Adalah keinginan yang disampaikan Presiden FC Barcelona, Josep Maria Bartomeau yang disampaikan kepada FIFA bahwa penalti dan kartu merah adalah dua hal yang mengurangi keindahan dan intensitas sebuah permainan sepak bola, jadi sebaiknya penalti dan kartu merah itu dihapuskan dari sepak bola.
Keinginan itu mencuat usai pertandingan antara Barcelona melawan Athletic Bilbao yang berkesudahan 6 – 0 untuk Barcelona di lanjutan La Liga. Pada pertandingan itu, Bilbao harus mendapat penalti sekaligus kehilangan kiper mereka Gorka Iraizoz yang melanggar Luis Suarez pada saat pertandingan baru memasuki menit ke 4. Keadaan yang menurut Bartomeau membuat pertandingan kemudian berjalan tak seimbang dan membosankan.
Penalti adalah hukuman untuk pelanggaran yang dilakukan di dalam garis kotak di depan gawang yang juga disebut kotak penalti, berupa tendangan langsung ke gawang dengan hanya si penjaga gawang seorang tim yang dihukum penalti yang boleh menghadangnya.
Kartu merah diberikan apabila pelanggaran berat (yang bisa mencederai fisik dan mengancam masa depan pemain yang dilanggar) dilakukan seorang pemain terhadap pemain lawan. Kartu merah yang diberikan wasit kepada seorang pemain  yang melakukan pelanggaran adalah tanda bahwa seorang pemain tersebut harus keluar meninggalkan permainan dan tak bisa diganti dengan pemain lain. Hukuman demikian diterapkan agar pemain sepak bola bisa mengontrol diri sehingga permainan sepak bola sendiri menjadi permainan yang ‘bersih’ yang bebas dari banyaknya pelanggaran.
Tak jarang seorang pemain melakukan pelanggaran berat yang berujung kartu merah, di kotak penalti pula. Keadaan yang bisa membuat sebuah tim mendapat dua hukuman sekaligus. Tendangan penalti dan kehilangan seorang pemain di sepanjang sisa waktu pertandingan.
Tak jarang pula bahwa kartu merah atau penalti, atau bahkan kartu merah sekaligus penalti seringkali menjadi momen yang mengubah jalannya pertandingan. Mempengaruhi intesitasnya dan ‘celakanya’ lebih sering membuat ‘keseruan’ dari sebuah pertandingan hilang, karena tim yang mendapat hukuman tersebut menjadi kehilangan ‘angin’.
Bagaimana pun, kartu merah akan membuat sebuah tim berkurang seorang pemainnya menjadi hanya 10, melawan 11 pemain lawan. Lalu penalti sendiri adalah hukuman yang sanggup membuat sebuah tim goyah. Ketika wasit meniup peluit tanda pelanggaran dan menunjuk titik putih berjarak 12 meter di depan mulut gawang tanda penalti, seringkali terasa bahwa tim itu ‘sudah’ kemasukan satu gol.
Keinginan itu bisa jadi akan didukung oleh banyak pihak yang (tak jarang) berpendapat bahwa kartu merah atau penalti itu sangat merugikan sebuah tim, bahkan bisa menghilangkan peluang menang sebuah tim. Apalagi sebuah hukuman penalti terkadang bukan datang dari pelanggaran yang dilakukan di dalam kotak penalti oleh pemain tim yang bertahan, melainkan dari kelicikan pemain penyerang lawan yang melakukan diving, menjatuhkan diri seakan-akan dia dilanggar.
Keinginan Bartomeau yang disampaikan itu bisa menjadi dilema. Akan menjadi perdebatan karena kecuali banyak yang (mungkin) mendukung, tapi tentunya tak sedikit pula yang menentang.
Jika dua jenis hukuman itu dihilangkan, barangkali memang akan membuat sebuah pertandingan sepak bola tak kehilangan ‘keseruan’ dan ‘sensasi’ tensi tingginya dari dua tim yang bertanding. Sepak bola tidak akan kehilangan keindahannya.
Tapi bagaimana dengan sportifitas? Jelas, keinginan Bartomeau akan sulit untuk diterapkan. Tanpa hukuman kartu merah, seorang pemain, atau bahkan sebuah tim, tidak akan ragu melakukan segala cara untuk menang. Termasuk melakukan pelanggaran. Tanpa penalti, seorang pemain bertahan akan ‘main kayu’ untuk mempertahankan gawangnya.