Indonesia kini telah memiliki ibukota negara yang baru yaitu di sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara dan di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur.
Rencananya pembangunan ibukota negara yang baru tersebut menelan anggaran sekitar Rp. 466 Trilyun. Berkaitan dengan anggaran ini publik juga bertanya-tanya, dari manakah dana tersebut berasal.
Memang dikatakan oleh Presiden RI Ir. H. Joko Widodo bahwa anggaran tersebut tidak akan membebani negara. Sementara itu juga saat ini kondisi perekonomian negara sedang dihadapkan dengan berbagai permasalahan dan dalam keadaan gonjang ganjing.
Lalu muncul kabar bahwa Jokowi akan menjual sekitar 30.000 hektar lahan disekitar ibukota negara yang baru kepada masyarakat, dengan dasar akan menambah anggaran yang diprediksikan mencapai Rp. 600 Trilyun.
Dan dikatakan bahwa luasan lahan yang dijual tersebut banyak diprioritaskan kepada generasi milenial, agar para milenial turut berperan serta dalam membangun negara ini.
Berkaitan dengan ini, apakah yang menjadi opini publik itu bahwa pemerintah tidak melakukan persiapan dengan matang terkait anggaran yang akan dikeluarkan itu benar?
Yah, bisa jadi benar juga, pasalnya dengan perkembangan yang telah meluncur kepada publik, saat ini publik berpendapat pemerintah layaknya makelar ataupun broker.
Dalam rangka mencari sumber dana untuk membangun ibukota negara malahan menjual aset negara, sama saja istilahnya ini serperti mengharap belas kasih kepada masyarakat.
Dengan mematok harga dengan kisaran harga 1juta atah sampai 2 juta permeter maka dapat diprediksi siapakah yang bakal mampu membeli lahan tersebut.
Apakah sekiranya milenial mampu memilikinya, yah bisa juga ada yang mampu, namun akan sangat sedikit sekali, lalu masyarakat yang mampu membelinya juga bisa dibilang, paling paling hanya beberapa gelintir orang saja.
Lantas siapa yang mampu membelinya, yah tentu saja kalangan menengah keatas, seperti pengusaha, para cukong, para saudagar yang kaya raya, atau malah para pejabat publik, politisi dan pihak asing.
Dalih lahan dijual untuk rakyat istilahnya seperti membuka tidak konsistennya pemerintah dalam mempersiapkan berbagai hal berkaitan pembangunan ibukota negara yang baru ini.
Dan pastinya yang banyak dirugikan dalam hal ini adalah masyarakat lokal yang berdiam di lokasi ibukota negara nantinya, bisa saja terjadi malah masyarakat lokal akan terpinggirkan, karena banyak lahan yang akan dikuasai oleh orang orang kaya saja.
Sebenarnya kalau mau jujur, tidaklah elok kalau pemerintah harus menjual lahan tersebut, karena pastilah akan menuai banyak kritikan dan komplain.
Sejatinya dapatlah tertebak siapa siapa sajakah kedepan yang akan menjadi penguasa lahan lahan yang akan dijual tersebut. Seyogyanya lahan ibukota negara seharusnya tetap menjadi aset bagi pemerintah.
Dengan jumlah 30 ribu hektar itu bukanlah luasan lahan yang sedikit, lebih elok pemerintah harus mendetilkan langkah lainnya dalam mencari sumber anggaran untuk pembangunan ibukota negara ke depan.
Sangat disayangkan bila memang langkah menjual lahan ini jadi diterapkan. Akan banyak masalah yang terjadi nantinya dibelakang hari. Masyarakat lokal bisa jadi akan jadi tamu di tempat kelahirannya sendiri.
Ini baru lahan yang akan dijual, bisa jadi nanti kedepan setelah progress pembangunan berbagai infrastruktur dan sarana prasarana lainnya akan dilelang dan diinvestasikan kepada pihak pihak yang dapat memberikan suntikan dana segar.
Betapa ini seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah dan pihak pihak terkait lainnya, agar kiranya jangan karena cepat cepat ingin segera memindahkan ibukota negara ke Kaltim malah mengorbankan masyarakat.
Dapat diprediksikan, dengan adanya rencana penjualan lahan ini, sepertinya pemerintah sedang menerapkan strategi untuk menggandeng dan menarik pihak asing untuk menanamkan investasinya.
Bisa dibayangkan bila luasan lahan tersebut banyak dimiliki oleh para orang orang kaya apalagi pihak asing, bagaimana nasib para masyarakat lokal di sekitaran lahan.
Katanya sudah dipertimbangkan matang, namun kalau melihat kondisi terkini negara, layaklah publik meragukannya, berkaitan progress pembangunan dan pemindahan ibukota negara ini.
Akan terlihat opini, dalam hal ini sepertinya Jokowi ingin meninggalkan jejaknya selama periode kepemimpinannya. Jadi dengan keputusannya memindahkan ibukota negara, membuat namanya tercatat dalam sejarah Indonesia.
Tudingan berbagai pihak bahwa terkait pemindahan ibukota negara ini, diduga pemerintah terkesan tergesa gesa, dan merupakan kepentingan politis semata bisa saja menjadi benar.
Dalam hal ini seharusnya, bila memang sejatinya pemerintah telah mempersiapkan segalanya dengan matang, keputusan penjualan lahan ini bisa saja tak akan terjadi.
Seharusnya besaran anggaran Rp 466 Trilyun itu jangan jadi alasan bagi negara untuk menjual aset aset negara. Seharusnya benar benar dipikirkan sebelum memutuskan, jangan terkesan serta merta dan seenaknya mengambil keputusan.
Kalau sudah begini pak presiden Jokowi bisa mendapat penilaian otoriter oleh karena keputusan keputusan  dan kebijakan yang dibuatnya dan bisa juga akan menambah semakin hilangnya kepercayaan publik pada pemerintah.
Apalagi ditambah dengan berbagai kebijakan dan keputusan yang dinilai banyak menuai kritikan dan terlihat keputusan sepihak Jokowi terkait kondisi carut marutnya BUMN, BPJS,KPK, dan pihak berwenang lainnya.
Oleh karena itu, Presiden Jokowi harus lebih jeli lagi dan dilihat dengan melihat timbang sarannya, para pihak oposisi pemerintah atau pihak diluar pemerintah serta pihak independen lainnya terkait kritik dan kontrol sosial yang diberikan.
Jokowi juga perlu mendengar dan menampung aspirasi dan keluh kesah masyarakat terkait keputusan dan kebijakan yang telah dibuatnya. Jokowi harus mencatatnya dalam ingatannya, bahwa hampir separuh lebih banyak warga negara Indonesia yang tak berpihak kepadanya.
Perlu diingat 45 % bangsa ini masih bisa dikatakan akan menjadi oposisinya. Dan itu bisa bertambah lebih banyak lagi bila presiden Jokowi semakin lalai dalam menjalankan program dan kebijakannya. Ini istilahnya janganlah sampai periode pemerintahanya tersandung dan akhirnya jatuh sebelum waktunya.
Mungkin para pesaing politik yang diluar kubunya akan tersenyum lebar melihat kondisi demi kondisi yang terjadi dengan perkembangan yang sedang berlangsung.
Jadi Be Aware Jokowi, jangan sampai Pak Jokowi layu sebelum berkembang, janganlah pak. Sangat disayangkan kalau ini terjadi. Be Aware Jokowi, jangan sampai istilah otoriter itu akhirnya melekat kepada bapak. Jangan pak jangan sampai pak.
Semoga saja kedepan pak Jokowi dapat lebih arif dan bijaksana lagi dalam menjalankan program dan kebijakannya dan membawa Indonesia ini maju, seperti yang telah dicita citakan bersama.
Hanya berbagi.
Sigit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H