Januari kelabu diawali oleh gonjang ganjing konflik KPK dan Polri yang belum tau ujung muara yang akan tercipta, kami orang awam hanya bisa menikmati dari sisi pandang media sosial dan media jurnalis yang selalu menampilkan nilai karakter dan pandangan kebenaran dari sisi si yang empunya maksud pemberitaannya. Gonjang ganjing diawali dari rencana Presiden mengajukan nama Komjen BG sebagai calon tunggal Kapolri menggantikan Jendral Polisi Sutarman. Berbarengan dengan itu pun Komisioner KPK Abraham Samad dan Bambang Widjayanto menetapkan Komjen BG sebagai tersangka Gratifikasi dan kejahatan tindak pidana pencucian uang. Apa itu gratifikasi, apa itu pencucian uang, kami masyarakat awam sangat sulit menerimanya. Lepas dari semua kepentingan tersebut kami mencoba meraba-raba apa sih yang diinginkan para petinggi-petinggi di atas tersebut? Sehingga kami mencoba menarik nilai benarkah komisoner KPK bersih? Benarkah Komjen BG brsih? Atau kedua-duanya bagian dari sebuah obsesi yang haus akan kekuasaan sehingga menimbulkan konflik KPK dan Polri jilid kedua ini.
Hal yang menarik lagi, adanya pernyataan PLT Sekjen PDIP Hasto, merilis dan membuat pernyataan spesifik mengarah kepada Komisioner malaikat tak berdosa Abraham Samad. Hal yang unik dan biasa, ada obsesi Abraham Samad untuk menjadi wakil Presiden sah-sah saja karena hak seorang warga negara untuk menjadi apa saja dan meraih cita-citanya dilindungi oleh undang-undang. Namun demikian yang terlihat aneh adalah posisi Abraham Samad sebagai ketua Komisi KPK menjadi kontradiksi dengan gaya komunikasi politik jika dikaitkan dengan undang-undang KPK Pasl 6, Pasal 11 dan pasal 36 ayat 1 No. 30 tahun 2002. Jika dicermati jelas, posisi sang malaikat tak berdosa Abraham Samad ini melanggar pasal tersebut. Sehingga publik dipaksakan untuk menjadi dualisme persepsi benarkah Abraham Samad bersih? Tidak kah ini bagian dari strategi pribadi Abraham Samad meraih cita-citanya dengan memanfaatkan kedudukan sebagai ketua KPK. Kalau publik melihat secara skeptis ini adalah wujud dari besarnya birahi kekuasaan Abraham Samad.
Sungguh aneh seorang praktisi hukum sekelas Abraham Samad yang sudah menduduki jabatan super body mencoba memainkan perannya dalam posisi untuk merealisasikan birahi kekuasaannya ini dengan menanggalkan beberapa konsekuensi dari kedudukannya dari undang-undang no.30 tahun 2002 yang sepantasnya dipahami dan untuk bisa dilanggar sebagai bentuk kompromi politik dan kegiatan penegakkan hukum. Jadi benarlah adanya cerita rumah kaca yang di publikasikan menyagkut hal-hal pribadi dari birahi kekuasaan seorang Abraham Samad. Bumerang telah menimpa dirinya namun tidak disadari mencoba berbalik untuk mencari pembenaran dengan berbalut semangat pemberantasan korupsi untuk mendapat dukungan dari masyarakat Indonesia yang sebenarnya tidak paham mekanisme-mekanisme penegakkan hukum maupun proses politik yang ada. Dengan ketertutupan pemahaman masyarakat Abraham Samad mencoba membuat keran opini terbentuk dengan adanya pihak-pihak yang tidak setuju dengan pemberantasan korupsi, sehingga mengangkat alih opini perang antara koruptor dan KPK. Lepas dari persoalan di atas, sesungguhnya konflik KPK dan Polri adalah konflik perorangan, dan konflik pola penegakkan hukum, bukan konflik antar lembaga. Nah disinilah ada proses generalisasi konflik yang diarahkan pada konflik antar lembaga. Masyarakat awam mudah terprovokasi dan bergurirlah wacana-wacana bola liar terhadap kedudukan Polri maupun kedudukan KPK. Ini akan menyisakan beberapa brunder baik di tubuh organisasi Polri maupaun di tubuh organisasi KPK, yang perlu dicermati seorang Abraham Samad mencoba melaksanakan Masturbasi opini, berharap dengan langkah-langkah dan upaya media merubah pandangan-padnangan masyarakat luas dan mengangkat kehebatan dan kejayaan KPK dibawah kepemimpinan dirinya dan rekan-rekan komisionernya. Begitu besarnya dan dahsyatnya opini publik untuk mendukung semangat pemberantasan korupsi, publik lupa bahwa secara organisasi KPK itu sudah baik, namun secara orang perorangan KPK itu pun bagian dari manusia biasa yang memiliki kesalahan, baik di masa lalau maupun masa sekarang. Kami menyoroti adanya nafsu birahi kekuasaan Abraham Samad untuk menjadi Wapres dengan menggunakan kendaraan penegakkan hukum pemberantasan korupsi berharap publik memberi dukungan dalam mencapai jabatan strategis tersebut. Sekali lagi posisi itu lah yag menjadi blunder jika dikaitkan dengan undang-undang KPK No. 30 tahun 2002 ayat 1.
Blunder ini kemana akan berakhir, benarkah akan bermuara pada suatu ujung keputusan politik atau akan berujung pada sebuah keputusan hukum? Jika kita melihat sesungguhnya konflik ini adalah konflik mekanisme penegakkan hukum yang sebaiknya rakyat juga didewasakan untuk menyelesaikan konflik-konflik penegakkan hukum dengan cara-cara hukum bukan diselesaikan dengan cara-cara penyelesaian politik yang seolah berbalut hukum. Mudah-mudahan Abraham Samad tidak mengalami ejakulasi dini, sehingga berharap keputusan politik yang akan dikeluarkan Presiden Jokowi memenangkan posisi komisoner yang saat ini didera permasalahan sehingga dengan balutan semangat pemberantasan korupsi KPK dimenangkan dalam proses pertarungan konflik jilid 2. Itu harapan dari sang malaikat tak berdosa Abraham Samad, jika kita memang ingin obyektif ya kita juga harus selamatkan Polri, karena sesungguhnya paket Judisial yang bersifat universal adalah unsur kepolisian, jadi menegakkan hukum apapun adalah ranah kepolisian. Mudah-mudahan sebuah keputusan obyektif adil dan bermartabat yang akan dilakukan oleh seorang Presiden Jokowi senantiasa berpatokan kepada semangat kesadaran dan kepatuhan hukum lepas dari dimensi kejahatan korupsi maupun kajahatan-kejahatan lainnya, artinya setiap penyelesaian-penyelesaian yang berkaitan dengan kejahatan selalu menggunakan cara-cara dan mekasnime hukum menurut undang-undang yang ada, sehingga akan mendewasakanrakyat semua menjadi sadar hukum, patuh, dan bersama-sama membangun komitmen bangsa memperbaiki hukum kearah berkeadilan, berperikemanusiaan dan kepastian hukum untuk seluruh warga negara tidak terkecuali mereka-mereka yang menduduki posisi-posisi strategis karena sudah diatur oleh UUD 1945.
Sengaja synopsis ini untuk mengajak masyarakat lebih cermat, lebih cerdas melihat persoalan sehingga tidak membabi buta melakukan pembelaan terhadap orang-perorang yang sesungguhnya kita sendiri tidak pernah tahu, apakah dia bersih atau tidak, apakah dia benar atau tidak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H