Oleh Michael Siahaan
  "Kalau sudah begini, kita harus masuk, Bro!" kata teman dekat saya, Kharisma, dalam perjalanan pulang kami menuju Jakarta dengan kereta api ekonomi.
  Saat itu sekitar tahun 2008. Saya dan Kharisma, dua mahasiswa baru angkatan 2007 Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Semarang - yang berkantong cekak, memutuskan untuk membeli masker selam dan snorkel pertama kami.
  Dengan uang seadanya, kami nekat ke Jakarta, tempat di mana peralatan selam terbaik berada, termasuk masker dengan lensa minus yang kami perlukan.
  Berangkat malam hari, sampai pagi langsung belanja dan kembali langsung malam itu juga ke Semarang, menjadi catatan hari itu. Dalam dua kali perjalanan kereta itu, kami hanya mendapatkan sepotong tiket berdiri. Ya, benar-benar berdiri, Semarang-Jakarta, Jakarta-Semarang. Kalaupun ada sela, paling hanya bisa jongkok untuk sekadar memejamkan mata.
  Ada satu hal penting lain mengapa kami "bela-belain" beli masker dan snorkel ke Jakarta. Kami ingin masuk dan diterima menjadi anggota Marine Diving Club (MDC), klub selam ilmiah ("scientific diving") jurusan yang namanya sudah terkenal di mana-mana.
  Dan kami berdua tahu, penerimaan anggota baru dimulai sekitar pertengahan tahun 2008, mengambil jatah liburan semester genap, waktu di mana sebagian besar mahasiswa pulang dan berleha-leha.
Rekrutmen
  Awalnya kami mengira menjadi anggota MDC itu mudah walau sudah mendengar desas-desus perjalanan ke arah sana perlu persiapan fisik dan mental.
  Tes pertama adalah tes kolam. Cukup mudah, yang membuat sekitar 80-an peserta bisa melewatinya dengan muka sumringah. Ah, bukannya 200 meter bolak-balik, mengapung atau "water trappen", tahan napas atau "apnea", sudah diajarkan ketika kuliah renang? Gampang!
  Ditambah teriakan dukungan dari para senior, membuat semuanya semakin lancar. Ternyata tidak sulit!
  Kemudian, tibalah saatnya tes kedua, wawancara. Calon anggota baru diwawancara oleh para anggota MDC dengan baju-baju biru kebanggaan mereka.
  "Aku harus bisa memakai itu juga," inginku dalam hati.
  Wawancara dibagi dalam beberapa pos. Tanpa kami duga, di pos terakhir, terjadi eskalasi tekanan. Para senior itu memberikan terapi kejut dengan membentak-bentak calon anggota. Tidak ada yang senyum di sana, yang ada hanya muka ketakutan bersama mata-mata yang melotot.
  Namun itu belum seberapa. Pada uji rekrutmen ketiga, yang disebut Pendidikan Akademis Penyelaman (PAP), suasana benar-benar berubah.
  Hampir tidak ada orang berbaju biru yang tersenyum, kecuali mereka yang mengurus makanan dan minuman. Pada tahap PAP ini, kami dibekali dengan teori-teori selam mulai dari peralatan, fisika penyelaman sampai risiko-risikonya. Semua disajikan dengan satu syarat: tidak boleh ada yang tidak disiplin ketika mendengarkan materi.
  Berbekal alasan ada yang tidak serius mendengarkan penjelasan para pemateri, di sela dan akhir acara kami terkena getahnya. Panitia seleksi marah dan menghukum kami secara fisik, push up, sit up.
  Gerutuan mulai terdengar. Hari pun gelap. Walau ini masih tahap ketiga, calon anggota bertumbangan. Dari 80-an orang pendaftar dan mengikuti seleksi, tersisa hanya setengahnya.
Kolam
  Selanjutnya, kami memasuki tahap keempat, Latihan Keterampilan Kolam (LKK) yang akan berlangsung selama empat hari di mana dalam empat hari itu kami tidak pernah melihat cerahnya matahari dari kamar kos.
  Sebab, kami harus datang pagi sekali dan pulang usai maghrib. Tahap ini pun menyajikan banyak kejutan.
  Setiap orang dari calon anggota utamanya diwajibkan membawa peralatan snorkel sendiri berupa masker selam, snorkel dan fin (sering disebut kaki katak"). Kejutan pertama adalah kami diwajibkan untuk berenang sejauh minimal 2.500 meter tanpa henti! Belum lagi waktunya dibatasi, kalau tidak salah maksimal tiga jam.
  Jarak ini akan semakin bertambah seiring bertambahnya hari dan pada hari terakhir kami harus berenang sekitar 5.000 meter nonstop tanpa tambahan waktu, hanya tiga jam.
  Apakah ini berlebihan? Tidak. Ini merupakan persiapan kami berenang menyeberangi pantai utara Pantai Jepara menuju Pulau Panjang. Ya, berenang.
Laut
  Jumlah calon anggota kini tinggal 18 orang. Saya, Kharisma, Arif, Husnan, Habibi, Dian, Tezar, Yogi, Nico, Bagus, Amri, Sasmaya, Niam, Wikan, Ade, Hendra, Hisyam dan Herlina.
