Aku (tak pernah bisa) membayangkan jikalau diriku di usia itu, 50 tahun, ternyata masih suka melihat dan memikirkan hal-hal yang mengasyikan, yang mendorong syahwat akan kecintaan pada dunia. Bayangkan (tak sanggup kubayangkan), kala diriku masih tertawa-tawa, berjingkrak-jingkrak ria, bernyanyi bersuara berteriak lantang tanpa ada rasa risih. Padahal usiaku ketika sudah 50, 51, 52 atau 60.Â
Oohh...! Betapa percaya dirinya aku. Seolah hidupku akan aman-aman saja. Maksudku, seolah-olah matiku akan aman-aman saja.Â
Di kala itu, di masa usia itu, aku masih begitu yakin mencerca, mencela, menuding orang lain bersalah, padahal tak ada bedanya diriku dengannya, sama-sama banyak salah. Kata-kata nista masih terucap dari mulutku bermaksud menjelekan  kejelekan orang lain. JIka demikian, tidakkah sama jeleknya aku dengan mereka yang berkata-kata jelek?. Uuhh!.
Sama sepeti mereka yang ku cela, aku masih suka ber-selfi ria. Berharap puji dan puja. Pamer ini pamer itu. Tak (ada rasa) malu.Iiihh!.
Iri, dengki, masih menyelimuti jiwaku. Hasrat meraih prestasi dan kekayaan masih terasa menggebuh-gebuh. Â Masih memimpikan popularitas tanpa batas.
Jikalau demikian gambaran akhir kesibukan hidupku, bagaimana mungkin aku akan bisa berhasil mati dengan baik???
Adakah aku berharap pada ketika usia 60, 70, 80, lalu diriku tiba-tiba akan berubah menjadi baik???
Tidak. Menjadi baik itu tak cukup hanya dengan niat baik, kesadaran baik dan pengetahuan baik, tapi yang lebih penting adalah membangun kebiasaan baik.Â
Kebiasaan baik yang perlu dibiasakan. Dan... itu perlu waktu, perlu melalui perjalanan panjang. Lalu kemudian akan jadilah ia sebagai kebiasaan.Â
Maka, usia 50 tahun, itulah masanya, kesempatan terakhir buatmu untuk menjadi baik. Setelahnya, tak ada lagi waktu. Jika masih saja kau abaikankan, maka "Aaduuh! celakalah diriku!".
Ya, hari ini, usiamu 49, 9 tahun. Â Tinggal sehembusan angin, terbukalah pintu 50 itu.