Mohon tunggu...
Siberson
Siberson Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Guntur Siberson - Mahasiswa - Tertarik dengan media serta isu-isu lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lima Gender Kultural Indonesia yang Tersisihkan, Apa Saja?

7 Januari 2022   23:17 Diperbarui: 8 Januari 2022   00:13 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Indonesia adalah negara yang memiliki beragam kebudayaan dan etnis yang memiliki keistimewaannya tersendiri . Bahkan sebenarnya secara budaya,Indonesia memiliki berbagai tradisi dan sejarah yang memperkenalkan keberadaan gender atau jenis kelamin selain perempuan dan laki-laki. 

Dalam lingkungan masyarakat di Indonesia secara umum, pembagian gender yang diakui adalah perempuan dan laki-laki. Hal ini berbeda dengan pembagian gender di lingkungan etnis Bugis

Menurut Davies (2017) pada bukunya menjelaskan, bahwa gender dalam masyarakat Bugis yang diakui ada lima macam, yaitu oroane adalah laki-laki, makkunrai adalah perempuan, calalai adalah perempuan yang berpenampilan seperti laki-laki, calabai adalah laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan dan yang terakhir yaitu kelompok Bissu. 

Bissu adalah golongan yang tidak memiliki gender, ia bukan laki-laki, bukan perempuan, bukan penyuka sesama jenis dan bukan juga banci. Penampilan Bissu sangat istimewa, karena ia berpakaian tidak seperti perempuan dan tidak seperti laki-laki. Bissu mengenakan pakaian khusus, yang hanya dikenakan oleh Bissu.

Graham C. Lincoln mendefinisi kelompok minoritas sebagai kelompok yang dianggap oleh elit-elit sebagai berbeda dan/atau inferior atas dasar karakteristik tertentu dan sebagai konsekuensi diperlakukan secara negatif. 

Yap Thiam Hien mengatakan, minoritas tidak ditentukan jumlah, tapi perlakuan yang menentukan status minoritas. Menurutnya suatu jumlah besar bisa mempunyai status minoritas seperti halnya rakyat Indonesia di zaman kolonial, dimana sejumlah kecil orang Belanda mempunyai kedudukan ‘dominan’ grup. 

Dari kacamata sosiologi, yang dimaksudkan dengan minoritas adalah kelompok-kelompok yang paling tidak memenuhi tiga gambaran berikut: anggotanya sangat tidak diuntungkan, sebagai akibat dari tindakan diskriminasi orang lain terhadap mereka; anggotanya memiliki solidaritas kelompok dengan “rasa kepemilikan bersama”, dan mereka memandang dirinya sebagai “yang lain” sama sekali dari kelompok mayoritas; biasanya secara fisik dan sosial terisolasi dari komunitas yang lebih besar.

Masyarakat Indonesia terdahulu sebelum adanya ideologi-ideologi asing alias para pendatang menggerogoti budaya-budaya yang begitu kaya di Indonesia yang sangat kental dengan Transgenderisme seperti etnis Bugis dimana diakui lima gender mulai dari Bissu yang bahkan dianggap sebagai Pendeta di Tatanan masyarakat disana dan begitu dihormatinya Waria dan diberi kedudukan yang sangat mulia di lingkungan masyarakat. 

Suku bangsa Bugis yang merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia memiliki banyak kekhasan dan keistimewaan yang tentunya tidak dimiliki oleh suku bangsa lainnya yang sedang berlangsung  saat ini, yaitu keberadaan Bissu. Sekelompok orang yang memiliki hubungan dengan dunia mistik. 

Peran Bissu  dalam masyarakat Bugis sangat penting dan mereka memiliki status yang tinggi. Menurut (Trianto, 2003) dalam bukunya, tugas dan peran Bissu dalam setiap upacara adat Bugis adalah sebagai manusia sakti atau pendeta adat. Ideologi gender dominan seperti di indonesia hanya memahami bahwa seks atau jenis kelamin dapat dibagi menjadi dua, yaitu laki-laki dan perempuan .Gender merupakan sesuatu yang bersifat konstruktif, atau disepakati secara sosial dan kultural. Akibatnya sifatnya menjadi relatif dan berubah. 

Feminitas dan maskulinitas adalah kategori gender. Keduanya merupakan sifat yang kemudian dilekatkan secara kultural dan sosial pada jenis kelamin tertentu. Kultur kita menyepakati secara turun temurun bahwa laki-laki memiliki sifat maskulin, sementara perempuan memiliki sifat feminin. Sekali ini, ini bukan sesuatu yang alamiah, namun dikonstruksi secara kultural sehingga sifatnya relatif dan berubah-ubah.

Sifat maskulin identik dengan kekerasan, kekuatan, agresivitas, dominan, dan superior. Sebaliknya, sifat feminin adalah yang terkait dengan kelembutan, penyayang, kelemahan, submisif dan inferior. Konstruksi sosial kultural yang diyakini selama ini adalah sifat maskulin identik dengan laki-laki, sementara feminin dilekatkan pada perempuan. Jadi jika seorang laki-laki adalah pemimpin, kuat, tegas, dan pencari nafkah adalah sesuatu yang sifatnya kultural, bukan biologis. Sama halnya pemahaman bahwa perempuan itu lemah-lembut, penuh kasih sayang, pengasuh anak, dan mengurus rumah tangga. 

Akibat konstruksi tersebut adalah ketika ada laki-laki yang bersifat feminin atau perempuan yang bersifat maskulin, maka akan dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dan tidak normal. Berbagai stigma akan dilekatkan pada individu individu yang mengingkari konstruksi tersebut. Istilah “banci” dilekatkan pada laki laki yang feminin, atau “tomboy” untuk perempuan yang maskulin. 

Perempuan maskulin, walaupun dianggap sebagai penyimpangan, masih lebih diterima dalam masyarakat daripada laki-laki yang feminin. Mengapa? Masyarakat kita adalah masyarakat yang patriarkis (mengunggulkan laki-laki). Dalam dunia yang meyakini ideologi patriarki, menganggap laki-laki sebagai sosok yang istimewa sementara femininitas dianggap menodai keistimewaan tersebut. Maka laki-laki feminin dibenci karena telah menodai keunggulan laki-laki. 

Sementara perempuan yang maskulin lebih diterima, karena sifat maskulin tersebut, identik dengan laki-laki yang memang sudah memiliki hak istimewa tersebut. Seksualitas mengandung aspek yang sangat kompleks di dalamnya. Konsep ini merupakan aspek kehidupan yang menyeluruh yang mencakup seks, gender, orientasi seksual, erotisme, kesenangan, keintiman dan reproduksi.

 Seksualitas dialami dan diekspresikan dalam pikiran, hasrat, fantasi, kepercayaan, nilai-nilai, tingkah laku, kebiasaan, peran dan relasi. Terkait dengan persoalan seksualitas ada konsep-konsep penting yang perlu juga dipahami oleh peserta, yaitu identitas seksual dan orientasi seksual. Identitas seksual adalah bagaimana seseorang mengidentifikasi dirinya berkaitan dengan orientasi/perilaku seksual mereka. Identitas seksual merujuk pada orientasi seksual. Orientasi seksual adalah kepada jenis kelamin yang mana seseorang itu tertarik. 

Ada beberapa orientasi seksual, seperti heteroseksual, homoseksual, biseksual, panseksual, dan aseksual. Dalam kultur patriarki, orientasi seksual yang bisa diterima hanyalah heteroseksual. Sementara orientasi-orientasi lainnya tidak diterima dan dianggap menyimpang. Berbagai stigma dilekatkan pada orang-orang non heteroseksual. Mulai dari dianggap berdosa, penyakit, sampah masyarakat dan sebagainya. 

Bugis tradisional memandang Bissu sebagai kombinasi dari semua jenis gender ini, selama mereka menjalankan fungsi dan perannya  dalam masyarakat dengan baik. Orang sering salah paham tentang jenis kelamin yang dikenakan Bissu, yang disamakan dengan calabai. Orang Bugis sangat menghormati Bissu dengan memandang status mereka, walaupun gender mereka tidak sesuai dengan gender yang umum  di masyarakat. 

Hal ini berbeda dengan pandangan masyarakat di luar komunitas banci dan lesbian Bugis. Waria dan lesbian selalu diolok-olok dan diejek oleh masyarakat karena  dianggap tidak normal dan bertentangan dengan norma agama. Sebagai kelompok yang tidak memasuki gender Oroane dan Makkunrai, Bissu memiliki kebebasan untuk berpartisipasi dalam jenis kelamin manapun (Syamsuddin, 2010). Masyarakat Bugis memberikan penghormatan yang tinggi kepada Bissu bukan pada aspek gendernya, tetapi pada peran sosialnya sebagai pelestari tradisi budaya Bugis .

Kehidupan Bissu  semakin suram seiring munculnya gerakan kelompok DI/TII di Sulawesi Selatan pada 1950-an yang berusaha menyucikan ajaran Islam. Kelompok DI/TII memandang aktivitas Bissu  saat itu  sebagai minoritas yang melanggar aturan agama Islam dan mereka dinyatakan sebagai seorang musyrik. 

Kelompok DI/TII berusaha keras untuk melarang kegiatan para bissu dan menghancurkan peralatan upacara  para bissu. Bahkan banyak Bissu yang dibunuh karena melanggar fitrah manusia (laki-laki dan perempuan) dan tidak mau bertaubat, hal ini adalah masa  kelam bagi kehidupan Bissu sebagai minoritas di Indonesia pada saat itu (Latif, 2004). 

Pesatnya perkembangan Islam di Sulawesi Selatan  juga mengubah aktivitas Bissu. Umat Islam di Sulawesi Selatan melihat Bissu sebagai orang yang melanggar kodratnya dan  dianggap kafir. Bahkan tradisi Bissu dianggap musyrik. Para Bissu terpaksa menyesuaikan diri dengan kondisi umat beragama di Sulawesi Selatan. Banyak Bissu yang telah menerapkan hukum Islam dengan lebih kuat dan bahkan banyak  yang pergi haji untuk menunjukkan ketaatannya kepada Islam, para Bissu mengubah penampilannya, yaitu mengenakan pakaian  Islami seperti gamis putih dengan sorban, sebagaimana para ulama atau pakaian haji (Syahrul, 2013). 

Perjalanan sejarah yang panjang, yang telah dilalui Bissu, menunjukkan bagaimana posisi Bissu sebagai minoritas yang hanya ada di etnis Bugis tidak bisa diterima dan ditentang oleh rezim pemerintahan pada saat itu. 

Davies, Sharyn Graham. 2017. Keberagaman Gender di Indonesia . Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Latief, H. 2005. Kepercayaan Asli Bugis di Sulawesi Selatan, Sebuah Kajian Antropologi Budaya, Makassar: Universitas Hasanuddin Press.

Syamsuddin. 2010. Studi Fenomenologi Dinamika Psikologi Peran Gender Bissu, Tesis: Fakultas Psikologi UGM.

Syahrul. 2013. Menjadi Muslim Yang Animis; Telaah Identitas Bissu Segeri Di Kabupaten Pangkep, dalam Al-Fikr Volume 17 Nomor 3 Tahun 2013 . 

Trianto, Medi. 2003. Di Sini Ia Terhormat dalam http ://wap. Indosiar. com, diakses 3 januari 2022).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun