Judul: Source Code | Sutradara: Duncan Jones | Pemeran: Jake Gyllenhaal, Michelle Monaghan, Vera Farmiga | Skenario: Ben Ripley SPOILER ALERT! Source code. Dua kata ini adalah bahasa pemrograman komputer awalnya. Saya tidak tahu pasti tentang apa makna sorce code dalam ilmu komputer. Yang jelas, di film ini, source code berkaitan dengan kondisi yang ada pada otak seseorang sebelum mati. Dikisahkan di sini, sebelum mati, otak seseorang masih berfungsi selama sekitar delapan menit untuk mengingat apa-apa saja yang ia alami ketika menjelang ajal. Dalam film ini dikisahkan seorang kapten pesawat tempur bernama Colter Stevens (Jake Gyllenhaal) yang berubah wujud menjadi Sean Fentress, seorang guru Sejarah. Sang kapten berubah menjadi guru karena kecanggihan teknologi source code itu. Ketika berubah wujud, Colter bingung dengan keadaannya. Dia berada di kereta, duduk berhadapan dengan seorang gadis cantik, Christina (Michelle Monaghan). Memori terakhir yang ada padanya: ia sedang berada di Afganishtan, menjadi pilot pesawat tempur. Christina bahkan telah mengenal Colter sebagai Sean. Dialog yang canggung terjadi di antara keduanya. Dalam dialog itu Colter terus-menerus tampak bingung karena ia dikenal Christina sebagai Sean. Waktu berjalan delapan menit. Dan kemudian, duar!!! Bom meledak, Colter masuk ke sebuah ruang kecil di sebuah kastil. Di kastil itu, seorang wanita berseragam mirip tentara menjelaskan padanya apa yang terjadi lewat televisi (mereka berkomunikasi layaknya orang yang ber-teleconference). Di dunia sekitar kastil, wanita itu, Goodwin (Vera Farmiga, berakting lebih mantap daripada saat di Up in the Air), menyatakan bahwa Colter memiliki tugas rahasia mencari bom di kereta api yang ditumpanginya. Ia juga harus mencari pelaku bom itu. Bom itu bahkan bukan hanya dibuat untuk diledakkan di kereta, tapi di beberapa tempat lain di Chicago. Dua dunia: dunia di sekitar kastil dan dunia di sekitar kereta. Source Code membawa kita keluar-masuk ke dalamnya. Kalau tidak salah hitung, Colter keluar-masuk dua dunia ini sebanyak enam atau tujuh kali. Enam atau tujuh kali delapan menit. Di sinilah sutradara dengan lihai membangun rasa penasaran pemirsa, dan menyuguhkan adegan-adegan keluar-masuk dua dunia dengan amat proporsional. Menonton film ini serta-merta membuat saya teringat Avatar. Film epik karya James Cameron itu tapi memang jauh lebih berteknologi dengan sentuhan animasi mutakhir. Tapi, kesamaannya, ada dua dunia yang ditawarkan. Di dalam Avatar kita terkesima dengan eksotisme yang ada di Pandora, tempat tinggal para Na'vi. Di sini kita dibawa untuk melihat eksotisme gedung-gedung pencakar langit dan landscape yang ada di sekitar beberapa stasiun kereta api di Chicago. Selain Avatar, saya juga teringat pada Inception. Dua film ini sama-sama bertema besar pikiran manusia. Bila Inception membawa pemirsanya untuk tenggelam lebih jauh dalam mimpi dan imajinasi empat lapis, bahkan limbo (tempat orang yang tersasar karena terjebak dan tak kembali dari mimpinya); Source Code mencoba menawarkan gagasan tentang pikiran manusia yang dimanfaatkan untuk bolak-balik dua dunia. Baik Inception atau Source Code -- juga Avatar -- sama-sama memiliki misi penyelamatan. Namun, ada sesuatu yang membuat saya amat terganjal dalam Source Code. Ini berkaitan dengan perubahan wujud Colter menjadi Sean. Dibandingkan Avatar, misalnya, Source Code memiliki prosedur perubahan wujud karakter yang lebih susah (atau mustahil?) dipahami. Ketika Colter berubah menjadi Sean, otomatis Sean yang asli sudah mati dulu. Tapi, bila Sean sudah mati (dikisahkan ia mati di kereta itu karena pengeboman itu), bagaimana mungkin Christina dan para penumpang lain masih hidup? Atau, anggap saja Sean asli masih ada. Bila ia masih ada, di manakah dia saat Colter diutus untuk berubah menjadi Sean? Saya sempat beranggapan bahwa Sean Fentress yang asli juga di-source code-kan, sehingga momen-momen terakhir saat ia bersama Christina masih ada dalam benaknya menjelang ajal. Dan ketika Colter menjadi Sean di kereta, momen itu tidak hilang. Tapi, nyatanya, ia tidak berada sekastil dengan Colter untuk di-source code-kan. Bingung ya? Saya juga. Begitulah, film ini tidak memberikan penjelasan yang memadai atas hal itu. Penjelasannya hanya lewat adegan saat Colter melihat di cermin toilet kereta. Di sana bayangan wajahnya tidak sama dengan dirinya. Terus terang, walaupun ini kisah fiktif, saya masih terganjal. Sefiktif apa pun sebuah kisah, para pemirsa perlu disodori logika yang tidak berlubang-lubang untuk bisa mencerna sebuah cerita. Dan penjelasan lainnya ada di bagian akhir cerita, saat Source Code bukan hanya berlaku dalam delapan menit -- ketika orang yang di-source code-kan benar-benar mati, maka ia akan hidup selamanya dalam dunia lain. Sebagai ganti penjelasan yang kurang memadai, film ini menghidangkan juga bumbu romantika khas Hollywood: pertemuan beberapa saat yang menghasilkan asmara penuh bunga. Dalam hal ini Inception jauh lebih nendang daripada Source Code. Kisah cinta di Inception tampil manis-getir, lebih logis. Saya bahkan sempat menduga, adegan cinta di dalam Source Code yang diisi kalimat dialog "everything is going to be okay", terkesan berupaya mengalihkan pemirsa atas kepelikan prosedur source code yang gagal ditampilkan memuaskan secara logis. Bahkan menjelang akhir film, overvoice yang memuat suara Colter tentang kecanggihan program source code tampak berupaya menjelaskan apa sebenarnya source code itu. Begitulah, Source Code menyajikan hiburan yang menarik bila ditilik dari cara sutradara mengemas adegan demi adegan bolak-balik dua dunia dan juga bumbu romantika itu. Film ini juga mengangkat kisah yang memilukan tentang hubungan ayah-anak yang kandas karena berbeda pandangan soal perang dan pengabdian bagi negara. Namun, sekali lagi, Source Code masih timpang secara logis. Mungkin, durasi film ini kurang panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H