Mohon tunggu...
Gandi
Gandi Mohon Tunggu... -

Seorang yang senang menulis dan mendesain

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Perancis dan Dua Kenangan Manis

16 Januari 2016   12:23 Diperbarui: 16 Januari 2016   13:09 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

gambar

Perancis sudah dua kali menjadi tuan rumah Piala Dunia, 1938 dan 1998. Mereka sukses menjadi tuan rumah sekaligus sukses merebut trofi Piala Dunia pertamanya di perhelatan edisi 1998, mengikuti catatan Uruguay yang juga sukses juara saat menjadi tuan rumah di tahun 1930, Italia 1934, Inggris 1966, Jerman (Barat) 1974, dan Argentina 1978. Sukses sebagai penyelenggara dan sukses menjadi juaranya sudah pasti merupakan kebanggaan tersendiri. Brasil yang lima kali juara dunia pun tak pernah mampu melakukannya ketika dua kali menjadi tuan rumah Piala Dunia.

Pada perhelatan mayor lain, yakni Piala Eropa, Perancis juga sudah dua kali menjadi tuan rumah, yaitu edisi perdana tahun 1960 dan 1984, bahkan akan menjadi tuan rumah untuk ketiga kalinya tahun ini pada Euro 2016 Juni-Juli mendatang. Pada edisi kedua menjadi tuan rumah di tahun 1984, Perancis juga sukses sebagai penyelenggara sekaligus juara. Sukses serupa di gelaran Piala Eropa juga pernah dirasakan Spanyol pada edisi 1964 dan Italia pada 1968.

Dua perhelatan terakhir sebagai tuan rumah (Piala Eropa 1984 dan Piala Dunia 1998) dengan dua-duanya menjadi juara adalah kenangan sangat manis untuk Perancis. Apalagi sukses menjadi juara dunia untuk pertama kalinya di rumah sendiri pada 1998 diikuti kesuksesan mereka merebut trofi Eropa keduanya pada Piala Eropa tahun 2000 di Belanda-Belgia. Itu adalah tahun-tahun keperkasaan sepak bola Perancis menguasai sepak bola dunia dan Eropa.

Pada dua ajang berbeda di tanah mereka yang masing-masing berbuah kesuksesan tersebut, pasukan Perancis diisi oleh dua generasi emas mereka. Pada 1984, nama Michel Platini, Jean Tigana, Alain Giresse, dan Luis Fernandez adalah sederet bintang yang merupakan generasi emas Perancis ketika itu. Sementara di tahun 1998 adalah tahun dimana hampir seluruh anggota skuad timnas Perancis adalah pemain bintang yang bermain di klub-klub top Eropa.

Nama-nama seperti Zinedine Zidane, Didier Deschamps, Christian Karembeu, Marcel Desailly, Emanuel Petit, Bixente Lizarazu, Fabien Barthez, Lauren Blanc, dan sederet bintang lain adalah ikon sukses Perancis menguasai Dunia dan Eropa di awal milenium.

Kini, di tahun 2016, tepatnya Juni-Juli nanti, Perancis kembali akan menjadi tuan rumah untuk Piala Eropa. Sebagaimana di dua edisi terakhir sebagai tuan rumah (Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 1984) yang dua-duanya berakhir manis, tentu mereka ingin mengulang hal itu tahun ini. Kenangan manis itu adalah energi tersendiri untuk Perancis. Nikmat menjadi juara di kandang sendiri bagi Si Ayam Jantan barangkali lebih nikmat dari masakan Perancis yang (katanya) paling nikmat sejagad, atau, (mungkin) malah lebih nikmat dari ‘sekedar’ org**m!

Jadi, siapa yang tak ingin mengulanginya lagi? Betapa tidak, begitu diterima dari tangan Presiden UEFA, lalu diangkat tinggi-tinggi dari lantai podium, dan kemudian dibawa lari berputar mengelilingi lapangan stadion dalam victory lap, trofi juara (katakanlah) bisa langsung diarak keliling kota!

Tak disangkal, pasti lembar-lembar album di tahun 1984 dan 1998 sedang kembali dibuka oleh mereka. Lalu mereka mencoba menemukan semangat dan hasrat yang terprasasti di dalamnya untuk coba direngkuh dan coba direinkarnasikan di dada mereka.

‘Michel Platini, Zinedine Zidane, ah, dua ikon kesuksesan di dua ajang berbeda itu masih hidup. Masih bisa ditemui dan bisa dimintai petuahnya, dikopi hasrat dan semangatnya untuk dipaste-kan di dada. Apa yang tak mungkin, peluang ada dan selalu terbuka.’

‘Mereka punya Pogba, punya Giroud dan punya Benzema (jika federasi berubah pikirannya). Apa yang tak mereka bisa, mereka bermain di klub-klub juara, dengan peran vital yang tak biasa, belum lagi sederet bintang beken lainnya.’

Dua paragraf (sok) puitis di atas barangkali adalah semangat yang coba direngkuh Perancis menyongsong gelaran Piala Eropa edisi sekian (2016) yang akan digelar kembali di ‘halaman rumah’ mereka. Tak pelak, meski kenangan 1984 dan 1998 memberi mereka berjuta hasrat, semangat, dan harapan, tapi kenangan itu juga bisa menjadi beban. Karena jadi seperti ada keharusan menjadi juara.

Pada 1998, Perancis mencoba mengambil hasrat dan semangat tahun 1984 dengan desain jersey yang dibuat (nyaris) serupa. Hasilnya, sungguh luar biasa. Semangat dan hasrat itu tersalin sempurna bahkan nuansanya lebih membanggakan lantaran salinan hasrat dan semangat itu menghasilkan Piala Dunia.

Sekarang sepertinya Perancis tidak ‘menyalin’ hasrat dan semangat 1984 dan 1998 dengan desain jersey. Mungkin mereka menyalin dalam bentuk lain. Tak bisa dipungkiri bahwa sebuah tim akan membuka memori para senior saat merengkuh keberhasilan di masa lampau. Mencoba mengambil semangatnya dan mengulang kesuksesannya. Dan Perancis sedang (kembali) mencoba melakukannya.

Di lain tempat, ada pula Jerman yang sedang membuka kembali buku album seniornya. Gerd Muller dan Franz Beckenbauer sukses membawa Jerman (Barat kala itu) merengkuh trofi Eropa 1972 dan menyandingkannya dengan gelar Piala Dunia dua tahun berikutnya di tanah Bavaria.

Jerman juga pasti tergoda untuk mengulang sukses itu meski terbalik posisinya jika bisa. Seperti Perancis dan Spanyol (yang lebih gila) yang pernah melakukannya. Merebut Piala Dunia, dan menjuarai Eropa dua tahun berikutnya. Setelah sukses di Piala Dunia Brasil 2014, Jerman tentu ingin menyandingkannya dengan gelar Eropa.

Bukan hanya tuan rumah dan Jerman yang ingin sukses. Belgia yang sedang panen generasi emas juga mengincar gelar pertama. Dan lain-lain, dan lain-lain, termasuk negara-negara yang baru ikut turnamen untuk kali pertama. Jika ada sedikit yang mengganjal, barangkali adalah karena tidak hadirnya Belanda yang gagal lolos dan banyak orang yang menyayangkan hal ini karena Belanda memang favorit banyak penggemar sepak bola. Uniknya, juara Piala Eropa 1988 itu juga absen di tahun 1984 lalu saat Perancis sukses.

Apakah ketidakhadiran Belanda (lagi) ini pertanda Perancis akan kembali sukses? Tidak tahu.

Jelasnya, Piala Eropa tahun ini yang tinggal beberapa bulan lagi akan kembali menghadirkan ‘musim bola’, musim begadang, musim taruhan (kumat lagi), musim rejeki pedagang jersey replika, musim ngantuk dan loyo di waktu kerja, dan lain sebagainya. Topik pembicaraan mengenai bola akan ada di rumah-rumah, kantor, pos (pos kamling, pos perbatasan, pos satpam, pos polisi, pos tentara, pos ojek, dll), penjara, sekolahan, pondok, warung, sawah, kebun, ladang, jalanan, terminal, bahkan mungkin tempat pros*****i (kalau masih ada). Bahkan saling ejek antar pendukung tim anu dengan tim itu.

Bagi Perancis, Jerman, dan para peserta lainnya, Piala Eropa adalah hasrat dan semangat mereka menjadi penguasa sepak bola di jagad Eropa. Bagi kita, Piala Eropa adalah hiburan untuk melepas kepenatan (jika disiarkan dan masih bisa ditonton gratis), dan sejenak membebaskan tivi dari serbuan sinetron dan bermacam acara guyon yang tak mendidik serta monoton.

Jadi, mari kita tunggu apakah Perancis kembali mengulang kenangan manis, atau Jerman yang sukses mengawinkan gelar Dunia dan Eropa, meniru Perancis dan Spanyol dengan sama  persis, atau negara lain yang akhirnya sukses di tanah Perancis.

Salam manis.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun