Mohon tunggu...
Adhi Pram
Adhi Pram Mohon Tunggu... -

Adalah seorang yang antusias dengan dunia pengembangan sumber daya manusia dengan media alam terbuka. Menggemari dunia desain grafis. Menyukai buku bagus dan komik bermutu. Berselera bagus dalam hal makanan. Mencintai kegiatan bermain di gunung, hutan, dan juga pantai yang masih perawan. Terakhir, sangat cinta Indonesiaaaa...!!! :)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Soegija: Pesan Panjang yang Dijejalkan dalam Durasi Minim

11 Juni 2012   20:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:05 2107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Sudah terlalu lama rasanya sejak saya terakhir menonton karya dari Garin Nugroho. Melewatkan Opera Jawa (2006), artinya film Garin terakhir yang saya tonton adalah Rindu Kami Padamu (2004). Sebagai salah satu sutradara idealis di negeri ini, karya Garin selalu saya nantikan. Termasuk kali ini yang mengangkat kepahlawanan dari seorang tokoh yang tidak semua orang mengenalnya, apalagi generasi muda masa kini. Film ini menceritakan kepahlawanan seorang uskup pribumi pertama yang ada di Indonesia (Hindia Belanda saat itu), Mgr. Albertus Soegijapranata SJ (Nirwan Dewanto) beserta tokoh-tokoh lain di sekitarnya: koster Toegimin (Butet Kartaredjasa), Mariyem (Annisa Hertami), Maryono (Muhammad Abbe), Hendricks (Wouter Braaf), Ling Ling (Andrea Reva), Mama (Olga Lidya), Nobuzuki (Nobuyuki Suzuki), Wouter Zweers (Robert), Lantip (Rukman Rosadi), Banteng (Andriano Fidelis), dst. Film sendiri mengambil pembabakan waktu yang sangat panjang, yaitu tahun 1940-1949 dan berusaha menggambarkan setiap peristiwa penting yang terjadi dalam kurun waktu itu, mulai dari pengangkatan Soegija sebagai uskup, perang Asia Pasifik, pendudukan Jepang, proklamasi kemerdekaan Indonesia, pendudukan Sekutu, Serangan Umum 1 Maret, hingga pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Content film ini sendiri tak lain menggambarkan peran seorang Soegija di setiap peristiwa penting dalam kurun waktu itu. Soegija digambarkan sebagai tokoh katolik yang saleh sekaligus tokoh nasionalis yang sangat pro-rakyat. Berkat usahanya pula lah Vatikan mengakui kedaulatan Indonesia, yang akhirnya kemudian memberi tekanan pada Belanda. Perannya itulah yang mengantar Soegija dinobatkan sebagai pahlawan Nasional oleh Bung Karno. Namun bukan hanya kehidupan Soegija yang ingin ditampilkan oleh Garin. Tokoh-tokoh lain juga digambarkan dan semua mengalami keseragaman nasib: perpisahan akibat perang. Mariyem harus kehilangan kakaknya, Maryono. Ling Ling harus terpisah dari sang Mama. Hendrick, seorang wartawan Belanda, harus terpisah dari cintanya, Mariyem. Nobuzuki, komandan pasukan Jepang, berpisah dari keluarganya karena tewas. Komandan Robert, juga tak sempat bertemu ibunya di Belanda sana. Lewat hubungan antar tokoh inilah Garin ingin menitipkan pesannya pada penonton. Jelasnya: pesan politik. Garin terang-terangan mengkritik perilaku politikus di negeri ini yang haus kekuasaan, yang tidak pro-rakyat, yang mengutamakan kepentingan golongan elit dibanding kepentingan rakyat banyak. Secara gamblang Garin menyindir politikus masa kini dengan cara menggambarkan integritas Bung Karno, Sri Sultan HB IX, Jenderal Soedirman, bahkan pahlawan kontroversial Tan Malaka terhadap negeri ini. Seperti biasa, karya Garin sontak mendapatkan apresiasi di mana-mana, apalagi banyak orang yang merasa kritiknya terwakili oleh karya ini. Harus diakui bahwa Garin membuat filmnya dengan detail artistik yang mumpuni. Sinematografi yang apik, kostum & peralatan yang mewakili zamannya, hingga pemilihan lokasi yang patut dipuji. Scoring yang digarap Djaduk Ferianto juga merupakan aspek yang layak mendapatkan nilai tertinggi untuk film ini. Namun puja-puji itu bukannya tanpa kekurangan. dari skala 1-10 saya berani mengatakan film ini berada di skala 6 saja. Mengapa saya tidak cukup tinggi mengganjar film termahal Garin ini? Agak mengecewakan sebetulnya. Yang pertama dan paling mengganggu sebetulnya adalah kehadiran begitu banyak tokoh sampingan. Akibatnya film ini tidak lagi berfokus pada penceritaan pribadi Soegija. Justru tokoh yang mengambil porsi paling banyak di film ini adalah tokoh Mariyem, yang sebetulnya jika perannya dihilangkan maka sama sekali tidak akan mempengaruhi jalannya cerita. Jadi jika saya boleh mengeliminasi tokoh-tokoh ini, maka saya hanya akan menyisakan Soegija, Toegimin, Banteng, Robert dan Lantip saja. Dengan begitu film akan lebih fokus mengeksplorasi penokohan Soegija. Dengan banyak tokoh dan durasi yang minim akhirnya penonton tidak mendapatkan kedalaman akting dari masing-masing tokoh, bahkan tokoh Soegija sendiri. Tak banyak adegan yang menggambarkan pergolakan batin seorang Soegija kecuali di saat ia menangis akibat tak mampu melawan tekanan dari pasukan Jepang terhadap rakyat. Lain dari itu sosok Soegija tampak datar-datar saja. Untungnya peran Soegija masih diselamatkan wejangan-wejangannya yang bernilai. Akibat terlalu banyak peristiwa yang ingin dijejalkan dalam satu waktu, perpindahan setting waktu menjadi tidak fluid. Jika remaja masa kini yang menjadi penonton, hampir pasti mereka kesulitan untuk menjawab dengan tepat peristiwa sejarah apa saja yang ingin diceritakan dalam film. Pun secara visual Garin selalu jempolan, masih ada saja detail di sana-sini yang agak janggal. Jika Anda perhatikan, ada beberapa orang talent keturunan Papua yang sering muncul dalam film. Ini perlu dipertanyakan. Apakah dalam sejarah ada keberadaan pemuda-pemuda Papua yang terlibat dalam perang kemerdekaan di sekitaran Semarang & Jogja pada saat itu? Adegan di mana Mariyem memandikan mayat Maryono juga menjadi cacat film tersendiri. Mode pengambilan khas Garin yang bertahan pada satu jenis shot pada satu scene membuat penonton sadar bahwa mayat Maryono masih bernafas (!). Seharusnya Garin bijak mengubah mode pengambilan gambar secara lebih kreatif, alih-alih membuat penonton sadar dan membuat Maryono kesulitan menahan nafas selama bermenit-menit. Lewat film ini Garin menyampaikan pesan-pesannya lewat kata-kata tokoh-tokoh yang ada, mulai dari pesan politik, patriotisme, anti-korupsi, hingga pesan kerukunan rasial. Pilihan Garin dalam menyampaikan pesannya secara eksplisit justru membunuh nalar dari penonton yang mestinya bisa lebih banyak belajar dari tindakan Soegija yang implisit. Apalagi Soegija dianggap sebagai tokoh "silent diplomacy". Dan penutup dari semua yang terkesan dipaksakan dan dijejalkan, adalah tokoh grup musik keliling.Scene di mana pemimpin grup musik meminta rekan-rekannya tetap bermain walaupun sawah tempat mereka latihan dibom oleh Belanda adalah tidak penting dan hanya merupakan tiruan kasar dari scene film Titanic (1997) di mana ada sebuah grup musik tetap bermain ketika kapal segera tenggelam. Bedanya, grup musik dan yang mereka lakukan di film Titanic itu asli tercatat dalam sejarah. Jika saya diminta membandingkan film Soegija dengan film lain, maka saya akan memilih Gie (2005, Riri Riza) sebagai film berlatar belakang sejarah revolusi Indonesia yang penggarapannya lebih baik, dilihat dari segi akting, penokohan, skenario, maupun artistik. Lalu dengan semua kritik di atas, apakah Soegija layak untuk ditonton? Jawabannya adalah ya. Jika Anda adalah anak bangsa yang masih tertarik untuk menghidupkan semangat mencintai Tanah Air ini, maka film ini harus Anda saksikan. Selamat menonton!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun