Di Desember, pohon melancip ke atas itu bersinar-sinar di etalase, menunggu dibeli. Wuih, gemerlap sekali, bersinar-sinar dikala malam nan kelam. "Ah, cuma empat juta," kata seseorang sambil melihat harga tertera. "Ambil saja, toh, Natal cuma sekali setahun," lanjutnya, lalu memanggil pelayan dan pergi ke kasir.
Wooo.. Entah mereka lupa, bayi yang mereka sebut Anak Tuhan itu lahir di kandang domba. Tanpa pendingin ruangan, tidak ada selimut kulit yang nyaman. Jerami di mana-mana, kotor, tahi domba menyelip di sudut-sudut. Ya, namanya juga kandang!Â
Tidak ada teriakan "Ho..ho..ho.." ketika itu. Tidak ada lelaki perut buncit berbaju merah dengan jenggot melambai-lambai membagi-bagi kado. Tidak ada baju baru, tidak ada sepatu baru, pohon cemara, hura-hura. Bayi yang katanya Sang Juru Selamat justru tiba di dunia dalam situasi yang sepi dan prihatin, jauh dari kata kemewahan.Â
Tuhan membiarkan anak-Nya lahir dalam keadaan melarat. Bahkan sampai mati pun Dia tetap melarat. Pernahkah yang merayakan Natal mempertanyakan hal itu? Sembari mereka membuang-buang uang demi makanan nikmat dan pakaian bagus, pernahkah berpikir tentang betapa susahnya kehidupan jutaan sesamanya yang tersebar di seluruh dunia?Â
Aku ingin Desember segara berakhir, karena bahkan Natal pun sudah dinodai. Dikotori oleh kebahagiaan palsu yang bersumber dari gemerlap harta tak berkesudahan. Manusia pengikut Kristus diperbudak hasrat hedonisme. Membelenggu mereka dan tidak pernah bisa lepas, dari tahun ke tahun. Â
Jadi sekarang mari berdoa saja, "Ya, Tuhan, semoga Kau hadir di setiap lembar uang yang keluar dari dompet kami dan memberikan berkat bagi semua yang senang karenanya. Untuk yang lainnya? Hmmm... TerserahMu saja. Amin."
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H