gambar
Jika mendengar Liga Spanyol atau Liga Jerman, maka yang ada dalam pikiran kita tentu tak akan jauh dari Barcelona, Real Madrid, mungkin sedikit mengingat Atletico Madrid atau Valencia. Sementara hanya Bayern Munchen dan Borussia Dortmund yang terbersit dari Liga Jerman. Kemana yang lainnya? Ada, tapi memang terasa seperti tak ada. Di kedua liga ini, hanya Barcelona dan Real Madrid di La Liga dan Bayern Munchen serta Borussia Dortmund (sesekali) di Bundesliga yang lantang dengan ambisinya finish terdepan di akhir musim. Lainnya? Bukan tanpa ambisi tentu saja. Tapi kebanyakan mereka realistis dengan mengincar posisi yang berhadiah tiket sisa untuk tampil di Liga Champions atau Liga Europa. Finish pertama dan mendapat status juara liga? Kampiun? Tentu saja mereka ingin, tapi...
Dominasi, sudah sering dituliskan dalam catatan banyak pengamat sepak bola, dan (mungkin) melekat dalam ingatan penggemar sepak bola secara umum. Ada 18 klub selain Barcelona dan Real Madrid di La Liga, dan 16 klub selain Bayern Munchen dan Borussia Dortmund di Bundesliga. Apa mereka tak ingin juara? Apa mereka tak bosan dengan ketika di akhir musim hanya klub-klub itu saja yang berada di depan dan mempecundangi mereka? Rasanya mereka pasti akan meradang jika pertanyaan itu dilontarkan pada mereka kencang-kencang. Tentu saja kami ingin, kawan. Tapi apa apa yang bisa kami lakukan, kami kalah segalanya.
Dominasi, membuat persaingan di sebuah liga menjadi begitu timpang. Dominasi pula yang membuat sebuah kompetisi miskin kejutan. Persaingan hanya ramai di papan tengah dan papan bawah, papan-papan yang tak berhadiah. Harapan dan kegembiraan di akhir musim tak pernah terbagi selain untuk para pemilik dominasi.
Tengoklah Liga Primer Inggris di beberapa musim terakhir. Benar, yang finish sebagai juara liga tak pernah jauh dari Manchester United, Manchester City, atau Chelsea. Tapi betapa persaingan untuk finish pertama dan berhak status juara beberapa kali harus ditentukan sampai laga-laga akhir. Di papan bawah, persaingan untuk bertahan di Liga Primer juga penuh kejutan. Yang diperkirakan akan degradasi ternyata sanggup bertahan, dan sebaliknya. Tim kecil mengalahkan tim besar bukan sesuatu yang mengherankan lagi di Liga Primer Inggris.
Musim ini bahkan beberapa klub ‘kecil’ yang tak diperhitungkan membuat kejutan dengan menguasai papan atas klasemen, menenggelamkan klub-klub mapan yang biasanya ‘langganan’ posisi sepuluh besar, berkat kemenangan-kemenangan fenomenal atas beberapa klub besar. Bisa dikatakan tak ada rasa inferior lagi bagi klub-klub kecil terhadap klub-klub besar dengan pemain-pemain bintang. Sebaliknya, klub-klub besar sekarang sudah sangat memperhitungkan klub-klub yang dianggap kecil. Terbukti berkali-kali klub-klub mapan terjungkal. Jadi, meskipun pada akhirnya yang mempunyai mental juaralah yang memenangi liga, tapi perjalanan liga semusimnya selalu terasa penuh warna dan penuh kejutan. Sang juara akan merasa, gelarnya lebih dari sekedar berharga, karena tak mudah meraihnya.
Sekarang pertandingan antara klub ‘besar’ dan klub ‘kecil’ di Liga Primer Inggris tetaplah sebuah pertandingan yang ‘ramai’ dan penuh gereget. Setiap pertandingan bisa disebut sebagai Big Match, lantaran mereka masing-masing merasa sepadan. Tak ada kesan kalah sebelum bertanding bagi klub ‘kecil’ yang terlihat pada pertandingan. Bandingkan dengan, misalnya Barcelona bertanding melawan Eibar, Real Madrid melawan Granada. Nuansa kalah sebelum bertanding sudah sangat kental terasa. Jadi jika melihat pertandingan La Liga yang mempertemukan para pemilik-pemilik dominasi itu melawan klub-klub ‘kecil’, geregetnya nyaris tak ada. Kecuali, tentunya, jika anda adalah penggemar Barcelona atau Real Madrid, maka melawan klub kecil akan memuaskan selera anda yang senang dengan ‘pembantaian’ terhadap si kecil tak berdaya.
Sekali waktu pernah terdengar keinginan untuk membubarkan Bundesliga lantaran persaingan yang timpang dan juaranya hanya itu saja. Keinginan itu barangkali timbul dari rasa frustasi sebagai akibat dari ketidakberdayaan ‘merobohkan’ dominasi satu atau dua klub penguasa liga. Bisa dimaklumi, meski rasanya terlalu menyedihkan. Tak bisa bersaing dan minta kompetisi dibubarkan.
Dominasi (barangkali) adalah sebuah raihan dari ambisi yang terpatri sekian waktu lamanya. Perjuangan panjang tanpa lelah dengan kerja keras. Beberapa klub berhasil memilikinya dan itu merupakan suatu kebanggaan, karena toh tak setiap klub mampu melakukannya. Persaingan (dalam hal ini liga) akan menghasilkan pemenang di setiap musim, dan akan menghasilkan si kuat atau si lemah setelah sekian waktu berjalan. Hal yang tak bisa dipungkiri. Kebanyakan menyoroti para pemilik dominasi karena dahaga ambisi yang tak pernah terpuaskan dan untuk memenuhinya mereka mengerahkan segala daya upaya sepanjang waktu. Pemilik dominasi dianggap tak mau mengendorkan ambisinya untuk ‘sesekali mengalah’ demi sinar liga itu sendiri.
Siapa yang mau melepas dominasi? Tak ada. Dominasi bisa berarti kekuasaan. Ketika memilikinya, tak seorang pun yang tak keberatan untuk melepasnya, begitu juga dengan Barcelona, Madrid, atau Munchen. Karena ambisi mereka setiap musimnya bukan hanya liga lokal, melainkan juga ranah Eropa, bahkan dunia. Jika mereka melepaskan ambisi demi ‘keramaian’ liga mereka, mereka tak akan punya kesempatan ‘menguasai’ Eropa atau dunia.
Sekali lagi, dominasi, jika sudah ada di genggaman, tak mungkin akan dilepaskan. Jika Bundesliga dibubarkan sekalipun, Bayern Munchen tak akan kehabisan ambisi dan tak akan melepaskan dominasi. Mereka akan tetap merasa nyaman dan tetap bangga menjadi juara setiap musim. Mereka tak akan peduli selain memperkuat pasukan dengan pemain-pemain hebat untuk memuaskan ambisi dan meneruskan dominasi. Jadi, dominasi harus direbut, bukan pemegangnya diminta untuk melepasnya. Pertanyaannya adalah sampai kapan klub-klub lain di Bundesliga atau La Liga akan bersikap terlampau realistis dan inferior terhadap para ‘penguasa’ itu. Memang, klub besar modalnya besar, dan klub kecil modalnya kecil. Klub besar punya banyak bintang, klub kecil hanya pemain rataan. Tapi Bournemouth yang baru pertama kali mencicipi kerasnya Liga Primer Inggris, dengan gairah dan semangatnya mampu mengalahkan Manchester United yang jangan ditanyakan lagi prestasinya, kekayaannya, dan deretan pemain bintangnya.
Sekali lagi ini tentang dominasi, yang bisa berarti kekuatan dalam akses. Seseoang tak bisa meminta orang lain yang sedang mendominasi untuk melepaskan. Jika menginginkan dominasi itu maka itu harus direbut. Hukum persaingan untuk tujuan memenangkan sesuatu adalah, lakukan dan terus lakukan sampai bisa. Dan jangan mewek kalau merasa tak bisa, lalu merajuk meminta persaingan dihentikan.
Sekarang dominasi masih sedang coba dipertahankan oleh pihak yang merasa nyaman dengan ‘bisnis sepak bola nasional’ yang menguntungkan mereka semata-mata. Sementara suara-suara menginginkan reformasi agar bisa dilakukan perubahan sistem yang berbuah prestasi, bukan sistem yang hanya menghadirkan keuntungan pengelolanya. Tapi mereka terlanjur mendominasi, dan kita tak bisa mewek dengan mengimbau mereka menyerahkan dominasinya pada pemerintah yang ingin melakukan perubahan demi kemajuan dan prestasi yang bisa ‘dinikmati bersama’ seluruh rakyat Indonesia. Tentu saja mereka tak akan mau kecuali kita merebutnya. Pemerintah sedang merebut dengan cara yang (kita yakin) sehat. Bukan untuk gantian mendominasi, tapi tentu saja agar sepak bola tak didominasi segelintir orang untuk kepentingannya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H