Mohon tunggu...
Sigit Eka Pribadi
Sigit Eka Pribadi Mohon Tunggu... Administrasi - #Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#

#Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#Menulis sesuai suara hati#Kebebasan berpendapat dijamin Konstitusi#

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Gadget pada Pola Komunikasi Anak

15 Februari 2019   07:37 Diperbarui: 15 Februari 2019   08:09 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini  gadget dimiliki oleh hampir semua kalangan masyarakat , termasuk anak-anak. Sudah menjadi pemandangan yang biasa jika sejak usia dini anak telah berkenalan dan cukup akrab dengan gadget.

Namun keberadaan  gadget diibaratkan pisau bermata dua. Sisi lain memberikan kemudahan dan kenyamanan, namun di sisi lainnya memberikan dampak negatif yang cukup signifikan. Untuk selanjutnya dalam pembahasan artikel ini, untuk memfokuskan penulisan gadget akan penulis batasi cakupannya. Gadget yang dimaksud di sini merujuk pada handphone.

Saat ini  sering kita jumpai dengan dalih agar  buah hatinya anteng, tidak rewel  dan diam, orangtua dengan entengnya memberikan handphone.  " Biar kerjaan lebih cepat selesai bu, soalnya kalau anak saya mainan hp, anak saya diam dan anteng bu, jadi saya bisa mengerjakan pekerjaan yang lain".  

Kenyataan inilah yang sepatutnya menjadi keprihatinan kita bersama, seringkali kita melihat seorang bayi yang usianya masih dalam hitungan bulan oleh orangtuanya sendiri sudah dikenalkan dengan handphone.  Sangat miris, namun inilah kenyataan yang terjadi saat ini.

Pada usia 0-5 tahun, otak anak berkembang dengan begitu pesatnya.Oleh karenanya sering dikenal dengan masa golden age. Semua rangsangan motorik maupun non motorik diterima dengan maksimal pada fase ini. Pada masa-masa inilah, seharusnya setiap orangtua mengenalkan hal-hal yang bersifat positif dan membiarkan anak-anak untuk aktif dan bermain. 

Ya, bermain, inilah kunci dalam memahami anak-anak pada masa ini,  mereka   mempunyai hak untuk berinteraksi dan bermain dengan teman sebayanya.Namun, dengan keberadaan handphone, baik disadari maupun tidak, hal ini tidak lagi menjadi perhatian utama bagi kita sebagai orangtua. Saat ini handphone telah menjadi semacam candu. Bagaimana tidak, ketika bangun dari tidur, hal pertama yang di cari adalah handphone. 

Sama halnya, ketika berkumpul bersama keluarga. Yang dulunya begitu hangat dalam saling ngobrol dan berbincang satu sama lain, namun ketika berkumpul dengan keluarga handphone telah "mengambil perhatian" masing-masing anggota keluarga.  Ketika berkumpul dengan keluarga, masing-masing kita  "sibuk" handphone masing masing.

Maka tidak jarang kita melihat sebuah keluarga makan yang makan bersama  di suatu tempat, duduk bersama saling berdekatan  namun tidak berinteraksi satu sama lain, tidak saling berbincang karena masing-masing sibuk dengan dunianya sendiri, "asik" dengan handphone masing-masing. Apatis dengan lingkungan di sekitar mereka, bahkan dengan satu sama lain. 

Pergeseran perilaku seperti ini berimbas pada pola komunikasi orangtua dengan anak. Komunikasi orangtua dan anak  seharusnya bersifat dialogis, dua arah atau saling timbal balik. Namun kecenderungan yang terjadi sat ini adalah komunikasi satu arah saja, itupun mempunyai kecendurangan hanya melalui handphone.

Semua komunikasi dilakukan melalui handphone, baik lewat aplikasi WA maupun aplikasi yang lain.  Orangtua yang seharusnya menjadi panutan bagi anak anak, bersifatacuh tak acuh terhadap kondisi anaknya. Kondisi seperti ini dalam ilmu parenting disebut sebagai neglectful parenting. 

Neglectful parenting sebagai  cara pengasuhan dari orangtua yang bersifat acuh tak acuh terhadap kebutuhan anak, baik kebutuhan fisik maupun kebutuhan non fisik (mental). Kebutuhan non fisik inilah yang sering kali masih dianggap sebelah mata oleh sebagian orangtua. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun