Pertama kali mendengar liputan media massa secara besar besaran mengenai berita “KPK” berkiprah menangkapi para koruptor, seperti Gayus, Angelina Sondakh, Nazarudin dan seterusnya, saya sangat antusias sekali mendengar berita demi berita. Namun setelah berita membanggakan itu terdengar berita yang membuat hati miris tentang “Gayus” walaupun sudah didakwa koruptor masih bisa jalan jalan santai ke manca negara, dengan bergaya bak selebritis, disambung berita para “Koruptor” yang mendesain sel penjaranya bagaikan kamar hotel bintang lima dan katanya malam hari mereka masih bisa menikmati hiburan malam “Dugem”, dengan dikawal aparat tentunya ”Tengok saja kasus Gayus dan Artalyta Suryani”. Bagaimana bisa para Koruptor itu tetap menikmati hidup nyaman, menyenangkan kalau bukan karena pundi pundi hasil koruptornya masih menggunung?
Sejak tanggal 3 dini hari sampai hari inipun media massa berlomba lomba meliput kasus korupsi tingkat tinggi yang melibatkan penegak hukum peringkat satu “Ketua Mahkamah Konstitusi bapak Akil Mochtar” dan bersambung ke “Chaeri Wardana adik Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah”. Ternyata para pejabat yang kita anggap Dewa Hukum adil dan bijaksana hanyalah musang berbulu domba. Sedikit demi sedikit saya mulai bosan dengan pemberitaan media massa tentang keberhasilan “KPK” menggulung para koruptor, bukannya saya tidak salut atas kinerja “KPK”.Namun jika ujungnya para koruptor itu hanya mendapat hukuman yang sangat ringan dibandingkan kejahatan yang mereka buat, sepertinya prestasi “KPK” hanya sia sia belaka.
Ironisnya lagi para koruptor itu bisa menjadi raja kecil di penjara, bergaya hidup nyaman dan mewah, bahkan mereka bisa meninggalkan penjara dengan kawalan aparat untuk bersenang senang walaupun tetap harus kembali ke kerajaannya “Penjara Mewah”. Kerugian mereka paling buruk hanya kehilangan “Nama Baik” dan “Jabatan” dan resiko itupun mereka tahu dan siap dikorbankan jikalau ketahuan “KPK”. Karena tujuan akhir para koruptor itu bukanlah jabatan melainkan “Uang” atau “Harta” yang berlimpah. “Jabatan” hanyalah sekedar kendaraanya untuk mewujudkan cita citanya. Para koruptor itupun tidaklah sebodoh yang kita kira, mereka sangat piawai sekali menyembunyikan uang dan harta hasil “Korupsi”nya sehingga tidak mudah tercium jejaknya oleh “KPK”. Jikalaupun tercium itu hanya sebagian kecil saja yang bisa disita, dan itupun sudah membuat kita geleng geleng kepala karena besarnya.
Semua berita sampai artikel yang saya baca mengenai “Kasus Ketua MK : Akil Mochtar”, sebagian besar hanya berisi keprihatinan dan menyesalkan akan kasus. Padahal yang lebih krusial lagi adalah tindak lanjut hukum yang harus dilaksanakan sehingga membuat para pelaku koruptor jera dan para calon calon koruptor menjadi takut, ngeri untuk melakukan tindak korupsi. Oleh sebab itu dalam artikel ini saya mempunyai sebuah “ide” untuk membentuk “KBKK” singkatan dari “Komisi Bikin Kapok Koruptor”.Anggap saja ide saya ini ide dagelan, tetapi saya yakin sekali jika diterapkan maka para pejabat yang memiliki kesempatan untuk melakukan tindak korupsi akan berpikir seribu kali. Dan jika “KBKK : Komisi Bikin Kapok Koruptor” ini terbentuk dan berhasil maka membuat “KPK” semakin sedikit memperoleh Koruptor yang bisa ditangkap. Karena semakin sedikitnya “Pejabat” yang berani melakukan tindak korupsi karena hukuman yang dibuat “KBKK : Komisi Bikin Kapok Koruptor” sangat menakutkan.
Negeri Cina pada tahun 1970 adalah negeri yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan Indonesia, negeri yang jauh dari kemajuan dan kaya dengan pejabat pejabat korup. Namun saat ini Cina menjadi negeri sangat maju setara dengan negara adidaya dengan tingkat korupsi yang kian menyusut dari tahun ketahun. Mau tahu apa hukuman bagi para koruptor di negeri Cina. Saya searching di google ternyata hukuman tindak korupsi di Cina adalah “Tembak Mati” bahkan “Hukuman Tembak Mati” tersebut konon wajib ditonton oleh keluarga dan kerabatnya, seperti anak, istri, orang tua, mertua, adik kakak, mereka dipaksa dan harus menonton pertunjukan “Hukuman Mati” tersebut. Jika ide “KBKK : Komisi Bikin Kapok Koruptor” direalisasikan,kita bisa belajar dari negara negara yang telah berhasil menyusutkan dan meminimalkan tindak korupsi karena hukumnya yang sangat tegas dan keras, sebagai referensi :
Amerika Serikat : Hukuman minimal 5 tahun, denda 2 juta Dollar dan diusir dari Amerika dilepas kewarga negaraannya. Ini bagi saya hukuman cukup keren karena harta yang disimpan dinegaranya maupun di luar negeri otomatis dibekukan, karena sudah tidak berkewarganegaraan lagi.
Malaysia : Hukuman bagi para Koruptor adalah hukuman pancung. Ini juga cukup keren dan menakutkan, wajar saja di Malaysia pejabat sangat takut korupsi, sehingga negaranya kini sangat maju pesat dan Indonesiapun kemajuannya tertinggal belasan tahun.
Arab Saudi : Hukuman bagi para Koruptor adalah hukuman mati, banyak yang menilai hukuman mati tidak manusiawi, namun banyak orang terbunuh secara tidak langsung oleh para “Koruptor” yang tidak pernah dipikirkan oleh penggiat “HAM”. Bahkan para koruptor itu umumnya punya jiwa tega meneror, membunuh secara langsung para saksi dan penindaknya, demi mengamankan dirinya, yang sangat bertentangan dengan “HAM”.
Jerman : Hukuman Seumur Hidup, dan menyita seluruh harta sang Koruptor. Hukuman ini juga bagus sih, karena kenyataannya di Jerman kini mendapat indeks 10 persepsi korupsi di dunia, karena saat ini sulit ditemukan kasus korupsi di negara tersebut.
Cina : Hukuman tembak mati. Awalnya Cina adalah termasuk negara terkorup didunia sehingga setiap tahun “4000” Koruptor di tembak mati di negara tersebut. Namun saat ini semakin sedikit jumlah yang ditembak mati, karena semakin sedikit jumlah pelaku tindak korupsi, karena sangat takut dengan konsekuensinya.
Jepang : Hukuman Sosial. Dijepang masih kental dengan budaya malu, walaupun hukuman koruptor maksimal 7 tahun, penyitaan seluruh asset kekayaannya dan memberi “Label Koruptor” seumur hidup. Dengan memberi label “Koruptor” para koruptor di Jepang kerap di soraki oleh masyarakat jika muncul di tempat umum. Membuat para koruptor banyak yang harakiri karena malu. Di Indonesia hukuman ini tidak efektif sama sekali jika diterapkan karena Orang Indonesia tidak punya budaya malu sama sekali.
Lalu bagaimana hukuman bagi para Koruptor di Indonesia : Hukuman Ringan dan Remisi setiap tahun, bahkan bisa dinobatkan kembali jadi pejabat setelah keluar penjara, didalam penjarapun mereka bagaikan raja dengan fasilitas bintang lima.
Beranjak dari kondisi saat ini, maka saya berani berpendapat, saya salut dengan kinerja “KPK”, namun tidak akan mampu menyelesaikan masalah pemberantasan korupsi ke akar akarnya, jika tindak lanjut hukumnya sangat lemah, tidak tegas dan tidak berefek jera. Jujur saja istilah “Mati Satu Tumbuh Seribu Kurang Tepat”, karena kenyataannya “Ketangkap Satu Koruptor Tumbuh Sejuta Koruptor”, karena konsekuensi melakukan tindak korupsi dibanding hasil uang dan harta dari korupsi, jauh lebih menggiurkan hasilnya.
Tahukah anda wahai “KPK”, para koruptor yang belum berhasil anda jerat, saat ini sebenarnya menertawakan keberhasilan anda, dalam hati mereka berujar. “Kasihan deh si “KPK”, capek capek menjebak kita, toh jika kita ketangkap resiko hukumannya kecil sekali dibanding hasil yang kita peroleh, sehingga kader kader koruptor seperti kami ini tetap akan melaksanakan visi dan misi nya, memperkaya diri pribadi dan golongan”. So... adakah yang berniat mendukung ide saya mewujudkan “KBKK : Komisi Bikin Kapok Koruptor” yang akan bergandengan tangan dengan “KPK : Komisi pemberantas Korupsi” untuk membasmi korupsi dinegeri ini sampai ke akar akarnya. He.. he.. Saya harus pesimis atau optimis ya..dengan ide saya ini. Wassalam.
sekedar hiburan.... lagu negeri maling cocok dengan kondisi negeri ini : negeri maling
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H