Dalam pidatonya saat memimpin upacara peringatan Hari Lahir Pancasila di Lapangan Garuda Pertamina Hulu Rokan, Dumai, Riau (1/6/2024), Presiden Joko Widodo menuturkan bahwa nilai-nilai Pancasila harus terus diaktualisasikan dan diwariskan dalam perilaku dan kebijakan yang nyata dirasakan manfaatnya oleh masyarakat (Kompas, 2/6/2024).
Pitutur presiden tersebut mengingatkan kita bahwa Pancasila itu menempati dua kedudukan utama, yaitu sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa. Sebagai dasar negara, Pancasila dijadikan sebagai dasar atau landasan dalam mendirikan bangunan negara Kesatuan Republik Indonesia. Perwujudan Pancasila sebagai dasar negara ditampakkan dalam hukum nasional, dimana Pancasila harus menjadi sumber dari segala sumber hukum yang ada di Indonesia. Sedangkan sebagai pandangan hidup bangsa (way of life), Pancasila memberikan tuntunan pada seluruh Bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari (Sri Utari & Suparlan Al-Hakim, 2016).
Pitutur tersebut tidak cukup penting untuk sekedar disampaikan, tetapi jauh lebih utama dijadikan komitmen bersama untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Jika seluruh elemen bangsa ini sudi mengimplementasikannya secara bersungguh-sungguh, secara otomatis Pancasila adalah kepribadian bangsa. Sebaliknya, jika tidak ada “komitmen bersama” maka Pancasila tak ubahnya hanya sebagai rongsokan ideologi, yang kehadirannya tidak memberikan faedah apapun.
Menyimpangkan Pancasila
Ada dua kata penting dari pitutur presiden tersebut, yaitu “aktualisasi” dan “diwariskan”. Jika kedua kata itu diabaikan atau dicampakkan begitu saja, Pancasila pasti tak lebih dari sebuah ideologi yang mati. Karena itu, dua kata penting itu perlu dielaborasi lebih mendalam dan tidak dijadikan pemanis bibir (lips service). Namun benar-benar diwujudkan sebagai pandangan hidup (way of life).
Perlu disadari bahwa saat ini Pancasila tidak dalam situasi dan kondisi yang baik-baik saja. Hampir setiap hari kita saksikan berbagai pelecehan dan penyimpangan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan, dan kita tidak mampu berbuat apapun untuk mencegahnya atau sekedar untuk menunjukkan bahwa ada yang salah dalam memperlakukan Pancasila. Sebaliknya, tidak sedikit diantara kita yang justru larut dalam arus penistaan ideologi bangsa ini dengan perasaan tanpa rasa salah atau dosa.
Kata “aktualisasi” secara sederhana dapat dimaknai sebagai “menjadikan betul-betul ada atau menjadikan menjadi ada secara nyata”. Dengan demikian, aktualisasi merupakan upaya serius atau bersungguh-sungguh dalam menerjemahkan dari hal yang bersifat “konseptual” menjadi sesuatu yang konkrit dan praktis, yang diimplementasikan dalam bentuk nyata, baik dalam pikiran dan tindakan. Jadi, aktualisasi bukanlah berada dalam rana omong-omong belaka.
Sedangkan “aktualisasi Pancasila” berarti menjadikan betul-betul ada lima aturan perilaku yang baik yang berupa nilai-nilai terkandung pada setiap sila-sila Pancasila yang termuat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945…..dan dikatakan oleh Sutiyoso bahwa aktualisasi Pancasila ada dua bentuk, yaitu Aktualisasi Pancasila Subyektif (realisasi pada setiap individu) dan Aktualisasi Pancasila Obyektif (realisasi dalam segala aspek kenegaraan dan hukum) (Arfa’i, 2023).
Permasalahannya, aktualisasi Pancasila baik dalam rana subyektif maupun obyektif tidak sedang dalam kenyataan yang benar-benar ada atau ada yang sebenarnya. Pengabaian atau bahkan penyelewengan (untuk tidak menyebut “pengkhianatan”) terhadap Pancasila seolah menjadi tontonan dan atau bahkan tuntunan dalam kehidupan sehari-hari. Pelanggaran hukum dan ketidakadilan oleh hukum secara vulgar dipertontonkan — dan sekaligus dituntunkan — oleh para praktisi hukum. Keadilan substansial dirobohkan oleh keadilan formalitas yang sudah dimanipulasikan untuk kepentingan sesaat, baik untuk kepentingan individu tertentu atau sekedar untuk kepentingan pencitraan.
Di negeri yang menganut ideologi Pancasila ini, korupsi telah menjadi kejahatan yang mudah ditoleransi dan bahkan diperlakukan bagai sebuah tradisi yang terus dirawat dan diteladankan kepada generasi berikutnya. Meski pernah ada yang tidak sepakat untuk dikatakan bahwa “korupsi sudah menjadi budaya bangsa”, tapi faktanya perilaku korupsi kian hari kian masif.
Korupsi telah menjadi kejahatan yang biasa terjadi di sejumlah instansi pemerintahan. Sebaran ‘budaya’ korupsi tidak hanya terjadi di lapisan atas, namun juga menjangkau di lapisan yang paling rendah. Korupsi ‘recehan’ yang dilakukan oleh ‘raja-raja’ kecil di pedesaan, tidak dipungkiri sebagai hasil dari keteladanan dari para koruptor elit yang ada di atas sana. Bahkan mungkin tidak sekedar ‘keteladanan’ dalam berkorupsi, namun telah terjalin jejaring yang kuat dan rapi sehingga sulit untuk dibongkar sampai akar-akarnya.
Jual beli jabatan — baik jabatan politik maupun birokrasi — dengan beragam modus juga menjadi aroma busuk namun sulit untuk diungkap atau dibongkar. Mafia jabatan/kekuasaan berkeliaran ke mana-mana dan menyasar siapa pun yang berhasrat untuk mendapatkan jabatan legal secara ilegal. Jabatan sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan begitu mudah disalahgunakan untuk memenuhi nafsu pribadi. Kasus korupsi yang dilakukan oleh eks Mentan Syahrul Yasin Limpo (SYL) yang mencapai 44,5 Miliar (Kompas.com, 1/5/2024) merupakan fakta bahwa Tuhan telah dipenjara dalam ruang privat. Jabatan dan kekuasaan dipergunakan untuk memenuhi syahwat duniawi yang tidak ada kaitannya dengan aspek religius.
Belum lagi dengan kebijakan-kebijakan — baik politik maupun birokrasi — yang kian menjauh dari nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Masalah uang kuliah tunggal (UKT) yang kian sempat ‘mengancam’ meroket dan pemotongan uang pekerja dengan kedok tabungan merupakan kenyataan yang menyimpang dari nilai-nilai moral Pancasila.
Pendek kata, apa yang dirasakan selama ini oleh rakyat tidak lebih dari sekedar gincu yang menipu (lips service). Argumentasi-argumentasi pemanis di produksi sedemikian rupa dan disebarluaskan melalui akun-akun media sosial, namun sesungguhnya menusuk dari belakang. Sedangkan upaya untuk menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidup (way of life) hampir tidak terasa upaya-upaya yang serius.
Krisis keteladanan
Bukan hal yang berlebihan jika dikatakan bahwa saat ini banyak kaum muda pewaris negeri yang kehilangan jati diri sebagai bangsa yang berbudaya luhur. Hal ini terpampang nyata bagaimana nilai-nilai ideal Pancasila yang tidak diimplementasikan secara nyata. Budaya kekinian yang memuja pola hidup hedonis, materialis dan pragmatis menjadi bagian yang memprihatinkan, karena berupaya keras untuk menggantikan Pancasila sebagai landasan moral bangsa.
Fenomena tersebut terjadi karena Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup hanya disosialisasikan sebagai pengetahuan belaka, tetapi tidak diteladankan oleh para elit dalam kehidupan nyata. Pancasila menjadi benda keramat yang terus-menerus dirawat dengan ritual-ritual sakral, namun tidak diimplementasikan dalam kehidupan sebagai warisan moral.
Religiusitas sebagai karakter khas bangsa yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa secara moral digantikan oleh penuhanan terhadap kekuasaan dan kekayaan. Kemanusiaan terhadap sesama hanyalah isapan jempol yang tidak punya pengaruh signifikan dalam kehidupan.
Berbagai teladan buruk dari para pihak yang semestinya tampil sebagai teladan baik merupakan merupakan dosa besar yang kelak akan berdampak bagi kehancuran negeri ini di masa depan.
Lips service atau way of life?
Jika kita sepakat dengan pitutur Presiden Jokowi, maka aktualisasi Pancasila merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Berbagai tantangan dan ancaman global tidak seharusnya memaksa warga bangsa ini beradaptasi dengan kondisi buruk tersebut. Aktualisasi Pancasila hakikatnya adalah menjadikan Pancasila sebagai filter dan sekaligus sebagai nilai tawar bagi peradaban yang tidak baik itu. Ideologi Pancasila jangan digadaikan demi untuk mengejar kepentingan-kepentingan pragmatis.
Pancasila yang merupakan perasan dari nilai-nilai luhur bangsa harus diwariskan kepada generasi penerus sebagai pandangan hidup. Merupakan pengkhianatan yang tak termaafkan jika para elit justru membiarkan generasi penerus terjerumus pada jurang budaya global yang tidak selaras dengan nilai-nilai luhur Pancasila.
Karena Pancasila harus diwariskan kepada generasi penerus, tidak patut para pengambil kebijakan atas negeri ini menyandera atau bahkan menggadaikan Pancasila hanya untuk kepentingan-kepentingan perut sesaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H