Dampak kompromi politik ini luar biasa. Pelaksanaan di berbagai daerah, terutama di Jawa Barat berbentuk kekerasan, bahkan terjadi pembunuhan. Bukan saja para pedagang Tionghoa asing yang dituju, tetapi semua pedagang Tionghoa.Â
Dan di banyak tempat, bukan hanya paksaan berhenti berdagang yang dituntut, tetapi juga pengusiran penduduk Tionghoa dari perdesaan dan kota-kota kecil.
Akibatnya sekitar 150 ribu Tionghoa dipaksa keluar dari desa-desa dan kota-kota kecil.
Pemerintah RRT mengeluarkan protes keras. Mereka menyatakan akan menerima penduduk Tionghoa yang diusir itu dan mengirim kapal-kapal ke beberapa pelabuhan.
Perkembangan ini membangkitkan arus "huiguo" -- pulang ke negara leluhur. Penduduk Tionghoa kehilangan kepercayaan bahwa pemerintah Indonesia bisa menjamin keselamatan dan kehidupan wajar mereka di Indonesia.
Bukan saja mereka yang terdampar ingin "pulang" ke Tiongkok, banyak pedagang di kota, masyarakat terpelajar dan para ahli juga memutuskan untuk meninggalkan Indonesia. Sekitar 140 ribu Tionghoa meninggalkan Indonesia pada 1960.
Setibanya di Tiongkok mereka mendapati bahwa Tiongkok bukanlah tanah air mereka.  Mereka merasa asing dan dianggap asing di sana. Berita dan anecdotes penderitaan ini sampai di Indonesia, sehingga  animo untuk "huiguo" berkurang.
Ketika Revolusi Kebudayaan dimulai pada 1966, banyak yang "huiguo" menjadi korban pengganyangan yang dilakukan oleh Red Guards, karena mereka dianggap "asing dan berbahaya untuk Tiongkok". Â Sebuah perkembangan yang tragis.
Kebijakan rasis ini secara keseluruhan juga merugikan Indonesia. Pamor Indonesia di mata dunia jatuh. Distribusi barang dan pangan di daerah pedalaman tidak berjalan lancar. Â
Para pedagang "asli" ternyata tidak bisa dalam waktu seketika menggantikan pedagang-pedagang Tionghoa yang sudah ber-generasi berpengalaman dan telah menjalin jaringan dagang yang efektif. Â Rakyat jelata-lah yang dirugikan oleh perkembangan ini.Â
Setelah Soekarno mengkonsolidasi kekuasaan politiknya pada akhir 1960, Â pelaksanaan PP-10 dihentikan. Kebijakan PP-10 dilaksanakan dengan lebih gencar setelah Soeharto mengambil alih kekuasaan pada 1966. Komunitas Tionghoa di pedalaman lagi-lagi dipaksa keluar dari tempat tinggalnya. Kali ini, mereka tidak memperoleh perlindungan apapun dari pemerintah.