Resensi Mustika Zakar Celeng
Judul: Mustika Zakar Celeng
Penulis: Adia Puja
Tebal buku: 224
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun: 2023
Pembaca: 21+
Sebelum memasuki babak pertama, buku Mustika Zakar Celeng mendapat kata pengantar dari Juri Kesenian Jakarta. Mustika Zakar Celeng adalah karya Adia Puja yang mendapat perhatian dari juri Dewan Kesenian Jakarta tahun 2021 karena membawa mitos dan realitas pada masyarakat, serta cerita-cerita lisan dari berbagai wilayah di Indonesia. Isu yang disampaikan dalam novel ini pada awal cerita adalah isu perempuan dan seksualitas, kemudian berkembang menjadi isu sosial, dan isu politik.
Adia Puja membuka babak dengan menghadirkan tokoh Nurlela dan Tobor, sepasang suami istri yang telah menikah selama sebelas tahun lamanya. Penyebab konflik utama pada novel ini telah dipaparkan pada babak pertama di kalimat pertama,
"Tidak bisakah kau bertahan sedikit lebih lama, Kang? Setidaknya sekali dalam seumur hidup. aku ingin merasa dipuaskan."
Nurlela adalah seorang gadis dari pasangan tersohor di kampungnya, sedangkan Tobor adalah yatim piatu yang dibesarkan pamannya sejak kecil. Tobor selalu membantu pamannya menggarap sawah milik ayah Nurlela, di sinilah irisan pertemuan-pertemuan yang akhirnya menyatukan mereka berdua. Secara sudut pandang sosial, kisah ini bagai dunia khayalan di mana si miskin dapat mendapatkan cintanya si kaya dengan konflik orangtua dan lingkungan yang tidak merestui. Berbeda dengan cerita-cerita tersebut, novel ini mempertemukan jalan yang mudah antara Nurlela dengan Tobor. Mereka saling mencintai, mendapat restu dari lingkungan dan orangtua, dan dapat menstabilkan ekonomi hingga berkecukupan.
Konflik pertama yang diangkat oleh Adia Puja adalah isu seksualitas yang di titipkan oleh tokoh Nurlela. Nurlela mempertanyakan semua pemakluman di sekitarnya, bahwa laki-laki berkuasa penuh atas perempuan, keperawanan adalah permata yang harus dijaga oleh perempuan baik-baik, dan ketika perempuan tidak bisa memuaskan laki-laki, maka dimaklumi jika laki-laki mencari perempuan lain. Nurlela selalu mempertanyakan hal tersebut dan berujung pada satu jawaban, bahwa melayani laki-laki (suami) adalah cara mudah mendapat pahala, hingga akhirnya ia jengah juga tanpa mendapat jawaban yang ia inginkan.
Pertemuan dengan Tobor membuat Nurlela mendapatkan satu hal yang sangat ia harapkan, bahwa Tobor berbeda dengan laki-laki lain. Jalan hidup Nurlela dan Tobor begitu lancar, Nurlela sebagai perempuan merasa tercukupi dengan harapan-harapan yang ia inginkan, mendapatkan pengertian dari laki-laki yang ia cintai, dan ekonomi yang stabil. Tetapi realitas tidak sesempurna cerita dongeng, Nurlela sudah mendapatkan semua yang ia inginkan kecuali satu, pemenuhan seksualitasnya. Nurlela yang telah memendam hal tersebut selama sebelas tahun akhirnya mengungkapkan satu hal yang telah mengganjal di hatinya, dengan penuh resiko dan pertaruhan yang Nurlela telah sadari. Hal tersebut akan berdampak sangat besar bagi rumah tangganya yang sedikit lagi sempurna. Nurlela tahu, bahwa kejantanan seorang laki-laki adalah harga dirinya, tetapi sebagai manusia yang membutuhkan kepuasan lahir dan batin, Nurlela akhirnya pasrah dengan apa yang akan terjadi kemudian.
Cerita mengalir tentang hubungan Nurlela dan Tobor yang mulai mendingin tanpa adanya komunikasi lanjutan setelah Nurlela yang meluapkan ganjalan di hatinya, dan setelah Tobor menerima pukulan telak bahwa harga dirinya sebagai laki-laki telah beringsut dan dijaga baik-baik oleh istrinya selama sebelas tahun. Hubungan rumah tangga mereka kian bercabang.
Nurlela semakin merasa kehilangan Tobor, ia pasrah dengan apapun yang akan terjadi bahkan jika Tobor akan memilih wanita lain yang dapat menghargainya dalam urusan ranjang, karena Nurlela sadar bahwa ia juga menyimpan kegelapan lain dihatinya. Sedangkan Tobor yang mengalami kecamuk di hatinya, akhirnya memilih jalan untuk memperbaiki hal yang salah di keluarganya: daya tahan kelaminnya.
Tobor yang kehilangan arah, bersinggungan dengan dunia malam yang selama ini ia tidak ingin kunjungi seumur hidupnya. Pertemuan-pertemuan Tobor dengan tokoh lain membuka isu-isu yang kian brekembang. Dari isu sosial tentang status pendidikan dan ekonomi, isu politik tentang kekuasaan yang melibatkan agama, hingga singgungan dengan latar waktu pemerintahan presiden Soeharto. Pertemuan-pertemuan tersebut akhirnya membawa Tobor mencari Mustika Zakar Celeng yang membawanya lebih jauh lagi dari Nurlela, bahkan kelewat jauh.
Judul Mustika Zakar Celeng mengandung kesan mistis yang kuat, sehingga harapan ketika membaca buku ini adalah suguhan realisme magis ketika masuk melalui gerbang judul tersebut. Tetapi hal itu baru disinggung pada pertengahan cerita dan mendapatkan porsi yang kurang. Hal tersebut dibayar oleh Adia Puja dengan penggunaan bahasa yang tidak bertele-tele dan menggunakan kiasan-kiasan yang mudah dimengerti. Secara keseluruhan, Mustika Zakar Celeng menyajikan isu-isu yang tumbuh berdampingan dengan rakyat Indonesia, dengan menyisipkan beberapa pesan-pesan moral yang menjadi renungan bagi pembaca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H