Mohon tunggu...
Yai Baelah
Yai Baelah Mohon Tunggu... Pengacara - (Advokat Sibawaihi)

Sang Pendosa berkata; "Saat terbaik dalam hidup ini bukanlah ketika kita berhasil hidup dengan baik, tapi saat terbaik adalah ketika kita berhasil mati dengan baik"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bermain Kucing-kucingan dengan Editor, Tentang Syarat dan Ketentuan Kompasiana

20 April 2019   10:46 Diperbarui: 21 April 2019   06:36 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin teman-teman kompasianer di sini ada yang pernah mengalami 'konflik'  dengan tim mediator/editor Kompasiana?.  Saya yakin ada, boleh jadi banyak. Seperti yang barusan 2 hari lalu dialami sohib Arkasya Platikova. Bahkan pula, tak urung saya, Yai Baelah, pernah mengalami hal serupa itu. 

Contoh kasus misalnya, tiba-tiba gambar ilustrasi kita dihapusnya begitu saja oleh pihak mediator, diiringi dengan notifikasi dari Kompasiana yang kira-kira bunyinya "kami telah menghapus anu anda karena telah melanggar ini  dan bla bla bla". 

 Hhahh!  Serasa berdegup jantung kita. Sejuta rasa. Sedikit malu besar marahnya, kesal, kecewa, khawatir bercampur aduk yang pada intinya "tak enak hati". 

Pula misalnya, judul tulisan kita, yang sudah dirancang sedemikian rupa, dengan segala pertimbangan lahir batin, tapi tiba-tiba 'diobrak-abrik' orang lain yang entah siapa.  Terjadi perlakuan tak mengenakkan pada tulisan kita,  judul kita itu diubahnya, di bolak balik kalimatnya, seperti "Berhenti Berdebat?, Kapankah Saatnya?". Lalu beberapa saat kemudian... tiba-tiba kita menjadi terperangah. Tak lama setelah diunggah, lantas berubah menjadi "Kapankah Saatnya Berhenti Berdebat?". 

Memang, contoh tajuk  yang mengalami pergeseran kata tadi tampaknya tak terlalu berpengaruh, mengesankan makna yang tak berbeda. 

Benarkah?

Sepertinya, peristiwa bolak balik kata itu tadi cuma persoalan sederhana.  Tapi, kadang ada yang boleh jadi  "tak mampu diselami"  orang lain selain sang penulis itu sendiri, bahwa "teks judul tertentu" akan mengandung "nilai rasa tertentu" yang akan memberikan "dorongan tertentu" terhadap "kualitas pikir/pemahaman tertentu"" pada  diri pembaca,  sejalan dengan  misi dan visi serta orientasi (titik berat pandangan)  yang sengaja diarahkan dan yang dikehendaki (diharapkan) si penulis dengan pemberian 'aksesoris' sedemikian rupa pada judulnya tadi. 

Bahwa pastinya, ada target atau pencapaian  sisi psikologis  tertentu yang hendak ditanamkan oleh penulis kepada pembaca yang membaca tulisannya itu. 

Faktor psikologis yang dimaksudkan penulis tadi yakni agar pesannya dapat "ditangkap" dengan "sempurna" lalu dirasakan baik serta kemudian "diolah pikir" oleh pembaca tadi sesuai tendensi yang diharapkan atau yang disengaja diarahkan oleh sang penulis.

"Membuat judul yang tendensius tak mengapa, asal jangan mengandung fitnah"

Terus, ada lagi hal yang "lebih sepeleh", tampaknya sepeleh, misal dalam penggunaan tanda baca seperti titik (.)  atau koma (,)  atau titik koma (;) atau titik dua (:).  Pilihan penggunaan tanda baca ini kadang disengaja oleh penulis, dengan maksud "penekanan" kepada judul agar maknanya dapat ditelaah atau dicerna oleh pembaca  sesuai dengan yang hendak diarahkan oleh penulis. Ketika "tanda baca" ini diubah-ubah oleh orang lain, maka tentu saja sang penulis akan kecewa. Mengapa?  satu titik atau koma memiliki sejuta makna bagi seorang penulis!.

Baru-baru ini ada teman mengalami kejadian tak dinyana, di mana pada judul tulisannya (artikel)  tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat, jauh dari maksud teks judul semula. 

Begitulah, duka duka yang boleh jadi dialami banyak penulis di sini. 2 atau 3, entah berapa. Pastinya, Kalo lebih dari 1 (satu) itu namanya yaaa banyak. Hehehe

Yaaa... suka-sukanya juga banyak. Tak dapat dipungkiri soal itu.  Nanti saja saya ceritakan. Intinya, terlepas dari semua 'drama menegangkan' tadi, kita juga layak berterimakasih pada Kompasiana, (disamping juga ada marah tadi, wk.wk.wk). 

Lalu bagaimana cerita selanjutnya soal kejadian di "obrak-abrik" tadi?

Yaaa..... begitulah..... kendati dengan bersungut-sungut, namun kita di sini sebagai penulis hanyalah bisa pasrah. Yaa, pasrah, namun tak rela. 

Begitu tahu teks kita seketika "berubah", maka bagi kompasianer yang 'nakal', akan secepat itu pula berusaha "mengembalikan ruh judul tadi pada fitrahnya" .  Bhuuaahh!

sumber: boombastis.com
sumber: boombastis.com

Lalu? Bagaimana kalau nanti berubah lagi?. Ada seseorang yang merubahnya lagi? 

Maka....  yaaa... dibalikin lagi deh oleh sang penulis.  

Begitulah. Bolak-balik.  Jadinya seperti kucing-kucingan. (Hik.. hik.. hik....).  Tapi semoga ini jangan sampai terjadi (lagi) deh. Huk huk huk....

Memang, sesuai Syarat dan Ketentuan Kompasiana, tim mediator/editor berhak merubah, eehh merubah atau mengubah yaaa?? (ihik..ihik..ihik...)

Pokoknya begini, tegasnya, pihak kompasiana itu, dapat saja meng-edit. Naahhh... ini baru enak dengarnya... "meng-edit"!. Yaaa, mereka bisa mengedit tulisan kita, kapan saja. Tanpa perlu mengkomunikasikan atau mendiskusikannya terlebih dahulu dengan sang pemilik tulisan. Begitulah ketentuannya.

Tapi...  apakah itu termasuk "apa saja"???  Bahkan yang "tidak termasuk"???.

 Apakah semua bagian tulisan kita "boleh" diubah oleh "nya"? semuanya???. Tentunya soal ini sebaiknya didiskusikan atau dalam bahasa yang lebih sopan, "dikomunikasikan"   lebih dahulu. Yaaa... ini sekedar masukan, saran. Karena, rasa-rasanya tak mestilah sampai kejadiannya sejauh itu tadi, seperti yang saya ceritakan di awal tadi.

Bisa "porak poranda " deh tulisan kita yang sudah kita susun sedemikian cara dan rupa tadi, dengan segenap tenaga dan pikiran, energi habis-habisan, rokok berbatang-batang, kopi berteko-teko, istri dan anak di rumah sampai nggak sempat disapa, saking asyiknya dalam menggunakan imajinasi, pikiran dan rasa demi menghasilkan tulisan tadi. 

Saya yakin, pihak kompasiana tak bakalan tega. Saya percaya, mbak atau mas yang di sana, di samping ada yang berhati baja (bertekad kuat maksudnya), ada juga yang memiliki hati selembut salju. Pengasih seperti  Putri Salju. pelindung seperti Raja Aleksander Yang Agung. 

Lain soal, kalau ternyata nyata-nyata tulisan kita tadi nyata sekali bermuatan SARA, sebagaimana dimaksud dalam Ketentuan Konten  Kompasiana butir 12 hurup (d). Maka bisa blaasssss!   Akan dihapus pihak mediator/editor begitu saja. 

Atau, misalnya tulisan kita itu ternyata mengandung konten pornography.  Meski soal pornography ini sebetulnya  sulit dideteksi, karena sangat subjektivitas sekali. Dimana dalam memaknai "telanjang" itu kadang masing-masing orang memiliki "tafsir"  yang tak sama. 

Hakim pengadilan  pun juga demikian, sangat berhati-hati dalam merumuskannya, hal kesusilaan ini,  tak mudah dalam menentukan batas-batasan vulgar yang menimbulkan perasaan tidak nyaman/ngeri/jijik/melanggar norma kesusilaan/memuat info pribadi, dan/atau merupakan konten yang mengandung unsur cabul/pornografi yang demikian itu tadi.

Maka, kita mestilah bijaksana dalam soal ini.  Jangan gegabah. Meski pula kadang kita bisa saja tak sengaja, sudah wanti-wanti dan berhati-hati, tapi tak diduga tiba-tiba "gambar anda kami hapus karena menampilkan ketelanjangan! bugil! porno! tok tok wow!".  

Begitulah, kira-kira, notifikasi yang kita terima. Kira-kira seperti itulah. Kalau kamu kepengen tahu pasti bagaimana isi lengkap dan jelasnya notifikasi dari mbak yang manis atau mas yang ganteng di sana, yaaa coba aajjaah! Yakinlah tak lama kamu akan dapat semacam "surat cinta".  Hahahahhahahahahahhaha!.

Khusus berkenaan dengan "penghapusan gambar ilustrasi"  ini tadi, saya sendiri pernah mengalaminya 2 atau 3 kali, 2 kalo tak salah, dengan berbagai sebab. Kejadian yang paling menyedihkan buat saya, di mana hingga hari ini masih menyimpan "luka" itu, yakni ketika gambar saya yang lagi memeluk ayam jago kesayangan saya itu dihapus tiba-tiba. 

Padahal, padahal nih.... kalau saja mereka memberi kesempatan saya buat membela diri... hik hik hik... maaf.. saya jadi sedih... sebentar saya hapus air mata dulu....  Jadi... begini....  itu...  itu tadi... tadi  itu... ceritanya...  gambar yang tadi itu.., itu kan gambar saya lagi terbuka dada. 

Kan harusnya kalo laki terbuka dadanya kan kagak ngapa-ngapa yaaaa???!**$%#@.  Pun seandainya atau  kalau pun  ada yang "terangsang" gara-gara melihat "keseksian" saya dengan buah dadanya  yang menonjol berotot..... Laaahh...???  salah siapa???.  Naahh... lain soal kalo saya mah cewek gitu.  Yaaa.. taulah... terbuka paha sedikit ajah bisa bikin gerah, apalagi yang namanya buah dada. 

Maka yang demikian itu, bolehlah langsung masuk penjara meski omzetnya  tak sampai 80 juta.  Hahahahaha!.  Tapi ini... ini...  aaduuhhh... jadi tambah sedih deh kalo mengingat-ingat kejadian itu, musibah yang pernah menimpa Yai tempo hari itu. Hik..hik.. hik.... (ini nangis loh, bukan ketawa...)

www.go-dok.com
www.go-dok.com

 So? Yaaa... gimana yaaaa.. mau bilang apa. Emang sih, mereka punyak hak dan berwenang untuk melakukan itu. Tapi, seperti yang pernah Yai Baelah bilang:  "Boleh jadi seseorang itu punya kewenangan, tapi tidak berarti dia boleh sewenang-wenang"

Lantas? Yaa begini saja. Baiknya kita baca dan pelajari syarat dan ketentuan Kompasiana itu benar-benar, jangan ada yang terlewat. Kemudian patuhi dengan sungguh-sungguh.  

Lalu? 

Lalu kita berdoa saja agar jangan sampai kedepannya nanti mendapat "musibah, menjadi korban salah tangkap (erorr in persona) yang akan menjadikan kita berduka selamanya, menyimpan dendam yang tak ada obatnya. Hhahh! HHhhhhhhhhhhhhhh

Yaa... banyak cerita, orang yang tak bersalah terpenjara. Itu bukan rahasia.

Sebagai penutup, saya, Yai Baelah yang kebetulan kesehariannya membidangi soal hukum ini, akan menyampaikan suatu adagium atau pepatah  yang terkenal yang menjadi  perhatian hakim semua bangsa semua negara sepanjang jaman sepanjang masa , yakni "Lebih baik membebaskan seribu orang jahat, daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah". 

Selamat berkarya Kompasianer. Salam damai selalu Kompasiana!

*Catatan: Tulisan ini sengaja dibuat semata sebagai edukasi bagi kita semua. "Melek hukum" adalah hal yang perlu dan penting guna menjaga kesinambungan dan keseimbangan pergaulan dalam suatu komunitas, entah itu komunitas kecil dalam keluarga, kampung, atau kota, begitu pula dalam wilayah yang lebih luas seperti negara bahkan seluruh dunia.   Demikianlah maksud hukum itu diciptakan.

dokpri
dokpri

Baca dan pelajari :

Ketentuan Konten

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun