COP26 yang merupakan pertemuan para petinggi negara-negara dunia akan komitmen untuk mengatasi tantangan perubahan iklim. Konferensi ini bertujuan untuk mempercepat pencapaian tujuan dalam Kesepakatan Paris. Sebagaimana konferensi lingkungan pada umumnya, konferensi kali ini pun menuai banyak pro dan kontra.Â
Pernyataan mentri lingkungan hidup tentang pembangunan yang tidak boleh berhenti hanya karena  emisi karbon atau deforestasi mengundang respon dari berbagai pihak terutama tentang komitmen pemerintah akan pelestarian lingkungan di Indonesia.Â
Di lain hal, dilema antara pembangunan dan lingkungan ini menyisakan sebuah pertanyaan yang sulit dijawab. Fokus membangun atau melestarikan lingkungan?
Bagi Indonesia, pembangunan infrastruktur dan jalan sangatlah penting. Banyak masyarakat yang kekurangan akses fasilitas dasar yang layak dikarenakan akses jalan yang kurang baik karena tertutup hutan atau topografi yang tidak mendukung.Â
Oleh sebab itu, membangun jalan dan infrastruktur lain yang mendukung agar akses terbatas mereka dapat terbuka menjadi penting. Sebagai contoh efektifitas pembangunan infrastruktur ini adalah beberapa desa yang kaya akan pertanian atau buah-buahan.Â
Sebelum adanya pembangunan jalan, akses mereka terbatas sehingga petani disana hanya mampu menjual hasil taninya ke tengkulak atau lapak. Tentunya, karena pembeli yang terbatas mereka tak dapat menentukan harga sehingga pendapatan mereka pun terbatas. Namun, dengan adanya pembangunan jalan, petani dapat menentukan harga karena pembeli menjadi beragam dikarenakan akses jalan yang mudah.Â
Tidak hanya itu, akses jalan yang baik juga akan mempermudah distribusi bantuan pemerintah, serta tenaga pendidik dan kesehatan sehingga akan memberi dampak sosial ekonomi yang baik untuk masyarakat desa.
Pembangunan seperti ini tentu sangat diperlukan oleh Indonesia mengingat permasalahan sosial ekonomi di negeri ini juga cukup banyak. Ketidakmerataan akses, ketimpangan pembangunan serta perekonomian membuat pembangunan infrastruktur di wilayah marjinal dan tertinggal menjadi penting.Â
Dalam konteks ini, upaya perlindungan lingkungan mungkin akan terlihat sulit karena membutuhkan usaha yang mendetail dan penuh kehati-hatian. Namun, satu hal yang perlu diperhatikan adalah apakah deforestasi yang selama ini terjadi adalah karena pembangunan jalan?
Baru-baru ini, ada sebuah penelitian tentang pemicu deforestasi di Indonesia sejak tahun 2001 sampai 2016. Sebagaimana dikutip pada laman ourworldindata.org, perkebunan kelapa sawit adalah pemicu terjadinya deforestasi di Indonesia selama tahun 2001 sampai 2016.Â
Bersamaan dengan perkebunan kayu dan perkebunan skala besar lainnya, besar deforestasi yang dihasilkan hampir mencapai separuh dari total deforestasi (sebesar 3,958,214 hectare) di kurun waktu tersebut.Â
Sementara itu, konversi hutan ke padang rumput menjadi penyebab kedua dengan besar deforestasi sebesar 20 persen. Lalu bagaimana dengan aktivitas penebangan karna jalan? Logging road atau pemotongan kayu untuk jalan menyumbang hanya sekitar 4 persen dibanding penyebab deforestasi lain. Tidak terlalu besarnya dampak deforestasi karna jalan ini membuat kita bertanya apakah pembangunan yang kurang dapat memperhatikan lingkungan itu benar-benar untuk masyarakat di daerah tertinggal?
Perubahan iklim sendiri bukan tidak memiliki dampak terhadap petani. Food and Agriculture Organization (FAO) mengemukakan bahwa perubahan iklim memiliki dampak yang luarbiasa terhadap agroekosistem. Tumbuhan, hewan dan ekosistem pada dasarnya hidup beradaptasi dengan iklim yang ada.
Jika iklim mengalami perubahan, maka tumbuhan dan hewan dapat menjadi kurang produktif. Sebagai contoh, ketika kita menanam padi namun tidak mendapat cukup sinar matahari dan hujan, makan produksi padi yang dihasilkan akan dapat berkurang. Fenomena bergesernya waktu panen dan mungkin menurunnya produktivitas pertanian dapat disebabkan karena iklim yang tidak menentu. Bayangkan jika hal ini terus terjadi, bukan tidak mungkin krisis pangan akan tercipta.
Lalu, apakah kita ingin punya banyak infrastruktur dan akses yang baik, namun kita kesulitan makan? Inilah yang menjadi alasan betapa pentingnya mengurangi emisi karbon dan mewujudkan zero deforestation.
Proteksi terhadap lingkungan menjadi penting karena hal ini terkait dengan apa yang kita tinggalkan untuk anak-anak kita. Usaha perlindungan lingkungan yang dilakukan di Indonesia terbilang masih kurang jika dibanding negara lain terutama negara maju.Â
Sebagai contoh, supermarket di negara-negara maju sudah tidak memberikan plastik secara gratis terhadap pelanggan. Jikapun mau, kita harus membeli dengan harga yang tidak murah. Setidaknya, bukan harga untuk membeli satu buah permen. Selain itu, komunitas vegan atau orang yang tidak memakan daging semakin membesar.Â
Mereka memilih tidak memakan daging karena didalam daging hewan tersebut, ada emisi karbon yang dapat memicu pemanasan global. Mereka menjaga lingkungan hingga mengorbankan preferensi makanan mereka.Â
Lalu, bagaimana dengan kita? Indonesia sebagai negara yang dianugerahi hutan tropis yang luas hingga dijuluki paru-paru dunia seyogyanya memahami amanah besar yang diberikan kepada kita. Karena jika kita tidak lagi memiliki paru-paru, maka kita tidak akan lagi mampu bernafas. Oleh sebab itu, usaha ekstra dalam memproteksi hutan sudah sepatutnya ditunjukkan oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Amanat besar pelestarian lingkungan bukan berarti menghentikan pembangunan seutuhnya. Pembangunan harus tetap berjalan dengan memberikan perhatian besar terhadap lingkungan.Â
Dalam menyikapi ini, ada sebuah teori yang dikenal dengan modernisasi ekologi yang konsepnya adalah membuat upaya pembangunan dan kelestarian alam menjadi harmonis. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan ilmu pengetahuan, penelitian dan teknologi yang ramah lingkungan seperti penggunaan mobil listrik, penggunaan solar panel untuk memproduksi listrik maupun teknologi lain.
Akan tetapi, hal terpenting dalam konsep modernisasi ekologi bukanlah tentang teknologi, tetapi berubahnya peran pemerintah. Perlu adanya perubahan peran pemerintah dari government menjadi governance.Â
Hal ini berarti pemerintah tak lagi berperan sebagai pembuat keputusan tunggal tetapi lebih kepada fasilitator dan pembuat kerangka aturan yang mendukung pelestarian lingkungan. Permasalahan produksi tambak udang di Ekuador yang mendegradasi mangrove dan lingkungan disana dapat terselesaikan berkat pemerintah yang mengadakan konferensi mencari solusi terbaik.Â
Dalam konferensi tersebut, semua pihak terkait seperti perusahaan produksi udang, eksportir, NGO, masyarakat terdampak hingga lembaga internasional hadir untuk berdiskusi. Akhirnya, pembangunan tetap dapat dilanjutkan dengan perhatian yang lebih kuat terhadap lingkungan. Tentunya, masyarakat serta lembaga-lembaga terkait ikut memantau dan memperhatikan pelaksanaannya.
Dalam kasus Indonesia, pembangunan jalan ataupun perusahaan perkebunan tentu bukan sesuatu yang harus dilarang karena itu baik untuk perekonomian dan kesejahteraan masyrakat. Akan tetapi, pembangunannya harus benar-benar memperhatikan lingkungan karena kerusakan alam bukanlah sesuatu yang dapat dibilang "hanya karena".Â
Untuk itu, pemerintah harus bersifat suportif dan tidak menutup. Pemerintah harus mampu bersikap sebagai fasilitator yang menyambut dengan ramah setiap masukan dan menyediakan kerangka regulasi yang tidak satu arah. Tidak hanya itu, masyarakat dan lembaga-lembaga non profit pun ikut serta memberikan solusi dan memantau pelaksanaan pembangunan agar lebih ramah lingkungan.Â
Karena sejatinya masalah lingkungan ini bukanlah masalah satu dua pihak, tetapi masalah kita semua. Pelestarian lingkungan adalah soal apa yang dapat kita turunkan untuk anak cucu kita kelak yang tentunya menjadi tanggung jawab kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H