Mohon tunggu...
SiBengalLiar
SiBengalLiar Mohon Tunggu... Novelis - "Time heals, I believe it's a matter of time for Allah to grand you one miracle.." - Hanum Rais-

"Rencana Allah lebih indah daripada rencanaku.."

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Media Seni dan Jurnalisme Empati ^_^

2 Mei 2011   06:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:10 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_104653" align="aligncenter" width="432" caption="media seni, bagian dari jurnalisme"][/caption]

Orang jenius melihat apa yang dilihat setiap orang, dan berpikir apa yang tidak dipikirkan orang lain -Albert Sent, Gyorgi. Penemu Vitamin C-

"Cara terbaik untuk memiliki gagasan yang baik adalah dengan memiliki banyak gagasan". Itu benar.

Media seni. Ada film, musik, sastra, panggung drama, tarian, dan masih banyak lagi. Semuanya itu adalah media seni. Sebuah tempat untuk menyalurkan aliran seni yang bersumber dari sebuah jiwa, pikiran, ide, dan hasil dari pencerapan kehidupan. Seni adalah media menggambarkan ketajaman dari representasi hidup.

Dari segala jenis media seni yang paling populer adalah media seni dengan film. Selain rekayasa visual (pengelihatan), sound (pendengaran), feel (merasakan), dan makna berupa estetika film itu sendiri.  Film benar-benar mengadaptasi lingkungan tentang sebuah kehidupan.

Walaupun banyak film yang dibuat dengan imajinasi. Film sumbernya tetaplah dari kehidupan paling dekat dengan kita, karena sebuah imajinasi terbentuk dari apa yang kita rasakan kemudian dicerap lalu digambarkan melalui film yang sudah diberi bumbu sana-sini.

Namun, semakin bergesernya pemikiran-pemikiran orang-orang yang bekerja di "seni kreatif" bisa mempengaruhi media jurnalisme.

Media seni film, kadang suka tak berbanding lurus dengan kehidupan kita. Suka kebablasan menampilkan film-film yang tak mendidik bagi publik. Film-film yang seperti ini membuat banyak sekali hal-hal negatif yang berdampak buruk bagi jiwa-jiwa yang menontonnya. Terutama jiwa-jiwa labil dan masih 'tolol'. Mereka belum bisa mencerap mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang harus diserap dan bagian mana yang harus dibiarkan.

Dengan perkataan lain. Film adalah sebuah media seni yang menguntungkan bagi jurnalisme. Ya, benang merahnya adalah "Bukankah seorang jurnalisme adalah bagian dari publik juga?!"

Alasan yang begitu sederhana mengapa film sangat mempengaruhi jiwa-jiwa publik yang menontonnya. Karena media seni ini dikemas secara lengkap. Seluruh panca indra penonton diikutsertakan. Mulai dari mata yang memvisualisasikan gambar, pendengaran yang mengirim sinyal ke otak untuk merasakan feeling atau sebuah perasaan utuh tentang sebuah film yang sedang ditonton.

Selain dari unsur komersialisme, film berperan penting bagi jiwa-jiwa penontonnya. Jika filmnya berbobot, contohnya saja seperti film "Laskar Pelangi" yang pada saat itu banyak sekali menginspirasi dari sudut pandang pendidikan kita, Indonesia terutama pendidikan di wilayah-wilayah yang cukup terpencil dari Ibu Kota. Bahwa pendidikan itu sangat penting dan patut diperjuangkan.

Di lain sisi ketika kehadiran film yang diangkat dari kisah nyata ini mencuat ke permukaan, melambung bak 'artis' muda yang cantik dan anggun ada sebagian pihak yang 'tertampar' secara diam-diam. Itulah film.

Semakin bagus rating sebuah film, semakin banyak penonton film itu sendiri. Dan dunia jurnalisme pun ikut 'meramaikan' media ini. Ini media seni yang tak terpisahkan oleh dunia jurnalisme.

Karena pola pikir yang berubah dari hasil pengamatan film mampu membuat jurnalis menuliskan kata-kata tentang apa yang dicerapnya. Intinya begini, tidak ada salahnya menikmati seni yang memberikan hiburan atau sedikit memberikan pemahaman tentang kehidupan.

Yang kurang tepat adalah menonton seni yang negatif. Selain dari "Laskar Pelangi", masih ada banyak film-film yang mendidik seperti "Naga Bonar" yang isinya tentang rasa nasionalisme terhadap bangsa. Tak usahlah memberikan film-film 'hantu-hantuan konyol' yang pornoaksi itu.

Alangkah baiknya jika orang-orang yang bekerja di media seni memberikan 'hasil karya seni' yang berkualitas. Tentunya, imbas ini akan menjadikan jiwa-jiwa publik tak 'semponyongan' dalam nafsu yang dikemas sedemikian rupa itu.

Sebagai bagian dari publik, dunia jurnalisme pun berempati dalam media-media seni seperti ini. Karena kita tahu, jurnalisme diibaratkan "orang dewasa" yang mampu mengambil sisi-sisi terbaik dari media ini.

With Love,

SiBengalLiar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun