Artikel oleh Sinta Sasika Novel (mahasiswa Bioteknologi ITB)
Pada saat ini di Indonesia kanker serviks menjadi telah masalah krusial bagi wanita (Abidin, 2008) karena kanker serviks telah menempati urutan pertama penyebab kanker pada wanita melebihi jumlah penderita kanker payudara yaitu sekitar 17,85% (Rasjidi dan Sulistiyanto, 2007). Seperti telah kita ketahui sebelumnya bahwa kanker serviks disebabkan oleh virus HPV, menurut data statistik hampir 99,7% (Beaudenon dan Huibregtse, 2008) kanker serviks disebabkan oleh infeksi HPV (Gharizadeh et al., 2003) terutama HPV-16 (Yan et al., 2008) dan HPV-18 (Marrazzo, 2001; Goldie et al., 2008).
Diantara 5.910 pasien HPV positif, HPV-16 adalah genotipe paling umum sekitar 26,3% diikuti oleh HPV-31 11,5%, HPV-51 10,6%, HPV-53 10,2%, HPV-58 8,4%, HPV-39 7,6%,HPV-33 7,4%, HPV-59 6,1%, HPV-35 5,7%, dan HPV-45 4,9%.
Munculnya banyak kasus kanker serviks memerlukan cara atau metoda pencegahan terhadap kanker serviks. Sebenarnya kanker serviks adalah jenis kanker yang telah diketahui protein karsinogennya yaitu protein E6 dan E7. Gen E6 dan E7 merupakan vektor pembawa protein karsinogen dari HPV (Thomas et al., 2008) oleh karena itu sesungguhnya kanker serviks dapat diatasi dengan pencegahan primer dan sekunder. Pencegahan primer yaitu pencegahan infeksi HPV melalui vaksinasi (Rasjidi dan Sulistiyanto, 2007), sedangkan pencegahan sekunder adalah pencegahan melalui deteksi dini yang dapat dilakukan dengan berbagai metode, diantaranya Pap Smear, kolposkopi, pendeteksian dengan teknik PCR, dan Hybrid Capture II (Castle et al., 2002).
Pap smear adalah suatu tes yang aman dan murah dan telah dipakai bertahun-tahun lamanya untuk mendeteksi kelainan-kelainan yang terjadi pada sel-sel epitel serviks (Abidin, 2008). Test ini ditemukan pertama kali oleh Dr. George Papanicolou, sehingga dinamakan Pap smear test (Riono, 1999). Pap smear merupakan cara deteksi kanker serviks yang paling umum dikenal (Anonim, 2006).
WHO merekombinasikan semua wanita yang telah menikah atau telah melakukan hubungan seksual untuk menjalani pemeriksaan Pap smear minimal setahun sekali sampai usia 70 tahun (Anonymous, 2008). Pap smear sreening dapat mengidentifikasi adanya potensi prekanker (Walboomers et al., 1999), pemeriksaan sitologi konvensional ini digunakan untuk merupakan pemeriksaan untuk melihat sel-sel epitel serviks dengan pengambilan sampel sel yang dibuat preparat dan dilihat di bawah mikroskop (Anonymous, 2008). Pengamatan tersebut bertujuan untuk mengetahui kondisi sel-sel serviks apakah masih normal atau sudah mengalami perubahan (Nasir, 2008).
Beberapa sel abnormal dapat menjadi pre-kanker dan dapat berubah menjadi sel-sel kanker (Anonymous, 2005). Perubahan sel-sel epitelium serviks yang terdeteksi secara dini akan memungkinkan beberapa tindakan pengobatan diambil sebelum sel-sel tersebut dapat berkembang menjadi sel kanker (Riono, 1999).
Periksaan IVA merupakan pemeriksaan skrining alternatif dari Pap smear karena bianya murah, praktis, sangat mudah untuk dilaksakan dengan peralatan sederhana, murah, dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan selain dokter ginekologi. (Goldie et al., 2001; Singh et al., 1992; Sankaranarayana et al., 1998). Pada pemeriksaan ini, pemeriksaan dengan cara melihat serviks yang telah diberi asam asetat 3-5% (Nasir, 2008) secara inspekulo. Pemberian zat ini akan mempengaruhi epitel abnormal dimana terjadi peningkatan osmolaritas cairan ekstraseluler (Indarti, 2000). Cairan ekstraseluler yang bersifat hipertonik ini akan menarik cairan dari intraseluler sehingga membran akan kolaps dan jarak antar sel akan semakin dekat. Akibatnya apabila permukaan epitel mendapat sinar maka sinar tersebut tidak akan diteruskan ke stroma namun akan dipantulkan keluar dan permukaan epitel abnormal akan berwarna putih (Nasir, 2008). Daerah metaplasia yang merupakan daerah peralihan akan berwarna putih juga setelah pengusapan asam asetat tetapi dengan intensitas yang kurang dan cepat menghilang (Indarti, 2000). Hal ini membedakannya dengan proses pra-kanker dimana spitel putih lebih tajam dan lebih lama menghilang karena asam asetat berpentrasi lebih dalam sehingga terjadi koagulasi protein yang lebih banyak (Hanafi, 2002).
Bila makin putih dan makin jelas, maka makin tinggi derajat kelainan histologiknya. Demikian pula makin makin tajam batasnya, makin tinggi derajat jaringannya. Dibutuhkan satu sampai dua menit untuk dapat melihat perubahan-perubahan pada epitel (Hanafi, 2002). Serviks yang diberi larutan asam asetat 5% akan merespon lebih cepat dari pada larutan 3% (Hanafi, 2002). Efek akan menghilang sekitar 50-60 detik sehingga dengan pemberian asam asetat akan didapatkan hasil gambaran serviks yang normal (merah homogen) dan bercak putih (displasia). Lesi yang tampak sebelum aplikasi larutan asam asetat bukan merupakan epitel putih namun dikatakan suatu leukoplasia (Indarti, 2000). Dari beberapa penelitian didapatkan sensitivitas 65-96% dan spesifisitas 64-98%. Sedanghkan penelitian yang menilai efektivitas IVA oleh bidan di Jakarta mendapatkan sensifitasnya 90% dan spesifisitasnya 99,8% dengan nilai duga positif 83,3% (Hanafi, 2002).
Teknik kolposkopi adalah teknik pemeriksaan sitologi berbasis cairan. Sampeldiambil dengan cara yang sama sepertipengambilan untuk sampel sitologi biasa,dimasukkan ke dalam cairan khusus sehinggasel atau faktor pengganggu lainnya dapatdihilangkan. Selanjutnya, sampel diprosesdengan alat yang disebut kolposkop. Kolposkop adalah suatu alat semacam mikroskop binokular yang mempergunakan sinar yang kuat dengan pembesaran yang tinggi (Riono, 1999).
Keunggulan pemeriksaan sitologi berbasis cairan ini, karena proses terstandardisasi dengan menggunakan prosesor otomatis, sehingga preparat (usapan sel pada kaca benda) dapat memberikan gambaran yang lebih meyakinkan. Lapisan sel tipis, serta bebas dari kotoran atau faktor pengganggu. Sampel dapat digunakan pula untuk pemeriksaan HPV-DNA. Dari hasil biopsi epitel putih yang tanpak pada kolposkopi hanya 23,3% yang menunjukan metaplasia atau servisitis saja. Adanya pungtasi terbalik juga merupakan gamabran khas untuk infeksi HPV (Bosze & Luesley, 2003).
Deteksi dengan tes DNA HPV adalah salah satu jenis tes pelengkap tes sitologi seperti pap smear. Deteksi DNA HPV bisa dengan menggunakan PCR dan Hybrid Capture II. PCR pertama kali dikembangkan oleh Kary Mullis pada tahun 1985 (Nuswantara, 2002). Pada tahun 1990 Ting dan Manos telah mengembangkan suatu metode deteksi human papilloma virus dengan PCR. Metode tersebut dikembangkan dengan mengidentifikasi suatu daerah homologi di dalam genom tipe-tipe HPV yang kemudian digunakan sebagai dasar untuk mendesain primer untuk amplifikasi.
Sedangkan teknik pemeriksaan dengan hibridisasi dikenal dengan istilah teknik Hybrid Capture II System (HC-II). Teknik ini yang merupakan teknologi terbaru dibidang biologi molekuler. HC-II pada intinya adalah melakukan teknik hibridisasi yang dapat mendeteksi semua tipe HPV high risk pada seseorang yang diduga memiliki virus HPV dalam tubuhnya (Lörincz, 1998).Penggunaan teknik komputerisasi dilakukan untuk pemeriksaan di tingkat DNA dan RNA, apakah terdapat kemungkinan pasien tersebut sudah terinfeksi HPV. JIka teknik Pap smear memeriksa adanya perubahan pada sel (sitologi), teknik HC-II memeriksa pada kondisi yang lebih awal yaitu terdapatnya kemungkinan seseorang terinfeksi HPV di dalam tubuhnya sebelum virus tersebut membuat perubahan pada serviks yang akhirnya dapat mengakibakan terjadinya kanker serviks.
Sensitivitas HC-II adalah sebesar 98 % sedangkan pada Pap smear sekitar 51-76%. Spesifisitas HC-II 98 % dan Pap smear 97%. Nilai prediksi negatif pada HC-II adalah 99% sehingga kemungkinan besar terjadinya kesalahan diagnosis negatif palsu dari pemeriksaan ini sangat kecil (Kadarsyah, 2003).
Pengembangan teknik deteksi DNA HPV akhir-akhir ini berupa HC-II merupakan teknik sederhana dan cara alternatif yang menarik; seperti produk HC-II. Teknik HC-II adalah sebuah antibody capture/solution hybridization/signal amplication assay yang memakai deteksi kualitatif chemiluminescence terhadap DNA HPV (Suwiyoga, 2006) namun secara umum HC-II ialah suatu teknik berbasis DNA-RNA yang dapat mendeteksi secara akurat dan cepat (Nainggolan, 2006).
Bila dilakukan perbandingan dengan PCR, HC-II memiliki ketepatan 92-94% terhadap teknik pemeriksaan sitologi/histologi, waktu yang lebih singkat, tidak terdapat atau hanya sedikit kontaminasi, dan disertai dengan probe. Probe A untuk melacak DNA HPV resiko rendah seperti HPV-6, 11,42, 43 dan 44, sedangkan probe B untuk melacak 13 tipe DNA HPV resiko tinggi yaitu HPV-16,18,31,33,35,39,45,51,52,56,58,59 dan 68.
Tes ini dapat dilakukan pada sediaan apusan atau cairan vagina dan sel sisa bahan pada sediaan sitologi Pap smear ataupun dengan biopsis. Sensitivitas HC-II adalah lebih dari 90% untuk mendeteksi LSIL dan 25% lebih tinggi dibanding dengan sitologi. Spesifisitasnya sangat rendah yaitu ±10%, lebih jika dipakai untuk skrining primer. Positif palsu antara 5-20% mungkin diakibatkan oleh reaksi silang dengan HPV resiko rendah dan kepekaan probenya. Selain itu terdapat reaksi silang pada plasmid bakterial pBR 322 level tinggi. Negatif palsu antara 1,1-7,5% dapat terjadi karena infeksi, kesalahan bahan dan tercampur dengan bahan lain seperti obat vaginal anti jamur, jeli kontrasepsi dan vaginal douche. Test HC-II dengan relative light unit (RLU) juga dapat untuk mengetahui viral load secara semi kuantitatif (Suwiyoga, 2006).
Perangkat HC-II selain dapat mendeteksi HPV juga ternyata diketahui dapat mendeteksi adanya virus lain seperti cytomegalovirus dan herpesvirus. Perangkat HC-II ini diluncurkan pertama kali pada tahun 1997, perangkat ini mempunyai tingkat deteksi seperlima atau sepersepuluh dari DNA sebagai pengukuran, perangkat ini menganalisis adanya HPV dari spesimen dengan cara mengkalibrasi spesimen yang akan diteliti (Lörincz, 1998).
Hybrid Capture System II (HC-II) dirancang untuk mendeteksi 18 HPV dari high dan low-risk (Maria et al., 2003) yang telah diakui dunia serta disahkan oleh FDA (Food and Drug Administration) Amerika Serikat (Nuswantara, 2008). Test ini mempunyai satu keuntungan tambahan yaitu memperkirakan kuantitatif jumlah virus (Cox et al., 1995; Sun et al., 2002).
Prinsip kerja dari HC-II hibridisasi antibodi dengan menggunakan pendeteksian chemiluminescent (Slawa et al., 2006). Hibridisasi antara DNA virus dengan probe RNA menghasilkan DNA-RNA hybrid yang ditangkap oleh antibodi di dalam sumur microplate yang kemudian akan bereaksi dengan antibodi kedua yang dikonjugasikan dengan alkaline phosphate. Antibodi kedua ini bertindak sebagai sinyal amplifikasi, semakin banyak hibrid DNA-RNA yang tertangkap pada dinding capture plate maka semakin banyak pula antibodi kedua yang dapat mengenali hibrid DNA-RNA. Kuantitas antibodi yang terikat pada hibrid DNA-RNA diukur dengan menambahkan zat chemiluminescent atau 1,2-dioxetan.
Intensitas cahaya yang dipancarkan menandakan ada atau tidaknya DNA target dalam sampel. Cahaya yang dikeluarkan berasal dari dioxetan yang memiliki waktu parah yang singkat dan memiliki reaksi oksidasi intermediet yang tidak stabil. Alkaline phosphatase akan mendefosforilasi substrat adamantil-1,2-dioxetan fosfat secara hidrolitik akan terbentuk anion yang metastabil. Sifat metastabil inilah yang membuat anion akan terfragmentasi membentuk adamantanone dan anion metil-m-oksibenzoat (Guyot et a1., 2003). Anion metil-m-oksibenzoat yang tereksitasi akan mengemisikan sinar dengan panjang gelombang sebesar 447 nm.
Cahaya dihasilkan dari reaksi pemutusan substrat chemiluminescent oleh Alkaline phosphatase kemudian dideteksi oleh luminometer dan diinterpretasikan dalam satuan RLU (Relative Light Unit) oleh luminometer yang sebanding dengan l pglmL kontrol positif DNA HPV 16 dan 5000 genom HPV (Guyot et a1., 2003).
Penentuan nilai positif uji DNA HPV didasarkan pada perbandingan sampel dengan rata-rata triplikasi RLU kontrol positif (RLU/PC). Jika perbandingan RLU/PC (relative light unit/posirif kontrol) melebihi nilai ambang positif maka spesimen dinyatakan positif terhadap tes DNA HPV.
Nilai positif palsu artinya tes DNA HPV memberikan hasil positif tetapi setelah melalui pengujian lain seperti kolposkopi, IVA, dan pap smear ternyata ternyata tidak ditemukan kelainan yang mengacu pada kanker serviks. Penentuan konsentrasi ambang DNA HPV yang akan berpeluang terbentuknya kanker leher rahim adalah sangat penting. Digene menetapkan nilai ambang positif sebesar 1.0 RLU/PC (Castle et al., 2002).
Test HPV dengan HC-II yang dipadukan dengan test sitologi seperti Pap smear telah diketahui bahwa metode tersebut merupakan metode yang paling efektif untuk mendeteksi tanda awal kanker serviks. Pendekatan kombinasi ini mendeteksi sekitar 97% penyakit serviks high-grade. Pap smear negative dengan HPV negatif pula memberikan kepastian bahwa orang tersebu mempunyai resiko yang sangat minimal untuk terjadinya kanker serviks.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H