Mohon tunggu...
Siectio Dicko Pratama
Siectio Dicko Pratama Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati kebijakan publik terutama masalah kemiskinan dan perekonomian

Just Want To Be Useful... www.mutiarasenyum.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kemiskinan Indonesia vs Kemiskinan Dunia

9 September 2018   10:10 Diperbarui: 14 September 2018   08:56 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terhitung tanggal 16 Juli 2018, BPS menyatakan bahwa kemiskinan di Indonesia telah memasuki babak baru di angka satu digit yaitu sekitar 9,82 persen. Angka ini mengalami penurunan sebesar 0,3 persen dari September 2017 dan sekaligus mencatat kemiskinan terendah sejak reformasi. 

Seketika, berita ini menjadi viral di media sosial dan masyarakat.  Seperti biasa, pro dan kontra akan data yang disajikan BPS mulai bermunculan. 

Sebagian merasa bahwa data yang dihasilkan sesuai dan merasa terpuaskan karena kinerja dalam mengentaskan kemiskinan terlihat berhasil. Namun, tak sedikit pula yang mempertanyakan kebenaran data tersebut terutama mereka yang kurang terpuaskan dengan data tersebut. Kritik tentang metodologi yang digunakan oleh BPS mulai bermunculan dari berbagai kalangan.

 Salah satu kritik paling tajam yang disampaikan serta yang paling ramai pula dibicarakan adalah kritik tentang penentuan Garis Kemiskinan. Seorang penduduk disebut miskin ketika pengeluarannya berada dibawah Garis Kemiskinan maka tentu penentuan besar Garis Kemiskinan ini menjadi titik krusial yang justru banyak dipertanyakan. 

Banyak kalangan menilai bahwa Garis Kemiskinan yang digunakan oleh BPS yaitu sebesar 383.908 ribu rupiah per kapita per bulan itu tidak realistis. Angka ini jika dihitung dari sisi per hari menjadi sebesar 12.700 rupiah.

Uang sejumlah ini menurut sebagian kalangan digunakan untuk makan sehari-hari saja tidak akan cukup apalagi jika ditambah untuk kebutuhan-kebutuhan lain seperti berobat atau keperluan sekolah. 

Argumentansi ini banyak didukung oleh sebagian kalangan sehingga akhirnya terbentuklah opini bahwa data yang disajikan BPS tidak benar dan hanya berdasarkan 'Asal Bapak Senang' belaka. Tetapi, apa benar demikian?

BPS sendiri sebenarnya sudah memberikan penjelasan terkait Garis Kemiskinan tersebut. Kepala BPS dalam sebuah statemennya di salah satu majalah mengatakan bahwa BPS tidak pernah main-main dengan data. 

Bagaimana mungkin BPS memainkan dan memanipulasi data sedang untuk mendapatkan data tersebut, nyawa yang menjadi taruhan? Tidak sedikit petugas BPS yang harus rela naik gunung bahkan naik perahu untuk bisa mendatangi suatu desa demi keperluan pendataan. 

Bahkan, di Indonesia timur sana, ada seorang petugas BPS yang kehilangan jarinya bahkan hampir kehilangan nyawanya saat melakukan survei kemiskinan ini. Ia mengalami kecelakaan di perahu saat kembali dari melakukan survei di sebuah pulau yang ada di timur sana. Jika sebesar itu pengorbanannya, apa etis jika data itu dimainkan?

Terkait Garis Kemiskinan sendiri, Kepala BPS RI telah menjelaskan bahwa sebagian orang salah dalam menginterpretasikan Garis Kemiskinan tersebut. 

Di Lampung saja misalnya, Garis Kemiskinan adalah sekitar 386.000 rupiah dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga sebesar 4 orang. Itu berarti untuk tidak dibilang miskin, satu rumah tangga harus memiliki penghasilan sekitar 1,6 juta rupiah. 

Angka ini bahkan berbeda sedikit dengan Upah Minimum Provinsi tahun 2017 yang berada diangka 1,9 juta rupiah. Jadi, apakah benar Garis Kemiskinan BPS itu terlalu rendah?

Sebagian kalangan juga banyak yang membandingkan bahwa Garis Kemiskinan BPS itu terlalu rendah jika dibandingkan dengan Garis Kemiskinan versi Bank Dunia. Garis Kemiskinan Bank Dunia sendiri adalah sebesar 1,9 dollar per kapita per hari. 

Angka ini kemudian dikonversi ke dalam rupiah dengan menggunakan kurs Dollar AS yang sekarang mencapai sekitar 14 ribu dollar. Dengan cara tersebut didapatlah angka sebesar 26 ribu rupiah per kapita per hari. Angka ini membuat banyak pihak berkata bahwa inilah Garis Kemiskinan yang cocok. 

Dengan alasan tersebut, banyak kalangan menilai bahwa BPS seharusnya memakai acuan tersebuat sebagai Garis Kemiskinan karena angka tersebut terlihat lebih realistis. Dengan garis kemiskinan sebesar itu, angka kemiskinan tentu tidak akan berada di level satu digit bahkan mungkin bisa mencapai tiga puluh atau empat puluh persen.

Merujuk ke laman resmi bank dunia, memang disebutkan oleh Bank Dunia bahwa Garis Kemiskinan adalah sebesar 1,9 dollar per kapita per hari. Akan tetapi, yang menjadi acuan nilai dollar bukanlah nilai kurs atau nilai tukar melainkan Purchase Power Parity atau Paritas Daya Beli. Paritas Daya Beli diartikan sebagai kemampuan daya beli suatu negara dalam standar international. 

Sederhananya, Paritas Daya Beli adalah besar kemampuan penduduk suatu negara untuk membeli suatu barang di tempat lain dengan mata uang negara tersebut. Jika harga rokok di Amerika rata-rata sebesar 50 ribu rupiah sedangkan di Indonesia hanya sebesar 10 ribu rupiah, maka kemampuan beli mata uang kita dalam membeli rokok hanya satu per limanya saja dari mata uang dollar. Inilah yang dimaksud dengan paritas daya beli. 

Perlu diketahui, dengan menggunakan Garis Kemiskinan versi Bank Dunia yang berdasarkan kepada paritas daya beli tersebut, angka kemiskinan Indonesia sudah lama memasuki angka satu digit bahkan sejak tahun 2013. 

Angka ini juga dapat diketahui pada laman bank dunia. Itu karena dalam standar Bank Dunia, Garis Kemiskinan dalam rupiah hanya sebesar 9.080 rupiah saja, jauh lebih kecil dari Garis Kemiskinan Indonesia yang digunakan sekarang.

Pada dasarnya, mengubah level Garis Kemiskinan bukanlah hal yang sulit bagi BPS. BPS bisa saja menggeser Garis Kemiskinan di angka 25 ribu rupiah sehingga angka kemiskinan semakin besar. Atau sebaliknya, BPS bisa saja menggeser angka kemiskinan hingga di angka yang sama dengan standar internasional yaitu 9 ribu rupiah sehingga angka kemiskinan semakin rendah. Tetapi, BPS tidak akan pernah melakukan itu jika tidak didasari dengan landasan kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. 

BPS sendiri melakukan penghitungan Garis Kemiskinan dengan mengacu kepada buku Handbook On Poverty and Inequality yang dikeluarkan oleh Bank Dunia. Berdasarkan acuan tersebut, dihitunglah besar Garis Kemiskinan yang merupakan rata-rata pengeluaran makanan dan non-makanan penduduk yang hampir miskin. Jadi, garis kemiskinan tidak diambil penduduk yang miskin, juga bukan diambil dari rata-rata penduduk yang berkecukupan ataupun kaya. 

Dengan dasar inilah kemudian Garis Kemiskinan itu muncul yang bahkan jumlahnya di setiap provinsi selalu hampir menyamai Upah Minimum di daerahnya ketika garis kemiskinan tersebut sudah dikalikan dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga. Angka ini sudah cukup masuk akal, dapat dipertanggungjawabkan dan dapat dibandingkan secara internasional.

 Terlepas dari turunnya angka kemiskinan, sebenarnya masih banyak pekerjaan rumah terkait kemiskinan yang perlu diatasi. Salah satunya adalah ketimpangan yang cukup tinggi antara kemiskinan di desa dan kemiskinan di kota. Di Lampung saja misalnya, selisih angka kemiskinan di desa dan di kota adalah sebesar 5 persen. 

Kemiskinan di desa sebesar 14,47 persen sedangkan di desa hanya sebesar 9,27 persen. Dan perlu diketahui pula bahwa kemiskinan di Lampung jika dibandingkan dengan September 2017 itu bertambah sebesar 0,14 persen atau menjadi sebesar 13,14 persen di Maret 2018. Hal ini sebenarnya masih menjadi pekerjaan rumah bersama untuk kita semua dalam upaya penanganan kemiskinan. 

Karena itu, akan lebih baik jika kita bersama-sama bekerja untuk mengurangi angka kemiskinan sekaligus meniadakan orang miskin sebagaimana tujuan nomor satu dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yaitu menghilangkan kemiskinan dalam segala macam bentuknya dimanapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun