Sudah sangatlah jelas aturan Undang Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang hak pejalan kaki seperti yang tertuang pada pasal 45, yang mendefinisikan bahwa trotoar adalah salah satu fasilitas pendukung penyelenggaraan lalu lintas.
Lebih lanjut lagi pada pasal 131 diatur bahwa pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan dan fasilitas lain.
Dan bagi yang melanggarnya juga telah secara tegas sanksi hukumnya yang tertuang pada pasal 274 ayat 2 dimana setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi kelengkapan jalan dipidana dengan penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 24 juta.
Kemudian masih didukung lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2006 tentang Jalan. Berdasarkan pasar 34 ayat 4 disebutkan, trotoar, hanya diperuntukkan bagi lalu lintas pejalan kaki.
Namun pada kenyataannya Trotoar sampai saat ini diberbagai tempat di Jakarta termasuk juga di seluruh Indonesia tetap saja banyak disalah gunakan oleh pemakai trotoar yang bukan haknya.
Seperti para pemotor misalnya, yang seringkali viral videonya karena dengan seenaknya melenggang kangkung tanpa rasa bersalah, menjadikan trotoar layaknya jalan raya, bahkan yang sering terlihat perilakunya bak pembalap disirkuit balap menguasai trotoar dengan begitu arogannya.
Kemudian saat ditegur oleh pejalan kaki yang berhak menggunakan trotoar malahan murka bagaikan seekor serigala kelaparan yang ingin menerkam mangsanya.
Seringkali yang dijadikan alasan adalah karena terburu-buru, padahal dengan alasan apapun pemotor sangat dilarang menggunakan Trotoar sebagai jalan raya. Sungguh boleh dikatakan perilaku pemotor yang merebut hak pejalan kaki sangat tak tahu diri, alangkah ironinya kalau begini?
Belum lagi polemik lainnya, keberadaan dan fungsi trotoar juga banyak dikuasi oleh para pedagang kaki lima yang dengan tanpa beban menguasai trotoar menjadi lapak dagangannya, memang dalam hal ini terkait mencari rezeki bukannya dilarang tapi, bukannya juga di benarkan dalam mencari rezeki tersebut harus merebut dan menguasai trotoar yang merupakan hak pejalan kaki.
Para pejalan kaki malahan seringkali secara terpaksa harus jadi yang sering mengalah dan menyingkir dari trotoar karena tidak ada ruang lagi berjalan ditrotoar. Sungguh miris sekali melihatnya?
Dan yang paling fenomenal dan kontroversi lagi malah ada di Jakarta, yang notabene Kota yang sudah sangat modern di Indonesia, sang Gubernurnya yaitu Anies Baswedan malah berencana menjadikan trotoar sebagai tempat berjualan bagi pedagang kaki lima, jadi semakin "lucu" melihatnya?
Anies Baswedan malah dengan mengebu-gebunya menyampaikan, bahwa trotoar yang ada di Jakarta harus bisa dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan, jadi tidak hanya untuk akses pejalan kaki, namun juga untuk kegiatan ekonomi.
Kata Anies lagi bahwa mengenai pernyataannya itu, telah diatur dalam peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dan dengan yakinnya Anies semakin menegaskan bahwa soal trotoar akan ditata kelola lagi, nantinya akan dibagi antara pejalan kaki dengan kegiatan ekonomi.
Nah yang jadi pertanyaan adalah?Apakah Anies tidak memahami mengenai perundang-undangan terkait fasilitas trotoar ataukah pura pura tidak tahu dan sengaja menabrak Undang-undang?Apakah Permen PUPR lebih tinggi kedudukannya dibanding Undang Undang?
Di tambah lagi dengan percaya dirinya Anies mempertentangkan aturan Undang undang dengan aturan lainnya seperti Aturan ini, menurutnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang tata ruang.
Dalam aturan ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan fasilitas trotoar, sejatinya aturan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 berbicara mengenai tata ruang secara luas yaitu udara, darat, maupun lautan dibarengi juga dengan pasal-pasal lainnya akan tetapi setelah diteliti lagi lebih mendalam Undang-undang ini terlalu lebar kalau mau dihubungkan dengan fasilitas trotoar.
Lalu malah berkilah lagi bahwa Penggunaan trotoar bagi PKL ini merujuk pada Peraturan Menteri PU Nomor 3 Tahun 2014 tentang Pedoman Perencanaan Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan.
Padahal juga peraturan tersebut banyak membicarakan hak pejalan kaki, dan secuil saja ayat untuk usaha kecil, lagian peraturan ini juga masih kalah derajatnya dengan Undang-Undang.
Kemudian Anies juga malah merujuk juga pada Aturan lain yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM, Pasal 7 Ayat, padahal undang ini hanya membahas UMKM saja, tidak ada kaitannya dengan fasilitas trotoar.
Kurang puas Anies mencoba lagi menentangnya dengan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012, tentang pedagang kaki lima, padahal dalam peraturan ini hanya membahas masalah pedagang kaki lima, tidak ada kaitannya dengan fasilitas trotoar.
Lebih lanjut lagi di kaitkannya juga dengan, Permendagri Nomor 41 Tahun 2012, dan Peraturan Gubernur Nomor 10 Tahun 2015 tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL. Padahal secara waras saja peraturan ini sudah kalah derajat dengan Undang-undang dan isinya hanya melulu tentang pedagang kaki lima.
Bermodalkan bantahan-bantahannya tersebut Anies berani menyatakan, bahwa PKL diperbolehkan berada di trotoar selama mengikuti peraturan Permen PUPR, dan juga memiliki banyak dasar hukum.
Maka Pemprov Jakarta dan seluruh Pemerintah Daerah Provinsi se-Indonesia harus mematuhinya, karena ini terkait Undang-undang, yah mesti wajib dipatuhi, tanpa terkecuali atau dengan persyaratan apapun, selama undang-undang masih melarang trotoar digunakan untuk menampung PKL maka Trotoar hanya digunakan untuk para pejalan kaki.
Seyogyanya Anies dapat mengembangkan ruang ide yang lain dalam menangani PKL misalnya menggalang mereka dalam satu tempat di pasar, ataupun wadah kreatif lainnya, janganlah mengorbankan hak pejalan kaki menggunakan fasilitas trotoar.
Bagaimana pejalan kaki bisa nyaman dan aman kalau Gubernurnya saja malah menjadikan trotoar mall praktek dan mall fungsi, bagaimana bisa Anies mau menegaskan aturan pada para pemotor yang sering menjadikan trotoar sebagi jalan raya. Kalau sudah begini pejalan kaki jadi semakin meradang saja jadinya.
Setidaknya masalah trotoar ini kurang lebih sama saja dengan apa yang menjadi masalah di pemerintah provinsi lainnya, oleh karena itu seharusnya juga dapat menjadi perhatian dan catatan, bahwa sejatinya fasilitas trotoar itu murni milik pejalan kaki.
Maka tegakkanlah aturan yang berkaitan dengan fasilitas trotoar bagi pejalan kaki. Kembalikan hak pejalan kaki dalam menggunakan trotoar. Hak pejalan kaki harus dibela bukannya malah dikebiri.
Jadi, secara umum dapat ditegaskan, apapun itu selama tidak ada undang-undang yang secara jelas dan detil mempertentangkan dengan aturan Undang-undang yang secara jelas telah menempatkan hak pejalan kaki mengenai fasilitas trotoar, maka dapat ditegaskan bahwa trotoar adalah milik pejalan kaki, titik.
Hanya berbagi.
Sigit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H