percekcokan sebenarnya juga mengedukasi untuk belajar memahami orang lain, menghargai perbedaan dan mengamalkan nilai nilai kemanusiaan dalam kehidupan sehari hari.
Oleh karena itu, sekedar timbang saran dan berbagi, bila suatu kali menemukan situasi yang seperti digambarkan dalam tulisan ini semoga kedepan untuk menghindari percekcokan semakin meruncing menjadi pertengkaran maka ada baiknya harus ada pihak yang lapang dada untuk mengalah.
Tidak ada salahnya untuk menjaga hubungan tetap langgeng lebih baik mengontrol perasaan dan emosi untuk tidak melanjutkan percekcokan terlalu lama.
Ataupun kalau sudah terlanjur terjadi percekcokan maka saat berakhirnya percekcokan tersebut, seyogyianya dengan lapang dada, maka akhiri juga rasa marah dalam hati jangan terlalu lagi diambil hati apa yang sudah terjadi.
Salah satunya seyogianya dapat segera sadar bahwa percakapan sudah melenceng dari tujuan percakapan awal yakni menciptakan solusi dan menghentikan perdebatan yang terus menerus berlangsung.
Salah satunya yang bercekcok harus mampu memaklumi dan melunakkan hati dan memaafkan, dengan penuh kesabaran dan ketulusan. Namun yang pasti menghindari akar pemicu utamannya sangatlah penting yaitu menghindari pembicaraan atau dialog bernada bicara dengan intonasi tekanan suara yang keras.
Demikian sedikit tulisan yang masih perlu banyak referensi ini penulis bagikan, semoga dapat bermanfaat dan kiranya bisa ditambahkan saran dan referensi membangun lainnya.
Salam hormat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H