[caption id="attachment_280618" align="aligncenter" width="225" caption="Sumber gambar: www.jururekamphoto.com"][/caption]
Kamis (31/10/2013) Pikiran Rakyat melalui rubrik Kampus-nyamenurunkan laporan yang berjudul Kampus, Masihkah Menjadi Prodesen Pemimpin? dengan tokoh utamanya adalah mahasiswa dan kampus. Kurang lebih inti laporan itu menggambarkan kondisi kampus yang belum mampu menghasilkan pemimpin-pemimpin handal, serta kampus yang saat ini lebih cenderung pada aspek pendidikan semata dan mengesampingkan pengabdian kepada masyarakat. Belum lagi, saat ini antusiasme mahasiswa untuk berorganisasi cukup rendah dan kalaupun berorganisasi, dangkal pemahamannya. “Saya melihat organisasi kampus sudah tidak begitu menarik bagi mahasiswa. Setidaknya, ada pergeseran dorongan berorganisasi mahasiswa sekarang dengan era’80-an. Dulu, mahasiswa berorganisasi karen ada dorongan agar bisa berkiprah secara politis. Saat ini, tidak sedikit mahasiswa yang kalaupun berorganisasi, lebih karena dorongan untuk memenuhi CV (curriculum vitae) sebagai alat melamar kerja” kata Fadjroel Rahman mantan aktivis mahasiswa era ’80-an (PR, 31/102013).
Menarik jika mencermati sejarah perjalanan gerakan mahasiswa Indonesia, sebut saja dari awal kemerdekaan atau masa Orde Lama (Orla), Orde Baru (Orba) sampai dengan era sekarang, yang disebut sebagai era reformasi. Kita akan mendapati bahwa dari tiga masa itu (Orla, Orba, Reformasi) gerakan mahasiswa memiliki karakteristik yang unik dan berbeda dalam setiap masanya.
Gerakan Mahasiswa Masa Orla (1945-66)
[caption id="attachment_280603" align="aligncenter" width="188" caption="Presiden Pertama Indonesia Soerkarno. Era pemerintahannya disebut Orde Lama (Orla). Sumber gambar: menone.wordpress.com"]
Karakteristik gerakan mahasiswa di awal kemerdekaan tahun 1945 sampai dengan tahun 1966 dengan jatuhnya Orde Lama di bawah Soekarno, lebih cenderung kepada mahasiswa sebagai gerakan intelektual/cendekiawan. Gerakan ini bisa diwakili oleh Sok Hok Gie, Ahmad Wahib, Endang. S. Anshori. Saat itu, mahasiswa ikut “meramaikan” perdebatan dan diskusi mengenai bagaimana dan seperti apa dasar negara yang harus dipakai oleh Indonesia yang baru merdeka itu untuk menjalankan roda pemerintahannya. Walaupun tentu saja, demonstrasi-demonstrasi yang merupakan ciri dari gerakan mahasiswa masih ada. Untuk lebih jelas lagi bagaimana situasi, kondisi, suasana kebatinan mahasiswa saat itu dalam mengawal perjalanan bangsa Indonesia, bisa dibaca dari Soe Hok Gie yang berjudul Catatan Seorang Demonstran dan buku Ahmad Wahib yang berjudul Pergolakan Pemikiran Islam Catatan Harian. Dua buku tersebut merupaka catatan harian mereka saat menjadi mahasiswa sampai dengan menghembuskan nafas terakhirnya.
Gerakan Mahasiwa Masa Orba dan Awal Reformasi (1966-2004)
[caption id="attachment_280608" align="aligncenter" width="190" caption="Orde Baru (Orba) di bawah Presiden Soeharto berlangsung selama 32 tahun. Sumber gambar: www.sibarasok.com"]
Pada masa Orba di bawah Soeharto sampai dengan kejatuhannya pada tahun 1998 dan sampai kira-kira lima tahun pertama era reformasi, karakteristik gerakan mahasiswa lebih cenderung kepada gerakan politis, seperti yang diucapkan juga oleh mantan aktivis era ’80-an Fadjroel Rahman di awal. Selama 32 tahun gerakan mahasiswa mendapatkan tekanan dari penguasa Orba, sampai akhirnya gerakan mahasiswa mendapatkan kebebasannya saat menjatuhkan rezim Soeharto. Tidak lama setelah Orba jatuh, tidak sedikit aktivis-aktivis mahasiswa yang awalnya menentang rezim penguasa kemudian justru masuk ke dalam kekuasaan. Tentu saja ini mengundang kontra dan kritikan dari para aktivis mahasiswa, walaupun yang pro juga banyak. Untuk mewakili gerakan mahasiswa pada masa itu, bolehlah kita menyebut dua nama Budiman Sudjatmiko dan Fahri Hamza di samping banyak nama-nama lainnya.
Gerakan Mahasiswa Masa 2004-Sekarang [caption id="attachment_280611" align="alignnone" width="648" caption="Era reformasi sudah berlangsung selama kurang lebih 15 tahun denga empat kali pergantian presiden. Sumber gambar: arisdjunaedi.wordpress.com "]
Entah karena kecewa kepada kiprah para seniornya, dari yang tadinya kritis kepada para penguasa saat menjadi mahasiswa namun setelah itu kemudian menjadi bagian dari penguasa, atau karena untuk bertahan hidup di era kapitalisme dengan anak kandungnya hedonisme dan konsumerisme, gerakan mahasiswa 10 tahun belakangan ini lebih cenderung kepada dunia bisnis. Istilah lainnya yaitu entrepreneur. Coba saja perhatikan, belakangan ini, di kampus-kampus banyak sekali acara-acara seminar mengenai dunia bisnis. Intinya seminar-seminar itu berisi bagaimana menjadi pebisnis yang sukses yang dimulai sejak mahasiswa. Tema bisnis ini cukup banyak mendapat perhatian dari para mahasiswa. Barangkali melihat kesuksesan-kesuksesan para pengisi materinya dalam dunia bisnis, menjadi salah satu alasan yang kuat mahasiswa tertarik pada dunia bisnis ini. Bahkan tidak sedikit juga, dalam rangka mengikuti jejak kesuksesan para pemateri dalam dunia bisnisnya itu, ada mahasiswa yang rela “meninggalkan” dunia mahasiswanya.
Pertama benar-benar meninggalkan dunia mahasiswa, alias keluar. Kedua, “meninggalkan” dalam artian hanya datang ke kampus saat mengikuti kuliah satu dua kali, bahkan datang hanya saat ujian saja. Apakah salah menjadi mahasiswa dan menjadi pebisnis sekaligus? Tentu saja tidak. Bahkan pada derajat tertentu, mahasiswa entrepreneur ini dapat membantu masyarakat bahkan teman-temannya sendiri dari monster yang bernama pengangguran. Tapi pada sisi yang lain, sayang juga jika demi meraih cita-cita menjadi seorang pebisnis sukses sampai melupakan kuliahnya, dunia akademis. Bisnis boleh, tapi ilmu jauh lebih penting. Jika dua-duanya (bisnis dan kuliah) bisa berjalan secara bersamaan kenapa tidak? Di luar itu, masih ada mahasiswa yang masih tetap kritis dan melakukan demonstrasi-demonstrasi menentang setiap kebijakan yang dinilai merugikan rakyat.
Namun, ada yang menyebut demonstrasi itu tidak jarang sering ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan orang atau kelempok tertentu, yang bersifat politis. Tidak lagi murni menyuarakan aspirasi rakyat. Bahkan ada yang lebih sinis lagi, menyebutkan bahwa demonstrasi itu adalah sebuah pesanan. Belum lagi ada jenis gerakan mahasiswa lain, yaitu mahasiswa yang hanya datang ke kampus untuk kuliah saja an sich serta mahasiswa yang datang ke kampus tapi hanya untuk nongkrong-nongkrong atau hanya main-main saja.
Pada akhirnya, memang pembagian tugas menjadi kata kuncinya. Harus ada mahasiswa yang concern dalam dunia intelektualitasnya, gerakan politisnya, dan dunia ekonominya. Tentu sambil berharap jika ketiga unsur kemampuan itu (intelektual, politis, dan ekonomi) bisa melekat dan menyatu dalam diri setiap orang yang bergelar mahasiswa. Kemudian ketiganya itu juga ditopang oleh spiritual atau keimanan yang kuat. Konon katanya selain lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan pers sebagai empat kekuatan pilar dalam negara demokrasi, maka mahasiswa adalah kekuatan kelimanya. Keempat pilar pertama dari waktu ke waktu terus mengalami penurunan kepercayaan dari masyarakat – termasuk media – terutama media televisi yang dimiliki oleh politik, maka kepada gerakan mahasiswa lah, masyarakat menaruh harapan yang tinggi, dalam menjalankan arah pembangunan bangsa ini untuk kesejahteraan rakyat.
*Tulisan ini pernah dikirim ke harian Pikiran Rakyat, tapi tidak dimuat hehe ^_^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H