Mohon tunggu...
Sidik Nugroho
Sidik Nugroho Mohon Tunggu... -

Guru, penulis lepas, usia 32. Suka gitar, sastra, dan sinema. Buku terbaru: 366 Reflections of Life

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru-guru yang Paling Mengesankan Sepanjang Hidup Saya

25 November 2012   01:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:43 2643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Guru yang paling sering saya kenang adalah guru yang lucu -- entahlah kalau Anda. Setelah itu, barulah yang pintar atau unik dalam hal-hal tertentu. Berikut beberapa guru saya dari SD sampai kuliah yang hingga kini masih saya kenang.

1. Pak Ferdinandus

Pak Ferdinandus adalah guru saya waktu sekolah di SD Subsidi Suster Singkawang. Saya dan teman-teman memanggilnya Pak Ferdi. Dia terampil dalam banyak hal: pandai bermain organ dan seruling; selain mengajar Seni Musik, Pak Ferdi juga pernah mengajar Matematika, IPA, IPS, bahkan Olahraga.

Saya masih ingat saat saya di kelas 4 SD, Pak Ferdi sedang mengajar IPA. Dia menyampaikan sesuatu yang selalu saya kenang. Dia berkata kurang lebih begini, "Kalau kalian sudah besar, ciptakanlah sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Ikutilah jejak para ilmuwan dan penemu. Nah, salah satu yang menarik untuk ditemukan di masa depan adalah sepakbola di udara."

"Sepakbola di udara" -- tiga kata itu selalu terngiang-ngiang di benak saya. Seperti apa ya sepakbola di udara? Sampai kapanpun mungkin sepakbola di udara tak pernah bisa terwujudkan -- entahlah. Tapi, kata-kata itu membuat saya sering berimajinasi. Puluhan tahun kemudian, saat saya membaca buku dan menonton film Harry Potter, saya pun teringat kepada Pak Ferdi saat melihat Quidditch, semacam sepakbola para penyihir yang dilakukan dengan sapu-sapu terbang di udara.

Kadang, saya berpikir, apakah Pak Ferdi pernah mengobrol dengan J.K. Rowling?

2. Pak Petrus

Di SMP Negeri 3 Singkawang, saya tidak bisa melupakan Pak Petrus, guru yang sangat kocak. Pak Petrus, bagi saya -- dan saya rasa bagi kebanyakan muridnya -- bukanlah guru yang ideal, dalam arti memiliki wawasan yang luas, pandai menjelaskan materi, atau pintar. Pak Petrus justru guru kami yang paling suka mengada-ada.

Pak Petrus mengajar Olahraga dan Elektronika, dia suka mengarang cerita-cerita yang tidak masuk akal. Tapi, dia menyampaikan cerita-ceritanya dengan begitu bersemangat. Saat dia bercerita, dia memperlakukan kami seperti anak kecil yang mudah dikelabui. Entahlah, sampai sekarang saya tidak tahu apakah dia sebenarnya tahu atau tidak bahwa kami tidak pernah bisa mempercayai cerita-ceritanya, hanya suka mendengarnya bercerita.

Salah satu ceritanya adalah tentang adu layang-layang. "Kalian kalau buat benang gelasan dari kaca kan? Kalau saya tidak, saya membuat benang gelasan dari intan," katanya. Dia bercerita semua layang-layang yang dia lawan dengan benang gelasan intannya putus.

"Karena tidak ada lawan lagi, layang-layang saya cuma sendiri, saya timpakan saja benang dan layang-layang saya ke pohon kelapa! Pohon kelapa itu pun patah!" katanya dengan penuh semangat. Seisi kelas tertawa mendengarnya.

Satu hal lain yang menarik dari Pak Petrus adalah sifatnya yang pemarah dan emosional.  Hal ini yang membuatnya ditakuti oleh anak-anak. Karenanya, saat dia bercerita, hampir semua anak diam mendengarkan. Hingga kini, bila saya bertemu lagi dengan teman-teman semasa SMP, kami masih sering mengenang Pak Petrus.

3. Pak Solehan

Pak Solehan -- akrab disapa Pak Lehan -- adalah guru agama Islam di SMA Negeri 6 Semarang. Pak Lehan memang tidak mengajar saya, tapi saya cukup akrab dengannya. Yang membuat saya terkesan dengannya adalah kedekatannya dengan para murid. Ini sedikit banyak disebabkan oleh kesibukannya membimbing ekskul band.

Saya masih ingat saat pertama kali bertemu Pak Lehan di audisi band sekolah. Sambil merokok, dia mengamati siswa-siswi kelas 1 yang sedang menunjukkan kebolehan masing-masing dalam bermain musik.

Pak Lehan selalu tampak santai. Kalau ketemu di pagi hari, dia selalu tersenyum ramah kepada semua orang. Dia tampak klop sekali mengendarai motor Vespa lawasnya.

Saya mendengar dari beberapa teman, dia mengajar agama Islam dengan sangat rileks. Pernah, suatu waktu, saat ulangan umum, kunci jawaban untuk semua soal pilihan ganda yang dibuatnya adalah D.

Saya tidak pernah merasa canggung walau berbeda agama dengan Pak Lehan. Dia beberapa kali mengingatkan saya untuk tidak lupa sembahyang di gereja. Ekskul band sempat diadakan pada hari Minggu, dan saya dari gereja biasanya langsung ke sekolah, datang lebih awal dari teman-teman yang lain. Saya sempat dipasrahi kunci untuk ruang ekskul band selama beberapa minggu.

Hal yang tak terlupakan adalah tahun 1996, saat tiga band dari SMA Negeri 6 yang didaftarkan Pak Lehan ikut festival band se-Jateng-DIY menyabet habis semua gelar juara -- juara pertama, kedua, dan grup band berpenampilan terbaik (tidak ada juara ketiga). Festival itu diadakan Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang. Juara pertama adalah Casta; juara kedua Golgota; dan band saya, Neo-Six, mendapat juara sebagai band berpenampilan terbaik. Kami semua begitu bangga dengan Pak Lehan.

Suatu hari, semua pemain musik dari sekolah kami bertandang ke rumah Pak Lehan di daerah Genuk, dekat Pedurungan, Semarang. Rumah Pak lehan sederhana, tapi halamannya luas. Di sana Pak Lehan dan beberapa teman saya sudah menyiapkan semua alat band. Kami bermain musik bergantian dari pagi sampai hampir malam.

4. Pak Sujud

Pak Sujud adalah dosen saya di jurusan Sejarah Univeritas Negeri Malang. Dia pernah mengajar saya di mata kuliah Prasejarah Indonesia dan Studi Masyarakat Indonesia.

Pak Sujud juga menjadi dosen pembimbing skripsi saya. Pak Sujud sangat ramah, suka tersenyum. Dia juga begitu cuek dalam soal penampilan, kadang bagian belakang sepatunya diinjak dengan tumitnya, jadi mirip sepatu sandal.

Yang tidak pernah saya lupakan dari Pak Sujud adalah cerita-cerita lucunya. Saya menduga, dia punya cukup banyak koleksi buku kumpulan humor. Hampir di tiap kuliahnya, selalu saja ada lelucon yang membuat suasana kelas jadi begitu cair.

Cerita-cerita lucu Pak Sujud sangat beragam: dari humor mahasiswa, humor umum, sampai humor dewasa. Dia juga pernah menggelari sebuah merek sabun sebagai "sabune babu" (sabunnya pembantu). Saya menceritakan istilah "sabune babu" itu kepada nenek saya suatu hari, waktu nenek saya baru saja membeli sabun itu untuk mandi. Nenek saya tertawa-tawa mendengar istilah "sabune babu".

5. Pak Soepratignyo

Pak Soepratignyo -- panggilannya Pak Pratig -- juga dosen saya di Universitas Negeri Malang. Seingat saya, dia pernah mengajar mata kuliah Sejarah Asia Selatan dan Geohistori. Saya tidak banyak mengingat pelajaran-pelajaran Pak Pratig, tapi sampai sekarang masih mengingat wawasannya yang sangat luas.

Bila Pak Pratig sudah berdiri di depan kelas, semua mahasiswa tenang. Dia sangat pandai bercerita, juga menghapal banyak sekali fakta sejarah yang saling berkaitan. Saya pernah berpikir kalau dia adalah ensiklopedi sejarah yang bisa berjalan.

Hal yang masih saya ingat dengan jelas adalah ketika Pak Pratig mengangkat isu terorisme pada tahun 2001. Saat itu menteri senior Singapura, Lee Kuan Yuw, menyatakan bahwa Indonesia adalah sarang teroris. Banyak pihak yang saat itu tidak setuju dengan pernyataan sang menteri. Pak Pratig, saya masih ingat betul, tidak menyatakan setuju atau tidak. Dia hanya mengajak para mahasiswanya untuk menilik sejarah dan melihat apa yang terjadi di kemudian hari.

Hal lain yang tak terlupakan dari Pak Pratig adalah kesukaannya merokok Gudang Garam saat menjelaskan materi perkuliahan. Sekali berdiri di depan kelas, Pak Pratig bisa menghabiskan 2-3 batang rokok. Pernah, suatu ketika rokoknya habis saat dia ada di depan kelas, lalu dia meminta tolong seorang mahasiswanya membelikannya rokok.

***

Demikianlah sekilas kisah lima orang guru yang paling mengesankan dalam hidup saya. Ada kalanya saya ingin kembali duduk, mendengar, dan menyimak lagi apa yang mereka ajarkan atau sampaikan di depan kelas. Saat-saat diajar oleh mereka dan mendengarkan mereka adalah saat-saat yang berharga.

Masih ada beberapa guru lain yang meninggalkan kesan tersendiri dalam ingatan saya. Namun, ingatan tentang mereka tak sebanding dengan ingatan saya akan kelima guru ini. Saya sudah tidak pernah lagi bertemu dengan mereka bertahun-tahun. Dari kelima guru ini, hanya Pak Sujud yang saya tahu masih mengajar. (*)

Pontianak, 24-25 November 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun