Kebiasaan masyarakat akan praktik risywah
Praktik Risywah (suap) menjadi salah satu fenomena menyedihkan dalam kehidupan di Indonesia. Praktik tersebut merujuk pada aktivitas menerima pemberian berupa uang, barang, voucher dan bentuk lainnya dari pihak yang melakukan praktik suap. Praktik suap sering kali dilegalkan dan bahkan menjadi budaya di kalangan masyarakat. Karena, Setiap manusia pasti ingin melakukan segala urusan dengan instan/cepat. Oleh Karena itu kebanyakan manusia melakukan kegiatan yang dimana kegiatan itu seperti kebiasaan dalam hidup. Alasan pembenarannya antara lain menjaga hubungan dengan orang orang yang disuap. Namun, praktik suap tentu saja bertentangan dengan hukum hukum yang telah diterapkan.
Dalam agama Islam sendiri praktik risywah (suap/menyogok) diharamkan, begitu juga dalam kehidupan kita sehari hari,kita juga dilarang untuk melakukan praktik tersebut (suap/menyogok), karena praktik ini dapat merugikan satu pihak, bahkan bisa lebih contohnya seperti kita ingin melakukan sesuatu, akan tetapi melewati jalur belakang (menyuap).
Didalam islam sendiri mempunyai hukum tentang praktik tersebut (risywah), yang dimana dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam sebuah haditsnya melaknat pemberi dan penerima risywah (suap/menyogok).
 "Rasulullah melaknat orang yang memberi risywah."(HR Abu Daud dan Tirmidzi)
Diriwayatkan oleh Abu Umamah bahwa Nabi saw yang bersabda,
"Barang siapa yang memberikan kelapangan, lalu memberi hadiah kepadanya dan ia menerima hadiah itu, maka ia telah memasuki satu pintu besar dari salah satu pintu riba."
Rasulullah sendiri menganjurkan kepada umatnya agar mencari rezeki dengan cara yang halal. Dalam konteks ini sangat penting bagi pejabat maupun masyarakat yang bekerja mengumpulkan sedekah, zakat, jizyah dan bentuk bentuk bentuk pajak tahunan lainnya yang ditentukan oleh pemerintah. Agar mereka tidak menerima bantuan dalam bentuk apa pun karena hal demikian ini merupakan bentuk perbuatan yang mengarah kepada suap atau risywah, yang bertujuan untuk mendapatkan bantuan, baik karena membayar pajak penuh atau karena mendapatkan hasil tambahan di luar yang telah ditentukan.
padahal sudah ada larangan didalam ajaran agama dan larangan didalam peraturan perundang undangan. Seperti dalam UU NO 11 TAHUN 1980 pasal 1,2,3 yang dimana masing masing pasal tersebut berbunyi :
Pasal 1 Yang dimaksud dengan tindak pidana suap di dalam undang-undang ini adalah tindak pidana suap di luar ketentuan peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
Pasal 2 Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena memberi suap dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000,- (lima belasjuta rupiah).
Pasal 3 Barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah).
Meskipun sudah dibentuk peraturan perundang undangan seperti diatas, sering kali masih tetap dilakukan oleh masyarakat masyarakat pada umumnya, kebiasaan buruk ini perlu di hilangkan, agar tidak meluas ke berbagai kalangan. Sebenarnya orang yang terlibat dalam kasus suap menyuap harus malu, apabila dapat menghayati makna dari kata suap yang sangat tercela dan sangat merendahkan martabat kemanusiaan, terutama bagi yang menerima suap.Â
Hal ini mengingat pengertian suap (bribery) bermula dari asal kata 'breberie' (perancis) yang artinya adalah 'begging' (pengemis) atau 'vagrancy' (gelandangan). Dalam bahasa latin disebut 'briba' yang artinya 'a piece of bread given to beggar' (sepotong roti yang diberikan kepada pengemis). Dalam perkembangannya 'briba' bermakna sedekah (alms), black mail, atau 'extortion' (pemerasan) dalam kaitanya dengan 'gifts received or given in order to influence corruptly' (pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk mempengaruhi secara jahat atau korup).
Akan tetapi didalam hukum islam Risywah (suap) juga ada yang dibenarkan, dengan alasan untuk mempertahankan suatu kebenaran atau mencegah kezaliman, Banyak alasan mengapa seseorang harus melakukan suap (risywah), salah satunya adalah untuk mempertahankan kebenaran atau mencegah kebatilan serta kezaliman.Â
Kalau terpaksa harus melalui jalan menyuap untuk maksud diatas, dosanya adalah untuk yang menerima suap. Para Ulama' telah bersepakat mengenai hukum risywah (suap) yang sedemikian ini, karena dilakukan untuk kebaikan dan untuk memperjuangkan hak yang mestinya diterima oleh pemberi risywah. Hal ini didasarkan pada kisah Ibnu Mas'ud, ketika ia ada di Habasyah, tiba-tiba ia dihadang oleh orang yang tidak dikenal, maka ia memberinya uang dua dinar, yang kemudian, ia diperbolehkan melanjutkan perjalanan.
Maka, sekarang kebiasaan untuk melakukan risywah sebaiknya dihindari, agar mendapatkan rezeki yang lebih halal dan barokah dan menghindarkan kita dari dosa yang telah ditetapkan oleh Allah tentang Risywah.Â
DAFTAR PUSTAKA
Syakir, Muhammad. 2004. Asuransi Syariah Konsep dan Sistem Operasional. Jakarta : Gema Insani
Rahman, Abdur. 1996. Muamalah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Nurhayati, Sri. 2008. Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta : Salemba empat.
Maroni, 2010. Suap dan Gratifikasi dalam Penegakan Hukum sebagai kejahatan Mafia peradilan. Lampung : Fakultas Hukum Universitas Lampung
Wiyono. 2008. Pembahasan Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Jakarta : Sinar Grafika
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H