Mohon tunggu...
Sidik Permana
Sidik Permana Mohon Tunggu... Editor - Freelance

Saya hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Indonesia di Persimpangan Laut China Selatan: Dominator dan Diplomator

30 Mei 2024   19:38 Diperbarui: 30 Mei 2024   19:58 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, sebagaimana dilansir dari laman Kompas.com (2020) melalui artikel berjudul "Mahfud Ungkap 2 Ancaman Kedaulatan Indonesia Berdasarkan Analisis Prabowo", menyebutkan bahwa terdapat dua ancaman kedaulatan teritorial yang dihadapi Republik Indonesia, yaitu ancaman di Laut Natuna Utara atau Laut China Selatan (LCS) dan isu Papua merdeka. Sejauh ini, konflik LCS menjadi sorotan karena eskalasinya dapat menjadi ancaman serius bagi Indonesia dan negara sekitarnya. Hal itu tidak terlepas dari "hartu karun" dan kepentingan strategis berbagai negara dalam penguasaan LCS, mulai dari potensi keamanan dan pertahanan, ekonomi, geopolitik, sosial-budaya, geografi, dan ideologi.

            Potensi konflik di LCS akan menjadi sandungan bagi kedaulatan laut Indonesia dan tantangan bagi terwujudnya Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Tentu. Bagaimana pun, konflik di LCS dapat menjadi ancaman kedaulatan sepenuhnya, bukan semata Laut Natuna Utara Indonesia. Pada saat yang sama, cita-cita Indonesia untuk menjadi Poros Maritim Dunia termaktub dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2022 tentang Rencana Aksi Kebijakan Kelautan Indonesia Tahun 2021-2025, yaitu suatu visi Indonesia untuk menjadi sebuah negara maritim yang berdaulat, maju, mandiri, kuat, serta mampu memberikan kontribusi positif bagi keamanan dan perdamaian kawasan dan dunia sesuai dengan kepentingan nasional. Maka dari itu, singgungan di LCS ini tidak boleh dipandang sepele karena menyangkut geopolitik dan wibawa bangsa. Sehingga, perlu adanya pemahaman akan dampak dan potensi konflik yang terjadi sehingga dapat meminimalisir kerugian yang ada serta menyusun rencana strategis dan efektif sebagai solusi menangani persoalan tersebut.

Perkembangan Laut China Selatan

            Pada tahun 1947, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) mempublikasikan konsep petanya dengan tajuk The Nine-Dash Line atau Sembilan Garis Terputus. Publikasi ini ditujukan dalam rangka penegasan batas teritori maritim dari Tiongkok mencakup LCS sekaligus justifikasi atas klaimnya. Konsepsi ini akan menjadi biang keladi keributan dan konflik demarkasi dengan negara-negara pengklaim yang sebelumnya telah sah berdasarkan hukum internasional, seperti Indonesia, Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam. Dalam peta versi Sembilan Garis Terputus itu, RRT membenarkan tindakannya dalam mengambil alih Kepulauan Paracel, Kepulauan Spratly, dan pulau karang di LCS karena klaim historisnya yang menilai bahwa kawasan tersebut adalah milik Tiongkok yang telah digunakan selama ratusan tahun. Klaim tidak berdasar RRT ini jelas tidak memiliki payung hukum yang tegas dan dapat dibenarkan. Sehingga, tindakan ini dipandang sebagai pencaplokan ilegal dan bagi pemilik sah akan memandangnya sebagai pelanggaran kedaulatan. Konvensi Hukum Laut PBB (United Nations Convention on the Law of the Sea, UNCLOS), yang juga telah diratifikasi oleh RRC pada tahun 1982, tidak mengenal hak negara tertentu untuk mengklaim kedaulatan atas sebagian atau keseluruhan LCS (Johannes, 2023).

            Lebih lanjut, tindakan Tiongkok dalam membangun pulau buatan di sekitar Kepulauan Spratly atau Kepulauan Nansha justru meningkatkan kecurigaan dan kekhawatiran beberapa negara atas tindakannya yang secara terang-terangan seolah menunjukan dirinya sebagai "pemilik sah". Kepulauan ini sendiri adalah gugusan kepulauan di LCS, terdiri dari pulau, pulau kecil, ngarai, dan ratusan terumbu karang. Terletak di lepas pantai Filipina, Malaysia, dan Vietnam, kepulauan ini dinamakan Spratly dari seorang kapten pemburu paus Inggris di abad ke-19 bernama Richard Spratly. Kendati pulau ini punya luas kurang dari 2 kilometer persegi, tapi kepulauannya sangat strategis karena letak bagi jalur pelayaran, daerah penangkapan ikan, cadangan minyak dan gas alam, dan lainnya. Tidak heran, alasan ekonomi dan ketahanan nasional menjadi faktor Tiongkok untuk mengklaimnya, sedangkan beberapa negara mempertahankannya atas klaim sahnya menurut hukum internasional, Dengan segera, beberapa negara seperti Tiongkok, Malaysia, Taiwan, Filipina, dan Vietnam untuk menempatkan militernya di area strategis ini guna mematenkan kepemilikannya yang secara efektif ditopang dengan kekuatan militer. Namun, di antara semua itu, Tiongkok lah negara yang berpotensi kuat untuk dapat mendominasi kawasan ini hingga akhirnya secara utuh dapat memperkuat klaimnya. Penuntut atau negara yang paling signifikan mengajukan klaim adalah China terhadap kedaulatan hampir di seluruh wilayah LCS (Johannes, 2023).

            Pada tahun 2016, Mahkamah Arbitrase Internasional memutuskan bahwa Filipina menang di semua gugatan terhadap klaim LCS atas Tiongkok yang didasarkan pada UNCLOS. Kendati begitu, nampaknya Tiongkok tidak menerima hasil keputusan otoritas tersebut. Alhasil, Tiongkok meningkatkan intensitas negaranya di LCS dengan membangun pelabuhan, instalasi militer, landasan terbang, dll. Bahkan, dilansir dari laman Global Conflict Tracker (2024), diketahui bahwa terkhusus di Pulau Paracel dan Spratly, terdapat 20 dan 7 pos pengawasan, termasuk juga di salah satu gugusannya di Pulau Woody, misalnya, Tiongkok menempatkan jet tempur, misil penjelajah, dan sistem radar.

            Kondisi menguntungkan ini tidak disukai oleh Amerika Serikat. Sebagai dominator utama dunia, Amerika nampaknya tidak mau ada matahari kembar dalam percaturan politik dunia. Maka, langkah untuk membendung Tiongkok di kawasan ini adalah melalui pembangunan kepentingan akan jaminan kebebasan navigasi dan pengamanan komunikasi jalur laut atau Securing Sea Lines of Communication (SLOCs). Pada posisi ini, Amerika Serikat jelas akan mendukung upaya "keamanan" tersebut sebagai usaha untuk memastikan akses bebas dan terbuka di LCS, dan menilai segala upaya yang dilakukan Tiongkok di wilayah jalur laut ini sebagai upaya instabilisasi. Seperti biasa, menempatkan Amerika Serikat sebagai pahlawan yang membendung pengaruh keotoritarianan Xi Jin Ping. Tidak heran bila Amerika Serikat dengan tegas menentang klaim apapun Tiongkok terhadap LCS, termasuk upaya reklamasi dan militerisasi di kawasan ini. Tidak hanya itu, Amerika Serikat membuat beberapa kerja sama dengan beberapa negara, seperti Filipina guna menghambat dominasi Tiongkok di kawasan ini, di mana hal itu mendorong lebih banyak negara dalam pusaran konflik LCS. Dilansir dari laman Global Conflict Tracker (2024), dijelaskan bahwa Washington's Defense Treaty dengan Filipina dapat menarik Amerika Serikat ke dalam potensi konflik Tiongkok-Filipina, khususnya terkait perebutan cadangan gas alam dan ikan melimpah. Bahkan, kini Jepang juga turut serta dalam memperkeruh situasi ini dengan menjual peralatan militer ke Filipina dan Vietnam dalam memperkuat kapasitas keamanan maritimnya, yang secara tidak langsung menahan dominasi Tiongkok di LCS. Kini, Tiongkok akan menghadapi banyak musuh demi mendapatkan LCS. Mungkin, teori efek domino masih berlaku untuk menggambarkan kondisi ini, mengingat persoalan ini membuat Tiongkok menjadi negara yang terkucil di kawasan Asia Timur dan Tenggara.

 

Cemas-cemas Indonesia di Laut China Selatan

            Indonesia adalah negara besar dengan luas lautannya mencapai 3.257.357 km2, sebagaimana telah ditentukan oleh hasil Konvensi Hukum Laut Internasional atau UNCLOS pada tanggal 10 Desember 1982 di Montego Bay. Dari besarnya luas lautan Indonesia, Laut Natuna menyumbang 262.197,07 km2. Hal ini memberikan keuntungan besar terutama dalam ketersediaan sumber daya lautnya. Potensi itu dikukuhkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan di tahun 2017, sebagaimana dikutip dari artikel berjudul "The Great Potential of the Natuna Sea" pada laman ForestDigest.com (2022), yang menyebutkan bahwa potensi sumber daya ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia Nomor 711 (WPP-RI 711) yakni di sekitar Laut Natuna dan Laut Natuna Utara---berbatasan langsung dengan Laut China Selatan---sebesar 767.126 ton atau terdiri dari ikan pelagis besar sebanyak 185.855 ton, ikan pelagis kecil 330.284 ton, ikan demersal 131.070 ton, ikan karang konsumsi 20.625 ton, udang penaeid 62.342 ton, dan lobster 1.421 ton. Meskipun terus mengalami penurunan dalam penangkapan, kepemilikan laut ini jelas masih memberikan keuntungan sekaligus menguji komitmen bangsa dalam menjaga kedaulatannya.

            Potensi lainnya keberadaan sumber daya alam yang melimpah. Menurut data dari laporan bertajuk "Statistik Minyak dan Gas Bumi 2017" yang dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) (2017), diketahui bahwa Blok East Natuna menyimpan kandungan volume gas di tempat atau Initial Gas in Place (IGIP) sebanyak 222 triliun kaki kubik (tcf) dan cadangan terbukti sebanyak 46 tcf, sedangkan potensi kandungan minyaknya mencapai 36 juta barel minyak. Adapun menurut informasi yang dikutip dari laman Tirto.id (2020), potensi minyak di blok itu mencapai 36 juta barel minyak, tetapi baru dimanfaatkan sekitar 25 ribu barel minyak pada saat itu.

            Antara klaim Tiongkok dengan Nine Dash Line-nya dan Laut Natuna-Laut Natuna Utara Indonesia, keduanya dibatasi oleh garis khayalan yang memisahkan antara klaim positivistik hukum dan historis. Siapa yang akan memenangkan pengaruh ini? Bukan bermaksud tidak nasionalis, namun bila eskalasi dan tensi meningkat di kawasan LCS, Indonesia akan terseret karena sudah dipastikan Laut Natuna akan menjadi medan konflik geopolitik. Tentu saja,  Tiongkok sebagai negara powerful yang ditopang dengan kekuatan ekonomi dan militernya, menjadi negara yang paling berpotensi untuk memenangkan dominasi atas LCS. Tindakan Tiongkok dalam menempatkan dan membangun instalasi militer di kepulauan-kepulauan yang berada di kawasan terlarang ini jelas menunjukan bahwa Tiongkok tidak main-main dan "bisa melampaui hukum internasional manapun".

            Bahkan, kedaulatan Indonesia pernah diuji oleh Tiongkok tatkala ia melakukan intervensi militerisme kepada bangsa Indonesia di lautnya sendiri. Seperti yang terjadi pada Desember 2019 sampai Januari 2020, kapal Coast Guard Tiongkok menghalangi kapal Badan Keamanan Laut (Bakamla) untuk menindak kapal-kapal nelayan China yang masuk ke dalam Zone Eksklusif Ekonomi (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara (Putra, 2023). Bila hal ini dibiarkan, lambat namun pasti, secara tidak sadar Indonesia akan kehilangan kedaulatannya pada garis terluar batas laut tersebut. Ketika hal itu terjadi Kembali nanti, bagaimana Indonesia akan menghadapinya, bahkan sekadar bertahan di rumahnya sendiri.

            Ketika banyak negara mulai memandang serius Laut China Selatan, bagaimana Indonesia akan menyambut persoalan ini? Estu Prabowo (dalam Sugianto, Agussalim, & Armawi, 2021), mengungkapkan jika keamanan LCS belum mendapat perhatian penting dari pemerintah Indonesia karena saat ini posisi Indonesia termasuk Non Claiment State, sehingga membatasi Indonesia dalam melakukan aksi pada tingkatan soft power, dengan pemikiran tentang klaim wilayah oleh China (termasuk Taiwan) berdasarkan sejarahnya, sedangkan negara claiment state menetapkan klaimnya berdasarkan batas wilayahnya sesuai hasil konvensi dan UNCLOS 1982. Artinya, kepentingan Indonesia di LCS tidak seleluasa dengan negara pengklaim karena memang sejak awal Indonesia tidak pernah mau berurusan dengan LCS lebih jauh kecuali berhubungan erat dengan kedaulatan bangsa, seperti masuknya kapal ikan asing dan mencuri ikan di Laut Natuna. Tetapi, lemahnya pertahanan di Laut Natuna, yang mana LCS di sampingnya menjadi rebutan, akan membuka pintu masuk bagi ancaman negara. Apalagi, laut Natuna cukup terbuka dengan potensi ancaman nonnegara, yang mesti dilindungi oleh personel dan sumber daya terbatas.

            Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) (2023) dalam laporannya berjudul "Laporan Deteksi & Analisis: Keamanan Laut di Wilayah Perairan dan Yurisdiksi Indonesia Periode April 2023 S.D. Januari 2024" pernah mendeteksi pergerakan dua kapal riset kelautan berbendera Tiongkok di Laut Natuna Utara (LNU) yang bernama Nan Feng dan Jia Geng. Kedua kapal periset tersebut, Nan Feng dan Jia Geng, adalah kapal riset sumber daya perikanan dan kapal Moving Vessel Profiler (MVP) yang dapat melakukan riset oseanografi perairan dalam (deep water) dengan kecepatan tinggi. Hingga akhirnya, pada tahun 2024, Pemerintah Tiongkok mengumumkan pencapaian riset selama 25 tahun terakhir ini dengan berhasil memetakan secara komprehensif informasi topografi, geologi, lapisan dan sedimentasi, jenis dan persebaran evolusi struktur geologi, sumber daya mineral dan lingkungan laut yang berbahaya (seperti, palung yang rawan longsor) di seluruh Laut Cina Selatan dan sekitarnya.

           Memangnya, keperluan apa Tiongkok memetakan laut di LCS jika bukan karena hal penting yang berhubungan dengan kepentingan strategis negara. Tentunya, hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa Tiongkok memetakan potensi dan upaya preventif strategis dalam menjaga klaimnya. Terlebih ketika Tiongkok merangkak menjadi kekuatan militer dan ekonomi top dunia, dengan keperluan energi yang besar, nampaknya wajar bagi negara sebesar Tiongkok untuk mencari sumber daya. Hal ini membuat beberapa negara memutuskan untuk bekerja sama dengan negara-negara kuat---menarik negara tersebut ke pusaran konflik---seperti Amerika Serikat dan Jepang, untuk turut serta dalam kontestasi LCS. Dikutip dari laman Global Fire Power (GFP) (2024), Tiongkok berada di urutan top lima kekuatan militer dunia dengan skor kekuatan index 0.0706 atau mendekati sempurna di angka 0.0000, dengan anggaran pertahanannya mencapai 227 milyar dolar atau urutan kedua dari 145 negara. Selain itu, kebutuhan energi Tiongkok bisa mencapai 24,861 triliun dolar atau 399,889 triliun rupiah. Dengan semua tuntutan itu, tidak ada alasan bagi Tiongkok untuk mengabaikan begitu saja "harta karun" di LCS.

           Kemudian, bagaimana langkah Indonesia dalam menghadapi ancaman tersebut dan apa kepentingan Indonesia di luar batas itu? Semakin jauh zona laut tersebut dari pantai suatu negara, semakin menipis kedaulatan dan yurisdiksi yang dimiliki negara tersebut akan zona laut tersebut (Churcill, Lowe, & Sander, 2022). Menandakan bahwa batas kewenangan Indonesia atas lautnya mesti terpenuhi. Namun, bagaimana bila kemudian Tiongkok justru berjalan lebih jauh, atas dasar klaimnya, ke selatan LCS dan melakukan banyak hal di sana seolah memiliki kedaulatan atas wilayah tersebut. Bahkan, secara terbuka memasuki wilayah laut Indonesia. Namun, ketika melihat hal itu tetap dilakukan, yang terbesit dalam pikiran adalah seberapa berani Tiongkok, maka semua data statistik tentang kemampuannya sudah cukup untuk menjawab semua itu. Artinya, kekuatan memungkinkan suatu negara untuk bertindak dan mendominasi kawasan, dan Indonesia belum saatnya untuk memainkan peran dominator kawasan namun sudah cukup mempertahankan kuasa atas tanah airnya. Itulah mengapa kedaulatan begitu penting bagi wibawa suatu bangsa.

 

Pentingnya Kedaulatan Bangsa

            Tatkala mendengar ungkapan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti (2015), bahwa "negara kita sudah banyak dirugikan oleh praktik Illegal, Unregulated, Unreported Fishing (IUUF). Nilai kerugiannya diperkirakan mencapai 300 trilliun per tahun." Mungkin akan timbul pertanyaan dibenak kita terkait kemampuan negara dalam menghadapi ancaman kedaulatan negara dan seberapa efektif cara yang akan dan telah dilaksanakan. Sekarang, kita coba untuk melihat bahwa sekalipun Laut Natuna Utara berpapasan langsung dengan LCS, dan Indonesia berdaulat penuh atas sumber daya yang berada di dalamnya, kedaulatan Indonesia masih dengan mudahnya dirongrong oleh bangsa lain, bahkan oleh sekelompok kriminal seperti penangkap ikan ilegal. Hal itu hanya membuktikan satu hal bahwa kita memerlukan "kekuatan" lebih untuk menjaga kedaulatan laut kita. Tentunya, dengan anggaran terbatas, yang jika dibandingkan dengan Tiongkok tentu memiliki kelas yang berbeda. Bila Tiongkok saja menghabiskan milyaran dolar untuk anggaran pertahanan, kita pun bisa melakukan hal yang sama namun berada pada level yang berbeda karena perekonomian Indonesia tidak sekuat Tiongkok dalam total anggaran pertahanannya. Tapi, kita bisa berlindung dari istilah "optimalisasi".

             Kementerian Pertahanan (Kemenhan), sebagaimana dilansir dari laman Katadata.co.id (2024), menjelaskan bahwa alokasi anggaran pertahanan mencapai Rp139,26 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 atau turun sekitar 3,46% dari outlook 2023 sebesar Rp144,26 triliun dengan rincian: 1) Dukungan manajemen sebesar Rp77,56 triliun; 2) Modernisasi alutsista, non-alutsista, dan sarpras pertahanan sebesar Rp43,01 triliun; 3) Profesionalisme dan kesejahteraan prajurit sebesar Rp12,37 triliun; 4) Pelaksanaan tugas TNI sebesar Rp4,04 triliun; 5) Riset, industri, dan pendidikan tinggi pertahanan sebesar Rp1,65 triliun; 6) Pembinaan sumber daya pertahanan sebesar Rp597,40 miliar; dan, 7) Kebijakan dan regulasi pertahanan sebesar Rp24,7 miliar. Dalam anggaran, akan terpancar kewibawan, karena apapun dalam konteks perkembangan dan kemajuan memerlukan sejumlah modal.

            Cara bagi Indonesia yang paling memungkinkan untuk bisa menghadapi ancaman kedaulatan ini, di samping meningkatkan kekuatan militer dan optimalisasi anggaran pertahanan, adalah melalui jalur soft power. Pertama, perang bukan jalan yang menguntungkan di era modern, selain eskalasinya dapat bergerak liar juga tingkat kerusakannya akan menjadi momok bagi perekonomian suatu negara pasca perang. Apalagi adanya kekuatan suatu negara yang overpower dan memiliki ketimpangan jelas secara statistik dalam indikator Global Fire Power, jelas kombinasi kekuatan akan menjadi jalan keluar, namun konsekuensinya adalah akan banyak yang terlibat dan kehancuran tidak bisa dielakkan. Kedua, perang sudah menjadi barang terlarang yang memiliki konsekuensi hukum. Pelancaran perang tidak dimungkinkan oleh hukum intemasional mengingat perang sudah dinyatakan sebagai tindakan yang ilegal sejak tahun 1945 dengan didirikannya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (Putra, 2023). Dengan demikian, tindakan yang diplomatis dalam menghadapi persoalan kedaulatan ini akan jauh lebih aman, meskipun tetap kekuatan militer harus dibangun---tindakan ini akan memicu dilemma security seiring waktu.

            Pengerahan kekuatan militeristik dapat memicu tensi di kawasan, dan Indonesia mungkin bisa terseret ke dalamnya walaupun hal itu cukup diragukan. Akan tetapi, pengerahan ini tidak bertindak semata sebagai deklarasi, namun sebagai peringatan dan perlindungan. Dengan kata lain, bukan sebatas keamanan semata, pelindung Laut Natuna Utara yang bersinggungan dengan LCS, tetapi juga sebagai sistem menyeluruh yang melibatkan banyak pihak dalam kerangka ketahanan nasional. Pendekatan militer lebih diproyeksikan pada sistem pertahanan bukan kepada keamanan perbatasan laut di era sekarang yang menuntut integrasi baik sipil maupun militer khususnya dalam perbantuan kekuatan (Sugianto, Agussalim, & Armawi, 2021).

            Melalui gambaran ini, Indonesia masih memerlukan waktu untuk meningkatkan kemampuan militernya hingga ke tahap di mana Indonesia masuk ke dalam top lima kekuatan militer dunia. Sehingga, Indonesia bisa leluasa untuk berhadapan secara terbuka terhadap siapa pun yang mengganggu kedaulatan negara. Bahkan, jika sudah berada pada tahap ini, kedaulatan Indonesia benar-benar akan memiliki wibawa untuk memaksa negara lain menghormati Indonesia dan kedaulatan wilayahnya. Namun, sebagai negara yang menjunjung tinggi perdamaian dunia, tindakan militer hanya diperuntukan sebagai jalan terakhir dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darahnya. Tetapi, sejak saat ini, Indonesia mesti terus menggalang kekuatan guna meningkatkan bargaining position dalam geopolitik global, dimulai dengan diplomasi pertahanan dengan negara yang memiliki kekuatan militer yang mumpuni, meningkatkan kekuatan penopang utama seperti ekonomi, politik, energi, dan lainnya, serta bila hal ini sudah terlanjur bersinggungan dengan hukum internasional maka Indonesia bisa melanjutkan persoalan ini ke Mahkamah Arbitrase Internasional.

Simpulan

            Kita mesti menyadari bahwa negara Indonesia masih menjadi negara berkembang. Kesadaran ini akan membantu kita untuk bisa sedikit belajar terkait kelemahan dan kelebihan yang bisa digunakan untuk membangun ketahanan nasional. Selagi menggalang kekuatan untuk membangun negara menjadi lebih kuat, Indonesia bisa mengoptimalkan segala upaya dalam menangani ancaman kedaulatan negara yang bisa datang di mana saja. Tentu, semua cara dilakukan agar Indonesia bisa menjaga kedaulatannya dari berbagai ancaman, baik dalam skala negara maupun kelompok kriminal, baik ancaman tradisional maupun nontradisional. Mulai dari diplomasi, langkah hukum internasional, dan langkah paling terakhir menyangkut perlindungan terhadap tumpah darah Indonesia adalah melalui perang yang dibenarkan oleh hukum internasional. Sehingga, ketika ancaman di LCS benar-benar datang, Indonesia sudah siap untuk mempertahankan negara.

DAFTAR PUSTAKA

Churcill, R., Lowe, V., & Sander, A. (2022). The Law of the Sea (4th ed.). Manchester: Manchester University Press.

Council on Foreign Relations. (2024, April 30). Territorial Disputes in the South China Sea. Dikutip dari www.cfr.org: https://www.cfr.org/global-conflict-tracker/conflict/territorial-disputes-south-china-sea

ForestDigest.com. (2022, Juni 3). The Great Potential of the Natuna Sea. Dikutip dari www.forestdigest.com: https://www.forestdigest.com/detail/1780/potensi-laut-natuna

Global Fire Power. (2024). 2024 China Military Strength. Dikutip dari www.globalfirepower.com: https://www.globalfirepower.com/country-military-strength-detail.php?country_id=china

Indonesia Ocean Justice Initiative. (2023). Laporan Deteksi & Analisis: Keamanan Laut di Wilayah Perairan dan Yurisdiksi Indonesia Periode April 2023 S.D. Januari 2024. Jakarta: Indonesia Ocean Justice Initiative.

Johannes, R. (2023). Peningkatan Ketegangan Geopolitik Di Laut China Selatan. Jurnal Lemhannas RI, XI(4), 211-218.

Katadata.co.id. (2024, Januari 4). Anggaran Kementerian Pertahanan 2024, Terbesar untuk Manajemen. Dikutip dari databoks.katadata.co.id: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2024/01/04/anggaran-kementerian-pertahanan-2024-terbesar-untuk-manajemen

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2017). Statistik Minyak dan Gas Bumi 2017. Jakarta: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2015). Pusat Data, Statistik, dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Kompas.com. (2020, Februari 21). Mahfud Ungkap 2 Ancaman Kedaulatan Indonesia Berdasarkan Analisis Prabowo. Dikutip dari nasional.kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2020/02/21/13444071/mahfud-ungkap-2-ancaman-kedaulatan-indonesia-berdasarkan-analisis-prabowo

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2022 tentang Rencana Aksi Kebijakan Kelautan Indonesia Tahun 2021-2025.

Putra, S. K. (2023). Hukum Internasional dalam Wilayah Perbatasan Negara. Jurnal Cahaya Mandalika, III(2), 362-372.

Septari, N. A., Manullang, G. H., Azzahra, A. F., Alvania, B. G., & Lumbantoruan, G. M. (2022). Respon Indonesia Menghadapi Ancaman Cina di Laut Natuna Utara di Masa Kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Jurnal Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia, X(1), 10-18.

Sugianto, A., Agussalim, D., & Armawi, A. (2021). Penanganan Keamanan Maritim Perbatasan Wilayah Laut dan Dampaknya pada Aspek Pertahanan Keamanan. Jurnal Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia, IX(2), 113-128.

Tirto.id. (2020, Januari 9). Kekayaan Laut Natuna & Alasan Kenapa Cina Selalu Mengklaimnya. Dikutip dari tirto.id: https://tirto.id/kekayaan-laut-natuna-alasan-kenapa-cina-selalu-mengklaimnya-erpk

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun