Sifat maskulin identik dengan kekerasan, kekuatan, agresivitas, dominan, dan superior. Sebaliknya, sifat feminin adalah yang terkait dengan kelembutan, penyayang, kelemahan, submisif dan inferior. Konstruksi sosial kultural yang diyakini selama ini adalah sifat maskulin identik dengan laki-laki, sementara feminin dilekatkan pada perempuan. Jadi jika seorang laki-laki adalah pemimpin, kuat, tegas, dan pencari nafkah adalah sesuatu yang sifatnya kultural, bukan biologis. Sama halnya pemahaman bahwa perempuan itu lemah-lembut, penuh kasih sayang, pengasuh anak, dan mengurus rumah tangga.
Akibat konstruksi tersebut adalah ketika ada laki-laki yang bersifat feminin atau perempuan yang bersifat maskulin, maka akan dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dan tidak normal. Berbagai stigma akan dilekatkan pada individu individu yang mengingkari konstruksi tersebut. Istilah “banci” dilekatkan pada laki laki yang feminin, atau “tomboy” untuk perempuan yang maskulin.
Perempuan maskulin, walaupun dianggap sebagai penyimpangan, masih lebih diterima dalam masyarakat daripada laki-laki yang feminin. Mengapa? Masyarakat kita adalah masyarakat yang patriarkis (mengunggulkan laki-laki). Dalam dunia yang meyakini ideologi patriarki, menganggap laki-laki sebagai sosok yang istimewa sementara femininitas dianggap menodai keistimewaan tersebut. Maka laki-laki feminin dibenci karena telah menodai keunggulan laki-laki.
Sementara perempuan yang maskulin lebih diterima, karena sifat maskulin tersebut, identik dengan laki-laki yang memang sudah memiliki hak istimewa tersebut. Seksualitas mengandung aspek yang sangat kompleks di dalamnya. Konsep ini merupakan aspek kehidupan yang menyeluruh yang mencakup seks, gender, orientasi seksual, erotisme, kesenangan, keintiman dan reproduksi.
Seksualitas dialami dan diekspresikan dalam pikiran, hasrat, fantasi, kepercayaan, nilai-nilai, tingkah laku, kebiasaan, peran dan relasi. Terkait dengan persoalan seksualitas ada konsep-konsep penting yang perlu juga dipahami oleh peserta, yaitu identitas seksual dan orientasi seksual. Identitas seksual adalah bagaimana seseorang mengidentifikasi dirinya berkaitan dengan orientasi/perilaku seksual mereka. Identitas seksual merujuk pada orientasi seksual. Orientasi seksual adalah kepada jenis kelamin yang mana seseorang itu tertarik.
Ada beberapa orientasi seksual, seperti heteroseksual, homoseksual, biseksual, panseksual, dan aseksual. Dalam kultur patriarki, orientasi seksual yang bisa diterima hanyalah heteroseksual. Sementara orientasi-orientasi lainnya tidak diterima dan dianggap menyimpang. Berbagai stigma dilekatkan pada orang-orang non heteroseksual. Mulai dari dianggap berdosa, penyakit, sampah masyarakat dan sebagainya.
Bugis tradisional memandang Bissu sebagai kombinasi dari semua jenis gender ini, selama mereka menjalankan fungsi dan perannya dalam masyarakat dengan baik. Orang sering salah paham tentang jenis kelamin yang dikenakan Bissu, yang disamakan dengan calabai. Orang Bugis sangat menghormati Bissu dengan memandang status mereka, walaupun gender mereka tidak sesuai dengan gender yang umum di masyarakat.
Hal ini berbeda dengan pandangan masyarakat di luar komunitas banci dan lesbian Bugis. Waria dan lesbian selalu diolok-olok dan diejek oleh masyarakat karena dianggap tidak normal dan bertentangan dengan norma agama. Sebagai kelompok yang tidak memasuki gender Oroane dan Makkunrai, Bissu memiliki kebebasan untuk berpartisipasi dalam jenis kelamin manapun (Syamsuddin, 2010). Masyarakat Bugis memberikan penghormatan yang tinggi kepada Bissu bukan pada aspek gendernya, tetapi pada peran sosialnya sebagai pelestari tradisi budaya Bugis .
Kehidupan Bissu semakin suram seiring munculnya gerakan kelompok DI/TII di Sulawesi Selatan pada 1950-an yang berusaha menyucikan ajaran Islam. Kelompok DI/TII memandang aktivitas Bissu saat itu sebagai minoritas yang melanggar aturan agama Islam dan mereka dinyatakan sebagai seorang musyrik.
Kelompok DI/TII berusaha keras untuk melarang kegiatan para bissu dan menghancurkan peralatan upacara para bissu. Bahkan banyak Bissu yang dibunuh karena melanggar fitrah manusia (laki-laki dan perempuan) dan tidak mau bertaubat, hal ini adalah masa kelam bagi kehidupan Bissu sebagai minoritas di Indonesia pada saat itu (Latif, 2004).
Pesatnya perkembangan Islam di Sulawesi Selatan juga mengubah aktivitas Bissu. Umat Islam di Sulawesi Selatan melihat Bissu sebagai orang yang melanggar kodratnya dan dianggap kafir. Bahkan tradisi Bissu dianggap musyrik. Para Bissu terpaksa menyesuaikan diri dengan kondisi umat beragama di Sulawesi Selatan. Banyak Bissu yang telah menerapkan hukum Islam dengan lebih kuat dan bahkan banyak yang pergi haji untuk menunjukkan ketaatannya kepada Islam, para Bissu mengubah penampilannya, yaitu mengenakan pakaian Islami seperti gamis putih dengan sorban, sebagaimana para ulama atau pakaian haji (Syahrul, 2013).