Mohon tunggu...
Sigit Widodo
Sigit Widodo Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

(Eks?) Daerah Operasi Militer Bernama Indonesia

24 Agustus 2009   08:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:48 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang terlintas di benak Anda saat mendengar istilah Daerah Operasi Militer (DOM)? Aceh sebelum Kesepakatan Helsinki, Timor Timur di bawah Orde Baru, atau wilayah Papua yang konon memiliki organisasi separatis bernama OPM?

Apapun namanya, DOM adalah wilayah tempat hukum-hukum dan tatanan sipil dapat diabaikan karena status darurat, dan digantikan oleh hukum militer. Di wilayah ini, tentara yang melakukan kejahatan tidak bisa ditangkap oleh polisi berdasarkan hukum sipil dan hanya bisa ditangkap oleh polisi militer untuk diajukan ke mahkamah militer. Dalam situasi yang sangat darurat, semisal terjadi perang, penerapan daerah militer memang lumrah dilakukan oleh negara manapun.

Namun Indonesia memiliki keunikan sendiri. Meski secara resmi hanya diterapkan di “daerah-daerah rawan”, secara de facto seluruh wilayah Republik Indonesia adalah wilayah operasi militer. Selama Orde Baru, Daerah Operasi Militer diterapkan melalui Komando Teritorial (Koter) yang hirarkinya menempel pada struktur sipil. Komando Daerah Militer (Kodam) atau Komando Resort Militer (Korem) menempel pada struktur Propinsi atau Eks-Karesidenan. Komando Distrik Militer (Kodim) menempel pada struktur Kabupaten/Kota. Komando Rayon Militer (Koramil) menempel pada struktur Kecamatan, dan di tingkat Desa/Kelurahan terdapat Bintara Pembina Desa (Babinsa).

Komando Teritorial mengacu pada Doktrin Tri Ubaya Cakti dan Doktrin Perang Rakyat Semesta yang dilahirkan dalam Seminar TNI AD pada 2-9 April 1965. Doktrin inilah yang menjadi dasar Dwifungsi ABRI dan Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat semesta (Hankamrata).

Dalam keadaan perang, sistem Hankamrata yang membuat seluruh wilayah dan rakyat Indonesia sebagai kekuatan, ruang, alat, dan kondisi perjuangan dengan TNI sebagai kekuatan inti memang diperlukan. Namun saat dibakukan secara permanen dalam kondisi kondisi damai, sistem ini sangat rawan disalahgunakan.

Di masa Orde Baru, Kodim dan Koramil identik sebagai alat pengusaha untuk menindas buruh. Pembunuhan aktivis buruh Marsinah pada 1993, misalnya, ditengarai dilakukan oleh aparat-aparat Kodim. Tak hanya Marsinah, buruh-buruh lain yang mbalelo dengan mudah dilaporkan oleh pengusaha ke Kodim atau Koramil setempat. Dengan modal selipan fulus dari pengusaha, si buruh akan segera “diamankan”, diinterogasi dengan cara-cara apapun, kemudian dicap sebagai “Komunis” dan “Tidak bersih lingkungan”. Tentara pun menjadi centeng pengusaha, mulai dari tingkat lokal, sampai tingkat nasional.

Repotnya, hukum Indonesia yang menggunakan pola pikir daerah operasi militer tadi, tidak memungkinkan penangkapan dan penyelidikan terhadap tentara menggunakan hukum sipil. Artinya, jika seorang tentara melakukan kejahatan, seperti pencurian, pembunuhan atau pemerkosaan, dia tidak bisa ditangkap oleh polisi dan diajukan ke pengadilan sipil oleh kejaksaan seperti “masyarakat biasa”. Dalam kasus ini, pasal 27 ayat 1 UUD 1945 sudah lama diinjak-injak dan diludahi – ironisnya oleh pihak yang selalu mengaku mensakralkan konstitusi tersebut dan melarang amandemen selama puluhan tahun.

Salah satu “korban” sistem ini adalah kasus penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998. Anggota-anggota Tim Mawar yang konon bertanggung jawab atas pembantaian ini hanya dihukum karena tindakan indispliner. Setelah beberapa saat mendekam di penjara, mereka bisa leluasa kembali berkarir di militer.

Dalam kehidupan sehari-hari, ketidaksamaan di dalam hukum, juga banyak menimbulkan masalah: mulai dari tentara yang petantang-petenteng karena tidak bisa dikenai hukum sipil, sampai ribetnya penyelidikan kasus-kasus pembunuhan yang melibatkan tentara. Menjadi pemandangan yang biasa saat tentara dengan kendaraan berplat militer – mulai dari motor butut sampai mobil mercy terbaru – melanggar peraturan lalu-lintas. Polisi pun hanya bisa diam karena menurut hukum di republik ini, mereka memang tidak boleh menangkap dan menyidik tentara. “Daripada ribet, biarin sajalah,” mungkin begitu pikir bapak-bapak dan ibu-ibu polisi saat melihat tentara melakukan “pelanggaran kecil”.

Penyelidikan oleh institusi Polisi Militer juga seringkali bias dan memihak pada rekan satu matranya. Saya mempunyai sahabat yang mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) oleh mantan suaminya, seorang perwira menengah TNI-AL. Oleh POM-AL, kasus ini terkesan diambangkan dan bahkan tidak ditindaklanjuti, bahkan ketika kasus perceraiannya sudah diputuskan oleh Pengadilan Agama. Konon, menurut seorang polisi di Polda Metro Jaya kepada saya, kasus KDRT yang dilakukan oleh tentara memang tidak pernah bisa dituntaskan.

Saya sendiri pernah mengalami kejadian serupa. Tidak ada tindak lanjut saat saya melaporkan seorang perwira militer untuk kasus pencemaran nama baik. Intinya, banyak kasus yang kemudian ditangani dan diselesaikan secara internal tanpa melalui mekanisme hukum yang benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun