"Sing bener bae! Itung maning!"
(Yang bener aja! Itung lagi!)
Supir grabcar yang kami tumpangi Rabu dini hari menirukan cara dia protes saat makan nasi jamblang. Katanya, ia pernah ditagih Rp48 ribu untuk seporsi nasi jamblang dengan aneka lauk.
"Itu karena saya omong pakai Bahasa Indonesia. Langsung saja, saya jawab pakai bahasa Jawa Cirebonan," kata lelaki keturunan China yang lahir dan tinggal di Cirebon itu.Â
Betul saja. Begitu ia ngomel-ngomel dalam bahasa Jawa Cirebonan yang medok, Â tagihannya menjadi Rp18 ribu.
Kejadian itu, kelak, Â juga menimpa saya.
Destinasi wisata kuliner
Cirebon, dalam beberapa tahun terakhir ini, bersolek menjadi destinasi wisata kuliner idaman. Mudah dicapai dengan kereta sekitar 3 jam dari Jakarta, plus kini tersedia layanan taksi online. Oh ya, saat artikel ini dibuat, Uber dan Grab sudah beroperasi sekitar dua bulan. Uber tersedia lebih dulu. Â Jadi, sudah makin mudah lah keliling Cirebon yang panas.
Nah, yang namanya bersolek, kadang ada saja yang keterlaluan touch up sehingga malah tak menyisakan tampilan aslinya. Seperti juga Cirebon dan kulinernya. Apa yang asli, kadang-kadang malah tak lagi terlihat. Harga yang asli, kadang-kadang juga jadi sulit ditemukan. Â
Seperti nasi jamblang.
Makin banyak yang jual nasi jamblang di Cirebon, tapi tak semuanya 'terasa Cirebon'. Sejak nasi jamblang makin terekspos sebagai salah satu kuliner khas Cirebon, harga turis mulai diberlakukan di sejumlah tempat.
Nasi jamblang, pada dasarnya mirip seperti angkringan sego kucing (Yogya) atau heik (Solo) , atau warung tegal. Semuanya diposisikan sebagai makanan rakyat.
Nasi jamblang mirip angkringan atau heik, karena memang ada di pinggir jalan sebagai makanan kaki lima. Kalau makan di ruko gitu kok rasanya kurang pas. Namun Nasi Jamblang mirip warteg, jika dilihat dari sisi varian lauknya.
Nasi Jamblang memang disajikan untuk mereka yang butuh makan. Jadi konsepnya bukan nongkrong berlama-lama, apalagi sambil wifi-an. Konsepnya: datang, pilih lauk, makan, pulang. Ya bisa lah, sembari ngobrol sedikit.
Nah, kalau kamu datang ke penjual nasi jamblang, dan nasinya disimpan di termos nasi, tinggalkan saja. Â Cari yang memang menjual nasi dalam bungkusan daun jati, karena seperti itu lah yang sesungguhnya kamu cari. Harumnya pun beda.
Kemudian, pelengkap nasi yang sudah standar harus ada ialah sambal. Warnanya merah, berupa rajangan cabai yang menggiurkan. Lalu kamu juga wajib memilih sayur tahu sebagai teman nasi, tempe dengan kedelai besar yang digoreng garing, serta perkedel.
Tambahan protein bisa didapat dari tongkol. Ada juga cumi tinta hitam. Paru yang digoreng kering, Â sate kentang, sate telur puyuh, atau sate usus juga bisa dijadikan lauk.
Biasanya, setiap penjual Nasi Jamblang punya lauk yang jadi jagoan. Kalau kamu pergi ke berbagai penjual nasi jamblang, pasti bisa merasakan beda rasa sayur tahunya.
Ala Warga Lokal
Sebagai orang yang pernah menetap di Cirebon selama 10 tahun, saya cukup akrab dengan nasi jamblang. Â Jadi saya biasa melahap lauk pauk khas nasi jamblang saat makan siang, ketika mama tak sempat memasak. (Ia anggota Dharma Wanita yang sibuk dan punya karier main tenis di kompleks, hehehe).
Dulu, penjual nasi jamblang juga menjual marus . Itu haram buat orang Muslim. Karena terbuat dari darah ayam yang dibekukan. Tapi dulu, tahun 80-an, kayanya banyak yang jual. Saya juga sempat kok makan, sekali. Rasanya seperti ati. Tapi itu cuma sekali, dan tak pernah lagi. Gara-gara kemudian saya tahu bahwa marus terbuat dari darah. Ewwh, saya geli banget ama darah.
Nah, atas nama nostalgia- dan karena pada dasarnya saya memang suka makan- maka kami berburu nasi jamblang. Sejak hari pertama liburan di Cirebon, setiap hari kami berburu satu nasi jamblang pinggir jalan.
Di kalangan para turis, Nasi Jamblang Ibu Nur atau Mang Dul mungkin sudah menjadi tujuan wajib. Tapi, jika kamu ingin melengkapi pengalaman itu dengan ambience yang khas dari Cirebon, datanglah ke penjaja nasi jamblang tenda di pinggir jalan.
Umumnya, penjual nasi jamblang yang banyak berjualan di trotoar-trotoar di Cirebon, Â datang langsung dari Desa Jamblang. Desa itu bisa dicapai sekitar satu jam perjalanan menggunakan mobil dari Cirebon.
Hari pertama, perburuan kami bisa dibilang gagal. Total tagihan Rp27 ribu, tapi nasi dari termos disajikan di atas daun jamblang. Lauknya not bad, tapi tempatnya kurang nyaman.
Pada hari kedua, kami menemukan penjual nasi jamblang yang berjualan di Jalan Ciremai Raya pada pagi hari. Ia sudah buka sejak pukul 6 pagi. Tapi hari itu kami agak kesiangan tiba di sana, menjelang jam 8 pagi. Tak lebih dari 20 bungkus nasi yang tersisa.
Lauknya juga tak lengkap lagi. Saat kami datang, seorang ibu memborong delapan potong tempe goreng yang tersisa. "Remukannya juga mau ya," kata dia sambil memasukkan sendiri semua tempe ke dalam plastik.
Bayangin, sampai remukannya, loh, diborong. Tak tersisa remahan kedelai sedikitpun. >_<
Nasi jamblang yang dijual pagi hari biasanya dilahap sebagai sarapan sambil berangkat menuju tempat kerja. Jadi pagi itu, kami sarapan bersama pegawai rumah sakit, tukang becak, dan warga lokal. Kalau cari nasi jamblang pagi-pagi, bisa juga ke pasar.Â
Harga di tempat itu tergolong 'bener'. Kami berdua habis Rp22.000 untuk takaran yang cukup memuaskan, meski tanpa lauk tempe goreng yang digoreng garing.
"Ini asli dari Jamblang," kata si penjual, sambil mulai membereskan dagangannya.
Jamblang  memang nama sebuah desa di Cirebon. Jamblang juga nama buah. Dulu saat masih SD di Cirebon, selalu ada yang menjual buah jamblang di depan sekolah. Warnanya ungu, rasanya asam, biasa ditaburi garam dan dibungkus dengan kertas buku tulis yang tak terpakai lagi, berbentuk kerucut. Tapi waktu itu, kami mengenalnya dengan nama lokal, Duwet. Kalau ga salah, kita bisa beli seharga Rp50-.
Sayangnya, dulu SD saya swasta, dan ga pernah tau bahasa jawa cirebon. Akibatnya, saya cuma bisa kesel ketika dikerjain tukang jamblang pinggir jalan, tak jauh dari gang masuk ke Nasi Jamblang Bu Nur.
Di hari ketiga itu, kami ditodong Rp37 ribu untuk dua porsi nasi jamblang dengan jumlah lauk terbatas. Deuh, jadi ga bisa ngomel seperti supir grabcar yang fasih berbahasa Cirebonan.
Sing sabar, sing ikhlas bae.
Nasi Jamblang Prujakan
Di hari ke empat, saya ketemu juaranya: Nasi Jamblang di Jalan Prujakan.
Letaknya tidak terlalu jauh dari Stasiun Cirebon Prujakan. Ikuti saja jalan satu arah di depan stasiun, sampai mentok, lalu belok kanan, dan langsung belok kanan lagi masuk ke Jalan Prujakan.
Jika kamu sampai di jalan itu sesaat setelah Maghrib, insyaAllah bakal ada terpal plastik biru di sisi kiri jalan. Nasi jamblang ini memang tak punya merek apa-apa. Penandanya hanya terpal plastik dan biasanya ramai pembeli. Yang makan di sana, beragam. Mulai dari mandor dan  kernet truk, tukang becak, serta warga sekitar.
Penjualnya, dua lelaki yang tak banyak bicara. Yang satu meladeni makanan, dan cekatan menghitung apa yang kita beli (tanpa kalkulator). Yang satunya lagi sigap mengisi gelas-gelas dengan air teh tawar hangat.
Nasi yang berukuran kecil --habis dalam 4 kali suapan- dibungkus daun jati. Lelaki itu akan membuka bungkusan, meletakkannya di atas piring. Biasanya pembeli meminta dua atau tiga bungkus sekaligus, untuk sekalian dilahap bersama lauk pauk.
Malam itu kami datang bertiga. Saya, bersama yang lainnya, makan dalam diam. Tak ada yang sibuk selfie. Semuanya fokus dengan piring beralas daun jati, sesekali mengobrol pelan.
Saya khusyuk mengunyah, dan merasakan pedas yang padu dengan sayur tahu. Sekaligus menyuapi si bocah yang tumben-tumbenan mau nongkrong di pinggir jalan buat makan nasi jamblang.
Malam itu pertama kalinya si bocah mau nyoba. Sebelumnya ia kesal betul kalau diajak makan Nasi Jamblang. Malam itu, pertama kali ia melahap habis nasi dan lauk yang ia pilih sendiri: dua perkedel, sate telur puyuh, dan usus ayam digoreng garing.
Dari empat yang sudah dicoba, ini  sungguh-sungguh yang terbaik.Â
Meski berjualan di trotoar, tempatnya terang dan resik. Meski kamu bicara dalam Bahasa Indonesia (dan bukan bahasa Jawa Cirebonan) harganya tetap harga lokal. Kami makan bertiga, dalam takaran kenyang dan puas, hanya Rp27 ribu saja.
Wih. Saking senangnya, sesaat setelah selesai makan, saya berdoa agar dua penjual itu selalu sehat dan kuat untuk terus berjualan. Iya, saya sampai segitunya. Coba, bayangkan berapa kali kita ingat mendoakan penjual makanan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H