Mohon tunggu...
Michael Siahaan
Michael Siahaan Mohon Tunggu... Jurnalis - Berpikir, bekerja, bersahaja.

Apa guna membaca tanpa menulis?

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malam

11 Februari 2016   16:45 Diperbarui: 11 Februari 2016   17:35 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar: sumber.

 

“Segala keindahan terang yang ku nikmati, apalah artinya tanpa gelap mengiringi. Juga gelap, apalah artinya dia tanpa terang?”

Aku sedang marah pada malam. Bagaimana tidak, dia tidak lagi pernah acuh. Tidak seperti sebelumnya di mana dia bisa memberikanku banyak inspirasi. Menawarkanku ketenangan dari riuhnya hari yang semakin lama semakin berisik. Semuanya seolah hilang tanpa bekas. Malam kini tak lagi sunyi, tidak lagi menawarkan apa-apa. Kosong, di dalam waktu-waktu yang melompong. Untuk ini, tiada jawaban nyata. Sebab malam bukan lagi sahabat yang bisa menjawab pertanyaanku tentang pekat,tentang harapan-harapan yang terekat.

Semuanya dimulai ketika itu, saat aku duduk di pelataran ufuk, memandang warna meneduhnya. Aku senang, karena aku tahu malam akan tiba. Anehnya, kesenanganku akan malam, kali ini, menimbulkan hasrat aneh menggebu pada siang. Malam datang, namun rasa mulai jengah.

“Malam, sepertinya aku mulai mencintai siang,”cicitku. “Kegelapanmu membuatku rindu akan terang. Aku tahu, sudah banyak waktu yang kita lewati. Kau memberikanku segalanya, dan aku berterima kasih untukitu. Tiada persahabatan yang lebih indah dari waktu yang dihabiskan untuk berbagi.”, kemudian aku menunduk, teringat lagi pada siang.

Seketika angin semakinkencang, dingin semakin menusuk. Aku merasakan aroma kemarahan.

“Mengapa engkau marah?” tanyaku kemudian. Aku pun jadi dongkol. Aku bukan jenis manusia yang bisa didikte oleh siapapun. “Setelah berjuta waktu yang kita lewati, bukan berarti aku kau bisa mengaturku sekehendakmu. Manusia lahir untuk menjadi bebas melewati batas-batas. Merdeka untuk memilih. Karena itu pula aku disini, menatapmu.”

Kembali, angin ditiup. Aku bergidik menggigil, lalu mengoceh lagi, kali ini dengan nada lebih tinggi,“Kau tidak akan bisa menghentikan perubahan, wahai malam. Perubahan yang terus menerus adalah dasar dari setiap putaran kehidupan. Bukan nasib, tidak, kita berbicara tentang keharusan. Apa yang ada saat ini tidaklah datang dengantiba-tiba. Semuanya itu produk sejarah. Manusia penciptanya, manusiapenggeraknya. Kemarahanmu tidak akan berpengaruh apapun!”.

Keadaan tenang. Aku pun bergegas kembali, menuju peraduan. Mata terjaga, raga membata. Kaku, menjauh dari mimpi, hingga pagi. Disambut mentari, menunggu siang. Aku keluar, kulempar senyum pada cahaya. Dia pun menyambutku dengan manis. Kupu-kupu beterbangan, dengan sayap indah mengepak. Ini hadiah dari siang. Aku membalasnya dengan senyuman, terbaik yang bisa ku beri. Dimulai dari sini, petualanganku dengan siang pun dimulai. Tidak pernah sekalipun aku melewatkannya.

Berkali-kali, berhari-hari.

Siang pun menggantikan malam. Akibatnya, aku selalu tertidur sebelum malam datang, bangun ketika matahari menyapa. Satu-satunya saat aku kehilangan inspirasi siang adalah ketika hujan tiba. Kehidupan terlihat lebih baik ketika terang siang menemani. Sama sekaliaku lupa pada malam. Mengingat malam membuatku muak. Cahaya bulan terlihat membosankan.

Sampai suatu kali pikiranku bergejolak, “Apalah arti setitik cahaya di tempat terang, dimanamentari menyinari bumi dengan sinarnya yang seolah tak terbatas?”. Aku tertegun. “Segala keindahan terang yang ku nikmati, apalah artinya tanpa gelap mengiringi. Juga gelap, apalah artinya dia tanpa terang?”. Berulang dan tetapaku cari jawaban akan hal ini. Aku bertanya pada siang. Tiada jawaban. Kepada malam. Hanya diam.

Hari-hari ku mulai mengerut. Pertanyaan tetap sama. Setelah menjauhi malam, aku meninggalkan siang. Aku pun tinggal di tempat tertutup. Tiada jendela, tiada ventilasi, menghindar dari siang dan malam. Aku merasa diburu. Diburu jawaban, diburu waktu. Sampai pada saat dimana aku merasa lemah, sangat ringkih. Aku mengambilsecarik kertas bekas, sepotong pensil kecil untuk menulis. Dengan bergetar, tanganku pun mulai menari, sebelum nyawa meregang dan berhenti.

“Sesuatu yang paling indah akan selalu berdiri di atas perbedaan. Berbagi dan menghormati, sebab tiada lebih satu dari yang lain."

***0***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun