[caption caption="Sumber Gambar: Laman Facebook "Istirahatlah Kata-Kata""][/caption]Sebelum menonton film "Istirahatlah Kata-Kata", saya berusaha mengosongkan pikiran tentang apa yang saya ketahui tentang Wiji Thukul. Saya jauhkan memori puisi-puisi Thukul yang pernah saya baca, cerita-cerita hebat tentangnya yang pernah saya dengar.
Intinya, saya menganggap saya awam sama sekali tentang penyair bernama asli Widji Widodo ini. Tujuannya tidak lain tak bukan adalah ingin membuktikan apakah benar film ini bisa memuaskan keingintahuan tentang sosok yang piawai berkata-kata ini.
Film ini dibuka dengan rentetan pertanyaan sosok berbaju hitam kepada anak perempuan Thukul, Fitri Nganthi Wani. Di sini saya merasa beruntung karena pembuat film menyertakan beberapa penggal tulisan singkat yang menjelaskan latar belakang kejadian tersebut. Tanpa itu, tentulah kita bisa saja menebak yang berbaju hitam itu preman peminta uang keamanan.
Narasi tertulis di awal itu lagi-lagi menyelamatkan film ini. Sebab, bagi yang tidak pernah mendengar nama Thukul, tentu tidak akan tahu mengapa dia lari ke Kalimantan, mengapa dia begitu khawatir ketika melihat tentara, mengapa dia sampai berganti identitas.
Thukul digambarkan sebagai pesakitan, orang yang rindu rumah serta keluarga, orang yang terombang-ambing di antara keberanian dan ketakutan akan kematian. Beruntung seorang Gunawan Maryanto piawai sekali memainkan peran ini, yang membawa penonton seolah merasakan apa yang dirasakan Thukul ketika itu.Â
Thukul, yang gagah berani memimpin perjuangan belasan ribu buruh, membacakan puisi perlawanan di depan tentara, menjadi sosok yang lemah selama bersembunyi di Kalimantan. Dia yang dengan tegas mengatakan, "Maka hanya ada satu kata: lawan!", tertunduk khawatir di balik topinya ketika diajak mengobrol oleh seorang prajurit TNI tua ketika hendak memotong rambut.
Sutradara film ini, Yosep Anggi Noen, terlihat sekali ingin menangkap sisi manusiawi seorang Thukul. Bahwa pada orang paling berani sekalipun, ada ketakutan yang amat sangat. Walau saat demonstrasi mereka terlihat nekat, ternyata tetap saja mengutamakan logika ketika dihadapkan pada kemungkinan ditangkap atau tetap bebas, kemungkinan hidup atau mati.
Risikonya adalah film ini menjadi tidak lebih dari sebuah dokumentasi tentang masa pelarian buronan rezim. Yosep menyediakan cuplikan demi cuplikan bagaimana Thukul mempertahankan eksistensinya di Borneo meski harus membuat KTP baru. Lihai sekali sutradara berusia 33 tahun ini menangkap rincian-rincian kecil, seperti misalnya Thukul harus dibantu tuak untuk tidur, walau ternyata dia tetap terjaga sampai subuh dan akhirnya terlelap di bawah tangga.Â
Yosep juga menampilkan bagaimana Thukul takut dengan sosok "orang kurang waras" ketika menanyainya tentang KTP. Naluri sebagai seorang buronan sekaligus seorang kepala keluarga yang masih ingin bertemu istri serta anak, membuatnya ciut bahkan di hadapan laki-laki yang sebelumnya sudah diketahuinya agak "terganggu" karena tidak diperbolehkan menjadi anggota polisi.
Selama 97 menit, film ini menawarkan gambar-gambar yang hampir monoton. Bisa dikatakan seluruhnya "menjual" ketakutan, kesedihan, kekhawatiran Thukul dan keluarganya. Tidak ada adegan di mana Thukul membaca puisinya yang membakar massa. Tidak ada adegan di mana Thukul mengorganisasi Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker) untuk terus bergerak melawan militerisme. Tidak ada adegan di mana dia bertahan dari derasnya pukulan popor senjata yang membuat matanya hampir buta. Hanya bekas luka akibat tebasan pantat senjata di mata kanannya yang tampak di "Istirahatlah Kata-Kata".Â
Karena itulah, jika tujuannya ingin memperkenalkan Thukul pada khalayak, khususnya anak muda, film ini tidak bisa dikatakan berhasil. Bagi saya, yang mencoba tidak tahu apa-apa tentang Thukul, film ini hanya bercerita tentang kehidupan seorang buronan yang dikejar-kejar rezim. Jika saya ingin mengetahui siapa itu Thukul, saya masih harus membaca dan melihat literatur-literatur lain, itu pun jika saya mau.