  Merekalah yang menjadi saudara-saudara saya melalui tahapan selanjutnya dari rekrutmen, Latihan Perairan Terbuka (LPT). Latihan akan dilakukan di Pulau Panjang, Jepara, Jawa Tengah dan kami beserta panitia berangkat dari Teluk Awur. Naik kapal? Tidak, kami berenang.
  Jika dengan kapal biasa,lama perjalanan dari Teluk Awur ke Pulau Panjang bisa sekitar 10 menit. Namun kalau berenang, waktu tempuhnya meningkat jadi tiga jam lebih. Inilah tujuan kami "dipaksa" berenang lima kilometer nonstop di kolam. Fisik siap, mental pun siap meski menghadapi gulungan ombak yang tingginya mungkin hampir semeter. Ketika gumpalan arus air itu melewati tubuh, percayalah, kau akan merasa berenang di atas awan.
  Bagi calon anggota MDC, LPT artinya perjuangan selama tiga hari dua malam di pulau, dengan tenda demi melahap semua materi terkait penyelaman ilmiah ("scientific diving"). Kami tidak diperkenankan menggunakan telepon genggam, makan seadanya dan hampir tidak pernah berganti pakaian.
  Kalau tidak berhasil melewati itu semua dan merengek "minta pulang", maka pupus sudah harapan menjadi anggota klub selam yang berdiri pada 28 Oktober 1991 itu. Karena sesungguhnya jika lolos dari LPT, 95 persen sudah diterima menjadi anggota.
"Corallium"
  Tahap keenam rekrutmen MDC adalah pembinaan mental dan pemantapan (Bintaltap). Ini tidak ada hubungannya dengan air. Tahapannya dilakukan di markas besar ("base camp") yang lokasinya dekat dengan kampus Undip.
  Selama tiga hari dua malam, teori tentang organisasi dan kerja sama diberikan secara terus menerus. Arti harafiahnya memang terus menerus, tidak ada jeda untuk tidur. Tiga hari dua malam.
  Oh ya, di tahap ini kami tinggal 17 orang. Sahabat kami Herlina mengundurkan diri karena alasan pribadi. Jadilah hanya tinggal si Dian Maisaroh saudara perempuan kami satu-satunya.
  Lanjut. Apakah setelah Bintaltap, kami resmi masuk anggota? Belum! Haha... Sebutanmu barulah "anggota muda", kata halus pengganti -kamu belum pantas jadi bagian dari kami-. Agar 100 persen resmi, kami harus membuat ekspedisi sendiri, ekspedisi wajib bagi para anggota muda, Ekspedisi Corallium di salah satu kepulauan terindah di Indonesia, Karimunjawa.
  Pelaksanaannya hampir seminggu dan berjalan sangat menyenangkan. Kami mengurus semuanya dari menyiapkan acara, peralatan, titik selam, peralatan pengamanan, konsumsi hingga penginapan. 17 orang yang sebelumnya hanyalah sekumpulan manusia tanpa pengalaman menyelam SCUBA itu kemudian mempraktikkan langsung pendataan karang dan ikan karang secara langsung. Pengalaman yang luar biasa!
  Selesainya Corallium, diikuti dengan presentasi hasil pendataan, menandari resminya kami menjadi anggota MDC. Total setengah tahun kami berjuang dengan segenap kekuatan fisik dan mental, bahkan mungkin lebih lama dari tes kerja manapun di Indonesia.
  17 dari 80 orang itupun kini berhak memakai baju seragam biru dengan tulisan Marine Diving Club di punggung dan sah menjadi anggota generasi ke-15 (MDC XV). Kami pun berhak memilih "nama angkatan" yang nantinya digunakan sebagai sapaan calon anggota baru. Sebutan itu haruslah genus dari biota laut, baik karang maupun ikan karang.
  Pembicaraan alot pun terjadi di samping base camp. Ketua angkatan kami Arif Suryo Aji, memimpin rapat. Nama apa yang sesuai?
  "Bagaimana kalau Amphiprion, si ikan badut atau 'Nemo'?" Â
  "Ah, terlalu imut."
  Sambil membuka-buka buku identifikasi ikan dan karang, tersebutlah "Feresa", diambil dari spesies Feresa attenuata, paus pembunuh kerdil atau "The Pygmy Killer Whale". Paus ini bentuknya sedikit mirip lumba-lumba, karnivora, pemakan ikan kecil sampai ikan sejenisnya juga. Disebut kerdil karena rata-rata panjangnya "hanya" dua meter-terkecil dari semua makhluk yang disebut paus. Angka itu jauh dibandingkan paus pembunuh (Orcinus orca) yang mencapai 10 meter atau paus sperma yang jarak ujung mulut sampai ekornya 20 meter.
  Singkatnya, Feresa adalah paus yang kerdil, "imut", sekaligus mematikan. Satu hal lagi yang menjadi pertimbangan serius kami adalah mamalia itu selalu bergerak dalam kelompok, persis seperti slogan yang diagungkan oleh seluruh penyelam di dunia, "Never Dive Alone".
  Kami pun sepakat. Dari ribuan genus makhluk laut, kami memilih Feresa. MDC "Feresa" XV, nama yang akan kami pakai seumur hidup kami, sampai kami mati atau mungkin jika terserang demensia berat. Feresa adalah pengikat kami, sampai kapan pun, suka tidak suka, karena kami adalah keluarga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H