Seringkali terjadi pihak yang sejatinya mengkritik dianggap cuma menyinyir belaka, atau malah sebaliknya, seperti yang kerapkali ramai di media sosial, khususnya di Twitter banyak terjadi perang nyinyir, karena nyinyiran pada akhirnya dilawan dengan nyinyiran juga.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Nyinyir sebenarnya bermakna 'mengulang-ulang perintah atau permintaan'; nyenyeh; cerewet'.
Kalau kata nyinyir bermakna seperti di atas, sebenarnya tidak ada hubungannya antara kritik dan nyinyir. Akan tetapi kalau yang dimaksud nyinyir adalah cerewet masih bisa ditarik benang merahnya.
Bila merujuk pada kata cerewet maka menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia cerewet bermakna 'suka mencela (mengomel, mengata-ngatai, dsb.)'.
Jadi bila cerewet dihubungkan dengan bentuk propaganda nyinyir boleh dikata ada hubungannya karena bisa jadi maksudnya  nyinyir tersebut maksudnya digunakan untuk mencela atau mengata-ngatai tanpa memperhatikan benar atau salah yang dikatakan.
Namun yang menjadi dilematis, seiring waktu bentuk kritikan saat ini mulai ditafsirkan secara sempit oleh penguasa sebagai bentuk protes yang konstruktif saja yang hanya boleh sah berlaku. Â
Padahal, kata kritik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia juga bermakna 'mengecam', di luar ada atau tidak adanya data.
Seperti dalam kancah politik, tentunya dapat dipastikan bahwa hampir tidak ada lawan politik yang memberikan kritikan yang konstruktif kepada saingannya.
Tentunya bentuk kritikan yang diutarakan pastinya adalah bentuk propaganda yang destruktif untuk menjatuhkan lawan.
Maka berlatar dari inilah mengapa kerapkali bentuk kritikan itu dianggap tidak berdasar dan tetap akan terus dikatakan sebagai nyinyiran.
Lalu yang bagaimanakah sebenarnya yang pantas disebut kritikan?