Bw tak menjawab. Dia hanya mengakui awalnya memperkirakan tidak sulit menentukan sikap. Tapi masuknya Sibeye, pertimbangan yang harus diambil, makin bertambah. Apa lagi sodorkan orangnya.
"Belum pernah mengelola yang besar selain kesatuan kecil. Dipartai kan, dia juga bukan penentu, ada bosnya. Ntar jadi bos yang mengendalikan pemerintahan kalau menang," gumam Bw
Bw terlihat mulai kurang semangat melanjutkan perbincangan pagi itu. Dia berkeluh kesah, aku pun kurang tepat menanggapi. Aku menambah keluh kesahnya makin dalam. Cuma, aku pikir biarlah dia menentukan pilihan sendiri.
Tapi sebelum mengakhiri perbincangan pagi itu, saya sempat titip pesan. "Ingatlah, apapun yang kamu putuskan nanti, pertimbangkan banyak hal. Ini pesta demokrasi. Perang-perang visi untuk kemajuan Indonesia. Jadi kalaupun kalah, terhormat dan menang beradab," pesanku.
Kemudian kuingatkan, siapapun nanti, pikirkan bahwa Indonesia ini beragam suku dan agama. "Wapresmu harus berdiri ditengah dan ada untuk semua masyarakat. Itu bedanya Pilpres dan pemilihan Ketua Ormas Keagamaan. Kita harus bergerak maju dan tidak mundur," tekanku.
Pagi itu, pembicaraan kami berakhir tanpa kesimpulan, kecuali cuma sekedar berkeluhkesah. Tapi setidaknya, ponsel pagi itu sudah berdering dan terangkat. Setelah dia ijin mau mandi, saya pun tutup telepon, karena saya juga mau mandi.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H