Pada Syarat dan Ketentuan Kompasiana berkenaan dengan Ketentuan Konten butir  12 hurup (d) disebutkan bahwa Kompasianer memahami dan setuju untuk tidak menggunakan, menempatkan, mengunduh, menautkan, melekatkan dan atau menayangkan Konten yang:  Menghina, menyinggung, melecehkan, merendahkan, mengintimidasi memicu pertentangan dan/atau permusuhan individu atau kelompok berdasarkan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA), jenis kelamin, orientasi seksual, usia, atau cacat fisik.
Kaidah memicu pertentangan dan/atau permusuhan ini berlaku pula bila kita dalam tulisan di Kompasiana ini memuat pernyataan, entah disamarkan dalam bentuk ide-ide yang mem-provokasi atau pun kesimpulan-kesimpulan yang nyata-nyata hendak merendahkan pemilih Jokowi yang dikenal dengan cebong, ataupun kampret buat pendukung Prabowo, bahkan pula terhadap mereka yang  golput sekali pun. Semuanya, semua kelompok, semua golongan, tak boleh dihina, disinggung (perasaannya), direndahkan yang pada hakikatnya sengaja mempertentangkan dan membangkitkan kebencian  yang dapat menimbulkan permusuhan antar golongan, antar anak negeri yang saat ini terpolarisasi menjadi blok-blok tertentu.
In casu, Blok Jokowi dan Blok Prabowo (dengan mengabaikan Blok Golput).Â
Bayangkan, Indonesia akan terbelah menjadi dua kekuatan besar yang tak bisa diremehkan. Katakanlah 110 juta (55%) ngikut Jokowi, 90 juta (45%) ngikut Prabowo dengan asumsi 200 juta penduduk Indonesia. Artinya pula, 90 juta atau  lebih rakyat yang tak suka dengan mereka yang berkuasa saat ini. Meresahkan bukan?  Apa sanggup memenjarakan sebanyak itu manusia? Atau katakanlah misalnya hendak mengusir mereka yang 90 juta tadi untuk pindah dari tanah nenek moyangnya tempat tinggalnya sekarang ini menuju ke satu pulau lain yang terpencil? Apa muat? Coba dipikir lagi deh.
Belum lagi, jika mereka melakukan 'perlawanan'. Bhuaahh! Â Habislah kita semua! Tamatlah NKRI ini, cuma gara-gara demi terpuaskannya syahwat pribadi kita sebagai penulis.
Bicara soal hukum, bahwa dalam praktek hukum, unsur golongan dalam pasal pidana tertentu berkenaan dengan penghinaan dan/atau ujaran kebencian terhadap golongan ini telah mengalami perluasan makna. Seperti diketahui, seorang Presiden Republik Cinta seperti Ahmad Dhani pun yang kemarin menyerang kelompok lain yang secara formal  tidak jelas golongan mana, nyatanya bisa juga ia-nya dijerat pidana.
Begitulah praktek hukum yang terjadi saat ini. Terlepas dari soal bagaimana hukum dan keadilan itu sebenarnya bila ditinjau dari landasan teori atau doktrin-doktrin ilmu hukum. Maka, untuk selanjutnya, berhati-hatilah dalam mengolah kata.
Tak perlu berpanjang lebar saya menceramahi sesama penulis di sini, tak hendak pula saya untuk bersusah payah mengajarkan mata kuliah hukum, tapi intinya, berhentilah menyakiti hati sesama saudaramu di sini. Janganlah mengolok-olok orang lain. Tak hukum negara, hukum agama juga tidak membolehkan. Ingatlah.Â
Boleh jadi, orang yang kamu olok-olok itu lebih mulia dari mu. Sadarlah.
*Cukup dalam pikiran kita saja ada kebencian. Pun terpaksa hanya sampai di hati. Jangan sampai tercetus di lidah atau di tulisan berupa olok-olok yang merendahkan. Perbedaan paham dan keyakinan tak bisa dipungkiri. Jangan dipaksa sama seperti diri. Olok-olok tak lah bisa menyelesaikan persoalan bahkan dapat menimbulkan masalah baru. Sampaikanlah ketidaksetujuan kita dengan cara yang bermartabat, demi martabat diri dan martabat orang lain.#yaibaelah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H