Balikpapan (10/4), Eksploitasi anak dalam perhelatan pesta demokrasi bukanlah masalah baru, ini sudah menjadi hal yang klasik dalam setiap perhelatan pemilu. Anak masih ditemukan dalam kampanye politik partai ataupun pemilu.
Seperti diketahui batas usia anak untuk memiliki hak politik adalah 17 tahun. Maka dibawah usia itu termasuk eksploitasi anak dalam politik.
Larangan pelibatan anak dalam kegiatan politik sudah diatur tegas dalam pasal 15 dan pasal 76 H Undang-undang 35/2014. Bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik.
Sedangkan Pasal 76 H menyebutkan, setiap orang dilarang merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer dan atau lainnya dan membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa.
Euforia anak terhadap kampanye politik itu berbeda, karena menurut sepengetahuan anak kampanye politik itu dianggapanya suatu kesenangan, dikira jalan-jalan atau tamasya.
Kemudian ketika menemukan teman sebayanya, euforia anak akan semakin bertambah, karena merasa satu sama lain memiliki kesamaan atribut partai, hal ini akan berdampak saat bersua dengan teman sebayanya yang lain yang berbeda atribut, bisa terjadi saling bully diantara anak.
Selanjutnya yang perlu diketahui adalah anak zaman now ini rata-rata memiliki gawai dan akun di medsos, bisa di bayangkan, bagaimana perilaku anak yang saling beradu argumen politik di medsos padahal belum memasuki batas usia pemilih. Apalagi yang terjadi adalah saling bullly politik, bisa saja kasus Audrey yang berawal dari saling bully di medsos kembali terjadi dalam konteks bully politik.
Eksploitasi anak untuk kampanye politik dapat berpengaruh besar pada gangguan pisikis, mental dan ideologi pada anak, sehingga bisa membentuk karakter dan emosional yang buruk pada anak.
Anak jangan dikorbankan dalam kampanye politik, sungguh kasihan jika perkembangan anak kedepan menjadi terganggu dan tidak normal. Dalam hal ini seluruh pihak yang berwenang harus saling mengingatkan, dan bertindak tegas bila terjadi eksploitasi anak dalam kampanye politik.
Disamping itu perlu kesadaran dan komitmen orang tua, untuk menjaga amanah titipan anak dari Tuhan. Sehingga tidak merusak perkembangan masa depan anak. Orang tua mana yang mau masa depan anaknya hancur, tentunya tidak ada yang ingin masa depan anak menjadi suram.Â
Untuk itu marilah kita saling mengingatkan demi kebaikan bersama untuk masa depan bangsa kita ini.
*****
Sigit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H